SEBUAH film yang dibuat dengan kerja keras, penuh kecermatan, membutuhkan biaya besar, setelah jadi ternyata hanya mengisi gudang. Uniknya lagi, film itu sudah lolos sensor dan mutunya, walau tak bagus benar, jauh lebih baik ketimbang kebanyakan film nasional yang mengisi gedung-gedung bioskop belakangan ini. Setidaknya ada dua film yang masuk kategori naas ini. Semuanya produksi tahun lalu. Satunya: Jakarta 1966, karya Arifin C. Noer yang dibuat bertahun-tahun yang mengisahkan kelahiran Orde Baru. Satunya lagi, Nyoman dan Presiden, sebuah fiksi tentang perjuangan keras seorang bocah miskin di Bali untuk mewujudkan cita-citanya menemui seorang presiden, karya Judy Subroto. Arifin mengaku betul-betul tidak tahu kenapa filmnya belum diedarkan. "Saya malah sudah lupa film itu," kata sutradara yang kini tengah merampungkan film Taksi ini. Tampaknya, film ini tertahan di produsernya sendiri, yakni PPFN. Dari Departemen Penerangan, menurut Penjabat Dirjen RTF Ir. Dewabrata, tak ada masalah. Akan halnya Nyoman memang tersangkut di Deppen, gara-gara judul. Judy sendiri, baik selaku sutradara maupun Direktur Produksi PT Jantera Sidha Dyatmika Film yang memproduksi film itu, sudah setengah putus asa mengeluarkan filmnya. Sekarang masalahnya tak cuma urusan Deppen, tapi ada instansi lain yang terkait, yakni Sekretariat Negara. Lo, kok bisa? Ceritanya panjang. Ketika skenario diserahkan ke Deppen, film ini memakai judul Nyoman dan Presiden. Dan Deppen pun, Februari tahun silam, memberikan izin prinsip. Tapi, ketika izin produksi keluar sebulan setelah itu judul film menjadi Nyoman (tanpa embel-embel dan Presiden) sambil dinyatakan bahwa itu judul sementara. Rupanya, Judy tak ambil pusing, langsung saja menggenjot film itu. Sebagian besar film ini shooting di Bali dan memakai artis lokal. Setelah film itu selesai, persoalan baru muncul. Judy dipanggil Deppen agar judul filmnya tidak memakai Nyoman dan Presiden. Sementara film diserahkan ke BSF untuk disensor -- dengan judul Nyoman dan Presiden -- Judy diminta oleh Deppen memilih satu dari lima judul ini: Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Bangsa, Nyoman dan Merah Putih, dan Nyoman dan Indonesia. Judy memilih Nyoman dan Merah Putih. "Film ini lolos dari BSF tanpa potongan satu frame pun. BSF nggak ngapa-ngapain ini film," cerita Judy kepada Gindo Tampubolon dari TEMPO. Artinya, BSF pun tak mempersoalkan judul yang tertera di film itu. "Mereka tak tahu ada persoalan," kata Judy. Rupanya, semangat Judy hidup lagi untuk meneruskan judul aslinya. "Film ini tidak mengkultuskan Presiden. Film ini menggambarkan perjalanan anak manusia mencapai Tuhannya, moksa," kata Judy. Presiden di situ adalah sekadar simbol, yakni simbol keutamaan untuk mencapai moksa. Maka, film itu diputar di berbagai instansi, untuk dimintai pertimbangan, apakah judulnya "patut atau tidak patut". Departemen Hankam memberikan rekomendasi lewat surat yang ditujukan kepada Direktur Pembinaan Film dan Rekaman Video Deppen. Surat yang ditandatangani Sekjen Dephankam Letnan Jenderal I.B. Sudjana itu menyebutkan, "Film ini jauh lebih masuk akal dan lebih sesuai bila memakai judul aslinya yaitu Nyoman dan Presiden." Disebutkan bahwa Dephankam sudah meneliti jalan cerita serta penyajian adegan film itu, dan "tidak terdapat hal-hal yang dapat merugikan atau bersifat negatif, baik bagi lembaga kepresidenan, pemerintah RI, maupun masyarakat apabila film itu memakai judul aslinya." Sekretaris Militer Presiden, Mayor Jenderal Syaukat Bandjaransari, menurut Judy, pernah menunjukkan memo dari Presiden Soeharto yang menyatakan bahwa film itu baik. Dewabrata juga mengakui hal ini. "Memang Pak Syaukat pernah mengatakan hal itu secara lisan kepada saya," kata Dewabrata kepada TEMPO. Tokoh perfilman Soemardjono, dalam suratnya kepada Ketua Departemen Seni Budaya DPP Golkar, juga menyebutkan, "Nyoman dan Presiden memiliki nilai kultural dan edukatif yang tinggi." Semua rekomendasi ini membuat Judy ingin agar filmnya itu dikembalikan ke judul aslinya. Namun, Deppen tetap berkeberatan. "Penampilan Presiden (Soeharto) di film ini terkesan sumir, seperti ditempelkan saja," alasan Dewabrata. Pertimbangan lain, "Lembaga kepresidenan adalah lembaga istimewa. Bila diizinkan, bisa-bisa banyak film dengan judul itu. Lembaga istimewa yang patut dihormati ini tidak pantas diperdagangkan, film kan diperdagangkan," katanya lagi. Rupanya, belakangan, Deppen pun merasa perlu meminta pertimbangan ke Sekretariat Negara, apakah judul Nyoman dan Presiden itu bisa diizinkan. Dalam hal meminta pertimbangan untuk judul-judul film, menurut Dewabrata, sesuatu yang biasa. Film Kisah Adam dan Hawa, misalnya, diloloskan setelah minta pertimbangan ke MUI (Majelis Ulama Indonesia). Setahun sudah terkatung-katung. Film yang dibintangi Yatie Surahman, Putu Wijaya, dan pendatang baru Dewa Gde Badung Sumartha (sebagai Nyoman) ini belum bisa dinikmati penonton umum. Padahal, harus diakui, Judy sebagai sutradara pemula -- semula ia penata artistik dengan dua Piala Citra -- membuat film pertamanya ini sebagai taruhan. Kerja samanya dengan Putu Wijaya mampu menghadirkan suasana Bali yang benar. Kehidupan di sebuah desa yang sederhana di Bali, lengkap dengan upacara agama dan pergaulan di kalangan anak-anak yang berbeda agama, tidak terjebak pada pesan sponsor: entah itu berupa slogan atau niat untuk mengaitkan dengan pariwisata. Ilustrasi musik yang dibuat Leo Kristi pun bagus, dengan diangkatnya lagu dolanan anak-anak Bali, Meong-meong ke dalam orkestra. Kini, Judy pasrah. "Sekarang saya maunya film itu keluar, soal judul sudahlah," katanya. Maklum, ini menyangkut uang yang tidak sedikit. Menurut Judy, sudah Rp 1 milyar yang dikeluarkan untuk film ini. Ongkos produksinya sendiri sekitar Rp 700 juta. Sayangnya, kini Deppen justru menunggu rekomendasi -- yang telanjur dimintanya -- dari Sekneg. Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini