Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Ini Sidang Orang Kafir, Kata Fahmi

Setelah mengutip 33 ayat suci al'quran, fahmi basya, 26, mahasiswa fipia-ui & dosen sttj, tanpa mau didampingi pembela, membacakan eksepsinya yang menyatakan jaksa tak dapat membuktikan, ia melakukan subversi. (hk)

21 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BARANG betapa tidak menguhukum dengan hukum Allah, maka mereka itu orang-orang zalim. (Al Qur'an 5: 45). Setelah mengutip 33 ayat suci, mulai dari yang meriwayatkan kehancuran ummat Nabi Nuh yang penuh maksiat sampai porsoalan hukum Tuhan terdakwa Fahmi Basya merasa tak perlu lagi "mengingat tan menimbang". Melainkan: "Sami'na wa atha'na - kami dengar dan kami taat." Dan ia, dalam akhir eksepsi yang disampaikannya di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat 11 Januari lalu, memutuskan: "Suya tidak akan meladeni sidang ini, sebab barang siapa tidak menghukum dengan hukum Allah, maka mereka itu orang-orang kafir, fasik, zalim." Dan sidang, dipimpin oleh Hakim Hasan Mahmud SH, tidak dinilainya sebagai sidang pengadilan. "Tapi sidang penzaliman atau penganiayaan yang diselenggarakan oleh orang-orang fasik atau kafir." Barang Tak Berbahaya Eksepsi diketik rapi oleh terdakwa, 10 halaman dengan bermeterai Rp 5 setiap lembar berikut kutipan-kutipan ayat-ayat suci dengan tulisan Arab yang tegas, menyanggah tuduhan Jaksa. Pada halaman 8, di sebelah kutipan firman Tuhan - tentang orang kafir yang dianggup makhluk paling jahat melayap dalam pandangan Tuhan ditempelkan bangkai serangga. Sejak sidang dimulai Nopember lalu, tordakwa perkara subversi ini memang sudah menampilkan sesuatu yang keras. Ia berdiri menghadapi ancaman hukurman mati, tunpa mau didampingi seorang pembela pun. Kuasa yang pernah diberikun kopada Advokat Atnan Buyung Nasution dkk, setahun yang lalu, dicabutnya kembali dua hari sebelum ia menghadap hakim. Buyung sendiri tak pasti apa alasan pencabutan itu. Fahmi Basya, 26 tahun, mahasiswa FIPIA-UI dan dosen STTJ (Sekolah Tinggi Teknik Jakarta), dituduh telah menguasai amunisi secara gelap. Juga menyimpan bahan kimia, calsium chlorida, sendawa, nitria acid, aminium nitrat, bubuk aluminium dan kapori Bahan kimia tersebut digunakan untuk menbuat semacam bom molotov, alat peleduk atau pembakar lainnya. Diduga barang tersebut hendak diledakkan, bila ada kesempatan, untuk menghancurkan tempat-tempat yang dianggapnya maksiat di Jakarta, seperti Bina Ria di Ancol. Percobaan molotov cocktail, oleh saksi Muhasril dan Djaelani, tak kurang dari tiga kali di halaman masjid ARH-UI. Biaya percobaan, Rp 10 ribu, dikeluarkan oleh terdakwa sendiri. Rencana gerakan itu sendiri, menurut jaksa akan dilaksanakan bulan puasa 1977. Biaya-biaya diharapkan Rp 500 ribu didapat dari hasil bimbingan test penerimaan mahasiswa STTJ. Rencana Fahmi, katanya sudah ada sejak terdakwa ini duduk di bangku SMA. Kemudian ia juga sering berbicara, dalam ceramah agama di STTJ maupun masjid ARH, soal perlunya pemberantasan tempat-tempat maksiat. Ceramah-ceramah terdakwa yang demikian itu oleh Djaelani dicatat cermat, dan diberi judul "Organisasi Bawah Tanah Komando Jihad Fisabilillah" (TEMPO, 3 Desember). Dalam sanggahannya Fahmi menolak tuduhan jaksa. Barang-barang bukti yang disebut dalam tuduhan jaksa, berupa bahan kimia, menurut terdakwa bukanlah barang berbahaya. Semuanya dapat diperoleh dari apotik tanpa izin khusus. "Sangatlah janggal sekali kalau lantaran bahan-bahan kimia semacam itu seorang dituduh subversif," kata Fahmi. Karena hanya dengan barang semacam itu, "mustahil jika dapat menggulingkan pemerintah, menimbulkan kegaduhan, kekacauan, yang mengganggu ketenangan umum yang bersifat luas" sepelti yang dirumuskan dalam undang-undang anti kejahatan subversi. Jika bahan kimia itu diramu, sebagian atau seluruhnya, di luar atau dalam laboratorium? terdakwa bilang, "tidak menunjukkan suatu hasil reaksi atau suatu macam bahan lain yang dapat dikatakan berbahaya .... menuduh punya cukup banyak waktu untuk meneliti bahan tersebut di laboratorium." Siapa Dengan Siapa? Memang belum ada sebuah tempat maksiat pun yang dihantam Fahmi dengan alat-alat bukti yang dimajukan Jaksa. Namun ide hendak menghancurkan tempat maksiat, setidaknya keinginan semacam itu, tak disangkalnya dalam eksepsi. Dia malah menggambarkan: Salah satu musuh negara ialah bercabulnya kemaksiatan. Hal itu. katanya. bertentangan dengan cita-cita kemerdekaan negara yang selalu disebut "berdasarkan rahmat Tuhan Yang Maha Esa". Dengan dibiarkannya dan ditunda-tundanya penutupan tempat maksiat, menurut terdakwa, justru pihak yang menuduhnya lah yang nyata-nyata "menyatakan simpati bagi musuh negara." Dan menurut undang-undang, yang bersimpati kepada musuh negara memang boleh disebut subversif. Terdakwa, yang dalam kehidupannya sehari-hari tampak sederhana (tempat tinggalnya yang tetap tak diketahui, hanya selalu kelihatan menginap di masjid Al Falah, di Jalan Sudirman, tempat dia mengajar anak-anak mengaji), merasa dirinya telah berbuat baik. Setidaknya berfikir dan berkeinginan, belum sampai berbuat, memberantas kemaksiatan. Memang sulit: adakah sesuatu fikiran dapat diadili? Itulah sebabnya terdakwa mendesak jaksa dengan pertanyaan beruntun. Akibat kejahatan subversi terdakwa: "Antara siapa dengan siapakah atau masyarakat mana dengan yang manakah tersebar rasa permusuhan? Di mana terjadi perpecahan? Pertentangan siapa dengan siapakah? Siapa yang benar di antara mereka? Negara dan bangsa berpihak kepada siapa? Adakah kegoncangan fisik dan rohani? Penduduk mana yang gelisah? Apakah penuduh juga gelisah?" Fahmi minta agar penuduhnya (jaksa) menjawab pertanyaannya secara "tertulis dan jelas." Sebab, menurut pendapatnya, rasa perpecahan dan permusuhan sudah ada "sejak hadirnya kemaksiatan di negeri ini .... " Agaknya sulit juga menanggapi sikap Fahmi Basya secara tepat. "Sebagai pemeluk agama Islam saya tersinggung juga," kata Hakim Hasan Mahmud. Pengacara Anwar Harjono, ahli hukum dan tokoh pergetakan muda Islam waktu yang lampau, tak dapat menyalahkan Fahmi. "Dia, seperti juga orang banyak mmbicarakan, sudah tidak percaya lagi pada-lembaga peradilan kita." Dalam keadaan demikian, "wajar jika orang lalu menyandarkan diri pada hukum yang lebih adil, hukum alam atau hukum Allah jika dalam agama Islam." Tanpa bermaksud mempengaruhi pengadilan yang tengah berlangsung, Anwar Harjono menyatakan: "Kita tak boleh membenarkan atau menyalahkan sikap Fahmi'Basya." Soalnya, katanya, bukan boleh atau tidak Fahmi bersikap keras demikian. Juga tak layak menganggap terdakwa itu ekstrim. 'Soalnya lebih mendasar: Perkara Fahmi itu lebih banyak mempunyai segi politis daripada hukum murni." Dan "perkara politik begitu sebaliknya tak dibawa ke pengadilan." Pendapat Anwar Harjono, 55, tak berbeda dengan suara Mr. Yap Thiam Hien ketika membela Sawito. Dia bilang: "Apakah para hakim, yang pegawai negeri dan anggota Korpri, berwenang mengadili perkara politik yang dianggap bertentangan dengan politik pemerintah?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus