Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi
TNI Bersama Rakyat

Berita Tempo Plus

Awal Mula Tentara Masuk ke BUMN

Penempatan tentara di BUMN pada era Orde Lama dan Orde Baru sarat masalah dan penyelewengan. Berbeda model kepemimpinan. 

2 Maret 2025 | 08.30 WIB

Ibnu Sutowo saat berseragam militer di Jakarta, 1971. Dok. Tempo/Bur Rasuanto
Perbesar
Ibnu Sutowo saat berseragam militer di Jakarta, 1971. Dok. Tempo/Bur Rasuanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto menempatkan tentara di BUMN.

  • Ibnu Sutowo dan Bustanil Arifin mengelola BUMN dalam waktu yang cukup lama.

  • Penunjukan tentara aktif dalam manajemen BUMN bertentangan dengan Undang-Undang TNI.

SURAT bertarikh 15 November 1976 itu mengungkapkan pengakuan penting Ibnu Sutowo. Ibnu, mantan Direktur Utama PT Pertamina, mengaku telah melakukan serangkaian kesalahan yang melanggar ketentuan di badan usaha milik negara itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pernyataan itu mengemuka dalam sidang sengketa tanker di pengadilan New York, Amerika Serikat, antara Bruce Rappaport—bekas mitra usaha Pertamina—dan pemerintah Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Laporan majalah Tempo edisi 29 Februari 1992 menyebutkan Pertamina saat itu sebenarnya sedang dalam masa keemasan atau lazim disebut era Bonanza Minyak. Hal ini terjadi setelah harga minyak dunia naik empat kali lipat, yang dipicu perang di Timur Tengah pada Oktober 1973.

Ketika harga minyak menembus US$ 12 per barel, Pertamina menjadi perusahaan superkaya. Dengan mengekspor minyak ke mana-mana, Pertamina meraup duit miliaran dolar Amerika. Asetnya pun bertebaran, dari sejumlah gedung di Jakarta, hotel bintang lima, hingga restoran di New York. 

Ketika memimpin Pertamina, Ibnu Sutowo ditugasi Presiden Soeharto menggarap berbagai proyek industri di luar bisnis minyak. Contohnya kelanjutan proyek pabrik baja di Cilegon, yang kini dikenal sebagai PT Krakatau Steel di Banten.

Ibnu juga mendapat tugas mengubah area hutan Batam di Kepulauan Riau menjadi kawasan industri modern. Proyek jumbo lain adalah pembuatan pabrik pupuk terapung di lepas pantai Bontang, Kalimantan Timur. 

Nasib Pertamina berubah 180 derajat pada Maret 1975, setelah First Republic Bank of Dallas mengumumkan perusahaan itu tidak mampu memenuhi cicilan utangnya. Tagihan dari bank di Negeri Abang Sam itu ternyata hanya puncak dari gunung es utang Pertamina yang mencapai US$ 10,5 miliar. Sebagai gambaran, penerimaan negara pada 1975-1976 hanya sekitar US$ 6 miliar. Cadangan devisa negara sampai Mei 1975 pun cuma US$ 400 juta. Tapi utang Pertamina itu harus dilunasi pada 1974-1975. 

Saat itu Pertamina juga sudah berutang pada kas negara. Utang Pertamina itu antara lain US$ 2,4 miliar untuk proyek Krakatau Steel, US$ 2,5 miliar utang dagang, US$ 180 juta utang proyek telekomunikasi, dan US$ 3,3 miliar utang dari kontrak sewa-beli tanker. Pada 1976, setahun setelah krisis keuangan mendera Pertamina, pemerintah memberhentikan Ibnu Sutowo dan tujuh direktur lain dari jabatan mereka. 

Jika dilihat latar belakangnya, Ibnu bukanlah ahli minyak ataupun eksekutif perusahaan. Dia dokter militer dan perwira aktif yang diserahi tugas memimpin Pertamina sejak bernama PT Perusahaan Minyak Sumatera Utara dan PT Perusahaan Minyak Nasional atau Permina di era Presiden Sukarno hingga Soeharto. Di bawah kepemimpinan Ibnu, Pertamina menjelma menjadi perusahaan raksasa, tapi juga menyimpan banyak persoalan. 

Ibnu bukan satu-satunya perwira militer aktif yang menempati pucuk pimpinan di badan usaha milik negara. Pengganti Ibnu di Pertamina, Piet Haryono, adalah perwira Angkatan Darat dengan pangkat terakhir mayor jenderal. Tokoh lain adalah Bustanil Arifin, Kepala Badan Urusan Logistik pada 1973-1993. Bustanil, yang menyandang pangkat terakhir letnan jenderal Angkatan Darat, juga pernah merangkap jabatan Menteri Muda Koperasi pada 1978-1983 dan Menteri Koperasi pada 1983-1993.

Pada masa kepemimpinan Bustanil, selama dua dekade, Bulog menghadapi banyak persoalan, dari korupsi, sengkarut harga gula, masalah impor beras, hingga kasus penjualan aset. Bustanil pernah menjadi tersangka dugaan penyelewengan dana operasional untuk pembelian tanah milik Bambang Trihatmodjo—anak Presiden Soeharto.

Majalah Tempo edisi 19 Maret 2007 melaporkan Kejaksaan Agung menyatakan ada penggelembungan dana hingga Rp 8,2 miliar dalam pembelian tanah seluas 4.000 meter persegi itu. Tapi belakangan Kejaksaan menyatakan tak ada bukti Bustanil melakukan korupsi. 

Bustanil Arifin di Jakarta tahun 1993. Dok. Tempo/ Rully Kesuma

Penunjukan tentara seperti Ibnu Sutowo dan Bustanil Arifin menjadi pemimpin BUMN bakal berlanjut di masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Padahal kondisi saat ini berbeda dengan era Orde Lama dan Orde Baru, ketika Indonesia belum memiliki sumber daya manusia yang cukup untuk mengelola BUMN hasil nasionalisasi perusahaan Belanda. 

Peneliti BUMN dari Lembaga Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Toto Pranoto, mengungkapkan, pada masa tersebut, kampus dilibatkan untuk memberi pelatihan manajerial bagi para perwira militer aktif yang akan menjadi pengelola BUMN.

Menurut dia, ketika itu alasannya kuat karena perwira militer dianggap lebih siap dari segi pendidikan untuk mengelola perusahaan dibanding kalangan lain. "Tapi kini masyarakat sipil makin kuat dan profesional pengelola perusahaan juga makin banyak.”

Dalam sepuluh tahun terakhir, Toto melihat pola rekrutmen manajemen perusahaan pelat merah sudah dilakukan berdasarkan profil kebutuhan perusahaan. Kementerian Badan Usaha Milik Negara pun melakukan pencarian bakat atau talent pooling dari perusahaan negara, perusahaan swasta nasional, hingga korporasi multinasional.

Menurut Toto, pengelolaan BUMN oleh para profesional pun mulai menunjukkan hasil baik, yang terlihat dari laporan keuangan beberapa perusahaan. 

Karena itu, Toto menambahkan, dalam pemilihan pengurus BUMN, hal yang terpenting adalah pengukuran kapasitas dan kapabilitas calon pengisi manajemen. Hal ini bisa dilihat melalui sejumlah cara, seperti uji kelayakan dan kepatutan. Dia juga mengingatkan pemerintah agar memilih pengurus BUMN sesuai dengan aturan.

Penunjukan perwira militer aktif bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Pasal 47 Undang-Undang TNI menyatakan tentara aktif hanya dapat mengisi jabatan sipil yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan, bukan BUMN. 

Toh, pola Orde Lama dan Orde Baru terulang ketika pada Jumat, 7 Februari 2025, pemerintah menunjuk Mayor Jenderal Novi Helmy Prasetya sebagai Direktur Utama Perusahaan Umum Bulog. Menteri BUMN Erick Thohir beralasan penunjukan Novi bertujuan memastikan tercapainya target penyerapan beras 3 juta ton.

Menurut Erick, kebijakan ini diambil agar Indonesia bisa bertahan di tengah situasi dunia yang gonjang-ganjing. “Sekarang dunia ada di era survival. Indonesia pun harus survive dengan impitan-impitan kebijakan dari berbagai negara.”

Peneliti Institute of Southeast Asian Studies-Yusof Ishak Institute, Singapura, Made Supriatma, mengatakan pengangkatan tentara aktif menjadi direktur atau manajer BUMN melanggar Undang-Undang TNI. Kebijakan ini pun akan berdampak negatif terhadap institusi militer ataupun BUMN serta mempengaruhi hubungan sipil dengan militer.

Made khawatir nantinya para perwira TNI tak terpicu keinginan membela negara, tapi mengincar jabatan-jabatan sipil. “Memasukkan para perwira militer ke posisi-posisi sipil akan menghancurkan institusi militer sekaligus mengganggu manajemen BUMN dan badan usaha milik daerah,” tuturnya.   

Menurut Made, pemerintah seharusnya menunjuk pensiunan atau memensiunkan tentara yang akan masuk manajemen BUMN. Mereka, Made melanjutkan, juga tak bisa mendapat karpet merah, tapi harus diseleksi sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Apalagi pengalaman para perwira memimpin satuan militer sangat berbeda dengan mengelola perusahaan yang harus berurusan dengan pasar dan pelayanan publik. “Apakah tentara yang bergerak dalam komando yang kaku itu bisa menyesuaikan diri dengan iklim pasar kompetitif yang mengharuskan mereka berinovasi?” 

Dede Leni berkontribusi dalam penulisan artikel ini,
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Pola Lama Terjadi Lagi

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus