BARANG betapa tidak menguhukum dengan hukum Allah, maka
mereka itu orang-orang zalim.
(Al Qur'an 5: 45).
Setelah mengutip 33 ayat suci, mulai dari yang meriwayatkan
kehancuran ummat Nabi Nuh yang penuh maksiat sampai porsoalan
hukum Tuhan terdakwa Fahmi Basya merasa tak perlu lagi
"mengingat tan menimbang". Melainkan: "Sami'na wa atha'na - kami
dengar dan kami taat."
Dan ia, dalam akhir eksepsi yang disampaikannya di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat 11 Januari lalu, memutuskan: "Suya tidak
akan meladeni sidang ini, sebab barang siapa tidak menghukum
dengan hukum Allah, maka mereka itu orang-orang kafir, fasik,
zalim."
Dan sidang, dipimpin oleh Hakim Hasan Mahmud SH, tidak
dinilainya sebagai sidang pengadilan. "Tapi sidang penzaliman
atau penganiayaan yang diselenggarakan oleh orang-orang fasik
atau kafir."
Barang Tak Berbahaya
Eksepsi diketik rapi oleh terdakwa, 10 halaman dengan
bermeterai Rp 5 setiap lembar berikut kutipan-kutipan ayat-ayat
suci dengan tulisan Arab yang tegas, menyanggah tuduhan Jaksa.
Pada halaman 8, di sebelah kutipan firman Tuhan - tentang orang
kafir yang dianggup makhluk paling jahat melayap dalam
pandangan Tuhan ditempelkan bangkai serangga.
Sejak sidang dimulai Nopember lalu, tordakwa perkara subversi
ini memang sudah menampilkan sesuatu yang keras. Ia berdiri
menghadapi ancaman hukurman mati, tunpa mau didampingi seorang
pembela pun. Kuasa yang pernah diberikun kopada Advokat Atnan
Buyung Nasution dkk, setahun yang lalu, dicabutnya kembali dua
hari sebelum ia menghadap hakim. Buyung sendiri tak pasti apa
alasan pencabutan itu.
Fahmi Basya, 26 tahun, mahasiswa FIPIA-UI dan dosen STTJ
(Sekolah Tinggi Teknik Jakarta), dituduh telah menguasai amunisi
secara gelap. Juga menyimpan bahan kimia, calsium chlorida,
sendawa, nitria acid, aminium nitrat, bubuk aluminium dan
kapori Bahan kimia tersebut digunakan untuk menbuat semacam
bom molotov, alat peleduk atau pembakar lainnya. Diduga barang
tersebut hendak diledakkan, bila ada kesempatan, untuk
menghancurkan tempat-tempat yang dianggapnya maksiat di
Jakarta, seperti Bina Ria di Ancol. Percobaan molotov cocktail,
oleh saksi Muhasril dan Djaelani, tak kurang dari tiga kali di
halaman masjid ARH-UI. Biaya percobaan, Rp 10 ribu, dikeluarkan
oleh terdakwa sendiri.
Rencana gerakan itu sendiri, menurut jaksa akan dilaksanakan
bulan puasa 1977. Biaya-biaya diharapkan Rp 500 ribu didapat
dari hasil bimbingan test penerimaan mahasiswa STTJ.
Rencana Fahmi, katanya sudah ada sejak terdakwa ini duduk di
bangku SMA. Kemudian ia juga sering berbicara, dalam ceramah
agama di STTJ maupun masjid ARH, soal perlunya pemberantasan
tempat-tempat maksiat. Ceramah-ceramah terdakwa yang demikian
itu oleh Djaelani dicatat cermat, dan diberi judul "Organisasi
Bawah Tanah Komando Jihad Fisabilillah" (TEMPO, 3 Desember).
Dalam sanggahannya Fahmi menolak tuduhan jaksa. Barang-barang
bukti yang disebut dalam tuduhan jaksa, berupa bahan kimia,
menurut terdakwa bukanlah barang berbahaya. Semuanya dapat
diperoleh dari apotik tanpa izin khusus. "Sangatlah janggal
sekali kalau lantaran bahan-bahan kimia semacam itu seorang
dituduh subversif," kata Fahmi. Karena hanya dengan barang
semacam itu, "mustahil jika dapat menggulingkan pemerintah,
menimbulkan kegaduhan, kekacauan, yang mengganggu ketenangan
umum yang bersifat luas" sepelti yang dirumuskan dalam
undang-undang anti kejahatan subversi.
Jika bahan kimia itu diramu, sebagian atau seluruhnya, di luar
atau dalam laboratorium? terdakwa bilang, "tidak menunjukkan
suatu hasil reaksi atau suatu macam bahan lain yang dapat
dikatakan berbahaya .... menuduh punya cukup banyak waktu
untuk meneliti bahan tersebut di laboratorium."
Siapa Dengan Siapa?
Memang belum ada sebuah tempat maksiat pun yang dihantam Fahmi
dengan alat-alat bukti yang dimajukan Jaksa. Namun ide hendak
menghancurkan tempat maksiat, setidaknya keinginan semacam itu,
tak disangkalnya dalam eksepsi. Dia malah menggambarkan: Salah
satu musuh negara ialah bercabulnya kemaksiatan. Hal itu.
katanya. bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan negara yang
selalu disebut "berdasarkan rahmat Tuhan Yang Maha Esa". Dengan
dibiarkannya dan ditunda-tundanya penutupan tempat maksiat,
menurut terdakwa, justru pihak yang menuduhnya lah yang
nyata-nyata "menyatakan simpati bagi musuh negara." Dan menurut
undang-undang, yang bersimpati kepada musuh negara memang boleh
disebut subversif.
Terdakwa, yang dalam kehidupannya sehari-hari tampak sederhana
(tempat tinggalnya yang tetap tak diketahui, hanya selalu
kelihatan menginap di masjid Al Falah, di Jalan Sudirman, tempat
dia mengajar anak-anak mengaji), merasa dirinya telah berbuat
baik. Setidaknya berfikir dan berkeinginan, belum sampai
berbuat, memberantas kemaksiatan.
Memang sulit: adakah sesuatu fikiran dapat diadili? Itulah
sebabnya terdakwa mendesak jaksa dengan pertanyaan beruntun.
Akibat kejahatan subversi terdakwa: "Antara siapa dengan
siapakah atau masyarakat mana dengan yang manakah tersebar rasa
permusuhan? Di mana terjadi perpecahan? Pertentangan siapa
dengan siapakah? Siapa yang benar di antara mereka? Negara dan
bangsa berpihak kepada siapa? Adakah kegoncangan fisik dan
rohani? Penduduk mana yang gelisah? Apakah penuduh juga
gelisah?"
Fahmi minta agar penuduhnya (jaksa) menjawab pertanyaannya
secara "tertulis dan jelas." Sebab, menurut pendapatnya, rasa
perpecahan dan permusuhan sudah ada "sejak hadirnya kemaksiatan
di negeri ini .... "
Agaknya sulit juga menanggapi sikap Fahmi Basya secara tepat.
"Sebagai pemeluk agama Islam saya tersinggung juga," kata Hakim
Hasan Mahmud. Pengacara Anwar Harjono, ahli hukum dan tokoh
pergetakan muda Islam waktu yang lampau, tak dapat menyalahkan
Fahmi. "Dia, seperti juga orang banyak mmbicarakan, sudah tidak
percaya lagi pada-lembaga peradilan kita." Dalam keadaan
demikian, "wajar jika orang lalu menyandarkan diri pada hukum
yang lebih adil, hukum alam atau hukum Allah jika dalam agama
Islam."
Tanpa bermaksud mempengaruhi pengadilan yang tengah berlangsung,
Anwar Harjono menyatakan: "Kita tak boleh membenarkan atau
menyalahkan sikap Fahmi'Basya." Soalnya, katanya, bukan boleh
atau tidak Fahmi bersikap keras demikian. Juga tak layak
menganggap terdakwa itu ekstrim. 'Soalnya lebih mendasar:
Perkara Fahmi itu lebih banyak mempunyai segi politis daripada
hukum murni." Dan "perkara politik begitu sebaliknya tak dibawa
ke pengadilan." Pendapat Anwar Harjono, 55, tak berbeda dengan
suara Mr. Yap Thiam Hien ketika membela Sawito. Dia bilang:
"Apakah para hakim, yang pegawai negeri dan anggota Korpri,
berwenang mengadili perkara politik yang dianggap bertentangan
dengan politik pemerintah?"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini