Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sehari dengan seminar

Seminar sehari tentang manajer menjadi mode, banyak perusahaan menyelenggarakan acara tersebut. kurang bermanfaat, ada tuduhan hanya untuk mencari untung. (eb)

8 Oktober 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJADI pintar dalam sehari kini lagi digemari. Sejumlah manajer berkumpul di sebuah ruang hotel, mendengarkan seorang atau lebih memberikan ceramah ini dan itu. Kemudian tentu, ada acara tanya jawab. Menjelang magrib, pertemuan yang dimulai pagi hari itu pun ditutup. Para manajer, mungkin, pulang dengan tersenyum. Hari itu mereka telah bertambah pintar. Seminar sehari - begitu acara itu sering disebut, meski kadang-kadang diselenggarakan dalam dua hari - tentang manajemen akhir-akhir ini memang semakin sering diadakan. Institut Bisnis, Ekonomi, dan Keuangan (IBEK) Kamis pekan ini, misalnya, membuka seminar konsep periklanan di Hotel Borobudur, Jakarta. Empat penceramah (dua orang kita dan dua asing) dan Menteri Penerangan Harmoko tampil. Bulan-bulan sebelumnya tak pernah kosong pula. Juli, misalnya, ada seminar sehari tentang manajemen pemasaran hotel, dan profesi sekretaris oleh Centre for Management Technology (Cemantech). Di bulan itu pula SGV Utomo, kantor akuntan publik yang juga bertujuan mengadakan program latihan dan pengembangan manajemen Indonesia, membuka seminar manajemen sumber daya manusia. Agustus yang lalu Institut Manajemen Prasetiya Mulya (IMPM) mengadakan acara serupa, yang membahas soal penerbitan majalah. Pokoknya, "seminar sehari memang lagi mode," kata Lo Ginting, direktur IMPM. Masalahnya kini, acara yang pasang tarif dari Rp 100 ribu hingga Rp 600 ribu untuk tiap peserta itu, seberapa banyak memberi manfaat. Laurence A. Manullang, direktur IBEK, mengakui bahwa "tak banyak yang bisa diserap peserta cuma dalam sehari." Tapi tak berarti manfaat pertemuan ini sama sekali tak ada. "Seminar bisa menjadi tempat pertemuan antara para manajer dan pejabat pemerintah untuk saling membukakan persoalannya," kata Manullang pula. Sudah jamak, memang, acara seperti itu selalu mengundang satu dua pejabat. Dengan kata lain, fungsi pertemuan im sepertinya memang untuk lobbying. Manullang dalam hal ini memang berterus terang. Tidak mudah memahami sejumlah makalah yaag dilontarkan oleh sejumlah penceramah dalam satu hari. Meski pokok pembicaraan sudah diberitahukan sejak lama, makalah sering dibagikan baru pada hari ceramah dimulai. Mana sempat dipelajari oleh peserta. Maka, seorang peserta seminar sehari tentang penerbitan majalah, akhir Agustus lalu, mengeluh. "Tak banyak manfaatnya," kata peserta dari sebuah majalah yang tak bersedia disebut namanya itu. Dengan sistem seperti itu, siapa pun pembicara yang muncul, agaknya tak banyak berbeda meski pembicara didatangkan dari luar negeri dan, konon, diseleksi ketat. Misalnya saja SGV Utomo, Januari lalu mengadakan seminar tentang hukum perpajakan, dengan pembicara dari Universitas Harvard - universitas terbaik di AS. Untuk mendatangkan pembicara ini untuk sehari berbicara, Heru Prasetyo dari SGV Utomo mengaku paling tidak keluar uang Rp 2,5 juta - itu belum termasuk uang transpor dan akomodasi selama di Indonesia. Tak heran bila kemudian muncul tuduhan seminar macam ini cuma cari untung. Diikuti peserta 40-100 orang, dengan ongkos bisa mencapai setengah juta lebih per orang keuntungan memang mudahdiraih, meski harus membayar imbalan tinggi bagi pembicara. Toh, cuma harus membayar ongkos hotel sehari, cuma harus menyediakan sekali makan siang plus makanan kecil, dan mencetak beberapa lembar makalah. Untung, masih ada LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen), yan sudah berkecimpung dalam pembinaan manajemen selama 16 tahun. Memang, lembaga ini pun sekali-sekali juga mengadakan seminar sehari tapi dengan cukup perhitungan. Misalnya, pembicara dibatasi cuma seorang. Ini, tentunya, agar peserta bisa berkonsentrasi penuh pada satu topik, agar lebih bisa memetik manfaatnya. "Kami bukan bertujuan mencari untung semata," kata Anton Hilman, pengasuh pelajaran bahasa Inggris di TVRI, manajer bahasa dan manajer hubungan masyarakat di LPPM. Tapi LPPM tetap lebih percaya pada seminar lokakarya 4 atau 5 hari, yang memakai program yang direncanakan matang, dengan pembicara yang benar-benar diseleksi ketat. Dengan waktu yang lebih longgar, diharapkan seminar mendatangkan manfaat yang besar. "Soalnya daya konsentrasi manusla itu terbatas," tutur Winoto Doeriat, direktur LPPM. Maksudnya bila seminar cuma sehari sedangkan banyak pembicara tampil, peserta bisa bingung, dan akhirnya hanya sia-sia. Tampaknya memang lagi musim para manajer suka bergaya. "Mereka itu sendiri yang menghendaki seminar cuma sehari," kata Sesuruh Sugarda, presiden direktur Cemantech yang baru berdiri Januari yang lalu. Alasannya, gampang ditebak: para manajer tak punya waktu, merasa rugi harus meninggalkan usahanya agak lama. Dan tak penting benar bagi mereka apakah seminar sehari memang berguna. Yang perlu, ketemu pejabat dan rekan manajer ikut terlibat diskusi - apalagi dengan ahli asing yang ternama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus