MENJADI pintar dalam sehari kini lagi digemari. Sejumlah
manajer berkumpul di sebuah ruang hotel, mendengarkan seorang
atau lebih memberikan ceramah ini dan itu. Kemudian tentu, ada
acara tanya jawab. Menjelang magrib, pertemuan yang dimulai pagi
hari itu pun ditutup. Para manajer, mungkin, pulang dengan
tersenyum. Hari itu mereka telah bertambah pintar.
Seminar sehari - begitu acara itu sering disebut, meski
kadang-kadang diselenggarakan dalam dua hari - tentang manajemen
akhir-akhir ini memang semakin sering diadakan. Institut Bisnis,
Ekonomi, dan Keuangan (IBEK) Kamis pekan ini, misalnya, membuka
seminar konsep periklanan di Hotel Borobudur, Jakarta. Empat
penceramah (dua orang kita dan dua asing) dan Menteri Penerangan
Harmoko tampil.
Bulan-bulan sebelumnya tak pernah kosong pula. Juli, misalnya,
ada seminar sehari tentang manajemen pemasaran hotel, dan
profesi sekretaris oleh Centre for Management Technology
(Cemantech). Di bulan itu pula SGV Utomo, kantor akuntan publik
yang juga bertujuan mengadakan program latihan dan pengembangan
manajemen Indonesia, membuka seminar manajemen sumber daya
manusia. Agustus yang lalu Institut Manajemen Prasetiya Mulya
(IMPM) mengadakan acara serupa, yang membahas soal penerbitan
majalah.
Pokoknya, "seminar sehari memang lagi mode," kata Lo Ginting,
direktur IMPM. Masalahnya kini, acara yang pasang tarif dari Rp
100 ribu hingga Rp 600 ribu untuk tiap peserta itu, seberapa
banyak memberi manfaat. Laurence A. Manullang, direktur IBEK,
mengakui bahwa "tak banyak yang bisa diserap peserta cuma dalam
sehari."
Tapi tak berarti manfaat pertemuan ini sama sekali tak ada.
"Seminar bisa menjadi tempat pertemuan antara para manajer dan
pejabat pemerintah untuk saling membukakan persoalannya," kata
Manullang pula. Sudah jamak, memang, acara seperti itu selalu
mengundang satu dua pejabat. Dengan kata lain, fungsi pertemuan
im sepertinya memang untuk lobbying.
Manullang dalam hal ini memang berterus terang. Tidak mudah
memahami sejumlah makalah yaag dilontarkan oleh sejumlah
penceramah dalam satu hari. Meski pokok pembicaraan sudah
diberitahukan sejak lama, makalah sering dibagikan baru pada
hari ceramah dimulai. Mana sempat dipelajari oleh peserta.
Maka, seorang peserta seminar sehari tentang penerbitan majalah,
akhir Agustus lalu, mengeluh. "Tak banyak manfaatnya," kata
peserta dari sebuah majalah yang tak bersedia disebut namanya
itu.
Dengan sistem seperti itu, siapa pun pembicara yang muncul,
agaknya tak banyak berbeda meski pembicara didatangkan dari luar
negeri dan, konon, diseleksi ketat. Misalnya saja SGV Utomo,
Januari lalu mengadakan seminar tentang hukum perpajakan, dengan
pembicara dari Universitas Harvard - universitas terbaik di AS.
Untuk mendatangkan pembicara ini untuk sehari berbicara, Heru
Prasetyo dari SGV Utomo mengaku paling tidak keluar uang Rp 2,5
juta - itu belum termasuk uang transpor dan akomodasi selama di
Indonesia.
Tak heran bila kemudian muncul tuduhan seminar macam ini cuma
cari untung. Diikuti peserta 40-100 orang, dengan ongkos bisa
mencapai setengah juta lebih per orang keuntungan memang
mudahdiraih, meski harus membayar imbalan tinggi bagi
pembicara. Toh, cuma harus membayar ongkos hotel sehari, cuma
harus menyediakan sekali makan siang plus makanan kecil, dan
mencetak beberapa lembar makalah.
Untung, masih ada LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pembinaan
Manajemen), yan sudah berkecimpung dalam pembinaan manajemen
selama 16 tahun. Memang, lembaga ini pun sekali-sekali juga
mengadakan seminar sehari tapi dengan cukup perhitungan.
Misalnya, pembicara dibatasi cuma seorang. Ini, tentunya, agar
peserta bisa berkonsentrasi penuh pada satu topik, agar lebih
bisa memetik manfaatnya. "Kami bukan bertujuan mencari untung
semata," kata Anton Hilman, pengasuh pelajaran bahasa Inggris di
TVRI, manajer bahasa dan manajer hubungan masyarakat di LPPM.
Tapi LPPM tetap lebih percaya pada seminar lokakarya 4 atau 5
hari, yang memakai program yang direncanakan matang, dengan
pembicara yang benar-benar diseleksi ketat. Dengan waktu yang
lebih longgar, diharapkan seminar mendatangkan manfaat yang
besar. "Soalnya daya konsentrasi manusla itu terbatas," tutur
Winoto Doeriat, direktur LPPM. Maksudnya bila seminar cuma
sehari sedangkan banyak pembicara tampil, peserta bisa bingung,
dan akhirnya hanya sia-sia.
Tampaknya memang lagi musim para manajer suka bergaya. "Mereka
itu sendiri yang menghendaki seminar cuma sehari," kata Sesuruh
Sugarda, presiden direktur Cemantech yang baru berdiri Januari
yang lalu. Alasannya, gampang ditebak: para manajer tak punya
waktu, merasa rugi harus meninggalkan usahanya agak lama. Dan
tak penting benar bagi mereka apakah seminar sehari memang
berguna. Yang perlu, ketemu pejabat dan rekan manajer ikut
terlibat diskusi - apalagi dengan ahli asing yang ternama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini