USIA empat puluh lima tahun bagi Radio Republik Indonesia rasanya sudah benar-benar tua. Lihat saja setelah radio milik pemerintah itu berulang tahun 11 September lalu. Suaranya tak terlalu indah dan semarak. Keadaannya cenderung menyedihkan. Gambaran kurangnya peralatan, studio apek, dana yang mepet hampir menjadi bagian citra RRI. Acara yang itu-itu juga masih disiarkan dari tahun ke tahun. Misalnya saja RRI Nusantara II, Yogyakarta. Studio untuk siaran gelombang pendek berupa ruangan 30 m2 panas dan pengap. Di sebelahnya, berbatas kaca dan papan, ada "kotak" berukuran sekitar 3 x 4 meter yang menjadi tempat bekerja para penyiar. Setiap kali usai membacakan pesan, para angkasawan RRI itu segera keluar dari kotaknya. "Panasnya tak tertahankan karena tak ada AC," kata seorang penyiar sambil mengusir keringatnya dengan mengipaskan selembar karton. Kenyataan serba kekurangan ini sering dijadikan alat permintaan maaf dari angkasawan RRI. Sampai-sampai ada anggapan bahwa pendengar RRI banyak yang kabur dan beralih ke radio swasta atau televisi. "Kami yang bekerja di radio tentu sedih jika ada yang mengatakan begitu," kata Direktur Radio, M. Arsyad Subik. Ia berani melempar pernyataan demikian karena yakin bahwa RRI belum ditinggal penggemarnya. Agaknya, Subik berbicara bukan semata melihat ada klompencapir alias kelompok pendengar (radio), pembaca (koran), dan pirsawan (TVRI) di mana-mana. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Penerangan memberikan petunjuk demikian. Kesahihan penelitian ini tampaknya cukup bisa diandalkan. Dengan bantuan Japan International Corporation Agency (JICA), penelitian diperkuat pakarnya, Prof. Dr. Shinsaku Kohei, dari Universitas Kyorin, Jepang. Dari 4.444 responden yang diambil dari seluruh Indonesia, hanya 19 persen lebih yang mengaku tak lagi menjadi pendengar RRI. Bahkan hampir 42 persen responden mengatakan menyetel RRI setiap hari. Meskipun data mengatakan demikian, tak berarti RRI bebas dari masalah. Bisa saja para pendengar itu terpaksa menyetel RI karena ada keharusan radio swasta merelai siaran berita setiap jam. Nah, data memang berbicara, 53 persen responden mengaku selalu mendengarkan warta berita radio pemerintah itu. Meskipun merasa masih tetap dicintai pendengarnya, menurut Subik, bukan berarti RRI lantas menepuk dada. "Saya tahu, memang masih banyak yang harus dibenahi," katanya. Dan masalah nomor satu ternyata balik ke soal sarana tadi. Siaran gelombang FM RRI Jakarta, misalnya, tak bisa menyiarkan suara stereo yang enak di kuping. Sebagian peralatan studio masih mono dan darurat. Belum lagi peralatan pemancar yang bisa dibilang sudah uzur. Pemancar merek Gates buatan tahun 1950-an, misalnya, masih menjadi andalan sebagian pemancar RRI, termasuk di Jakarta. Pemerintah tampaknya tahu soal itu. Maka, dari Rp 34 milyar lebih dana pembangunan Departemen Penerangan tahun 1990/1991, Rp 20,7 milyar dikirim ke Direktorat Radio. Belum lagi bantuan dari negara sahabat. Dari Jepang sudah meluncur bantuan kurang lebih Rp 77 milyar. Yang disebut terakhir dipakai untuk membenahi peralatan studio. Amerika membantu suku cadang untuk perbaikan beberapa pemancar tua, senilai Rp 7,3 milyar. Austria, tak mau kalah, mengirim bantuan lunak Rp 22,8 milyar. Ini untuk meng-up grade lima stasiun: Yogya, Denpasar, Surabaya, Bandung, dan Banjarmasin. Sedangkan untuk stasiun Jakarta, Inggris sudah merogoh kantung Rp 21,5 milyar lebih bagi dua pemancar FM berkekuatan 10 kilowatt. Maka, akhir tahun ini, Subik mengharap siaran FM RRI Jakarta sudah bisa full stereo dan mengudara 24 jam penuh. Lalu, apakah program RRI akan kebanjiran peminat? Subik mengaku sudah menyiapkan serangkaian acara menarik. Cuma, siaran musik di radio swasta sudah telanjur dikerubuti penggemar. Terutama tangga lagu dan pilihan lagu-lagu top hit. Belum lagi kebebasan radio swasta yang menyajikan "dagangannya" yakni acara yang menarik dan iklan. Ada acara tebak-menebak dengan hadiah ratusan ribu atau mobil seperti dilakukan Radio El Victor Surabaya atau Prambors Jakarta. Suara Kejayaan Jakarta bahkan memproklamasikan diri sebagai radio full humor. Atau tip berita dan kemacetan lalu lintas Jakarta seperti diudarakan Radio Sonora. Nampaknya, kreativitas memang menjadi kendala bagi RRI untuk tetap pada mottonya: "Sekali di udara tetap di udara". Seperti kata Alwi Dahlan, seorang ahli ilmu komunikasi dari Universitas Indonesia, "Media siaran harus lincah dan kreatif. Tidak bisa dikelola secara birokratis seperti RRI," katanya. Lain lagi pandangan orang RRI yang mengaku tak bebas mencipta. "Sekuriti di sini ketat sekali," kata Subik. Ia mencontohkan soal main telepon langsung seperti di radio swasta -- yang dianggapnya sangat berbahaya. Sebagai radio milik pemerintah, demikian Subik beristilah, kekeliruan di ucapan tak akan bisa dimaafkan. Susahnya, kemacetan kreativitas ini juga melanda pengelolaan iklan di RRI yang semestinya bisa menjadi sumber dana. Sampai-sampai Menteri Penerangan Harmoko punya ide agar pengelolaan iklan RRI diserahkan pada swasta. Bayangkan, sepanjang tahun 1989 kemarin, dana yang dihimpun RRI di seluruh Indonesia cuma Rp 300 juta. Artinya, tak sampai sepertiga pendapatan Radio Prambors Jakarta. Subik tak menyangkal penilaian Menteri Harmoko. Orang RRI tak profesional dalam berbisnis. "Kami pegawai negeri. Jadi, kurang lincah, banyak aturan mainnya," katanya. Sebagai pembawa suara pemerintah, RRI jelas tak bisa sewenang-wenang berkreasi dan berbisnis. Yopie Hidayat dan Ardian T. Gesuri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini