DIRGANTARA yang mahaluas itu, dari zaman purba sampai kini, tetap menawarkan pesona yang sukar ditampik. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin ada dongeng Yunani tentang Ikarus yang pernah terbang tinggi -- lalu terempas. Atau Gatotkaca, yang, menurut para dalang, bisa sesukanya menembus awan untuk kemudian mendarat di muka bumi dan dengan kekebalannya menumpas lawan-lawannya yang sakti. Peradaban abad ke-20 juga menampilkan manusia-manusia dirgantara fiktif seperti Superman atau Flash Gordon. Namun, dalam era kerdirgantaraan modern, pahlawan satu-satunya tetaplah Charles Lindberg, orang Amerika yang mampu membuat pesawat yang mengudara dengan baik, dan pada tahun 1927 berhasil melintasi Lautan Atlantik dalam penerbangan 33,5 jam nonstop. Sampai ajalnya pada tahun 1974, Lindberg dikenal sebagai tokoh legendaris, orang yang membuat angkasa itu bagaikan misteri yang mempesona tapi toh bisa ditaklukkan. Bagi Letnan Kolonel Ign. Pujianto, misteri itu adalah menyatu dengan langit yang biru, bergurau dengan gumpalan awan, seraya menghayati keheningan mutlak, keheningan yang hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang bisa terbang. Lulusan Akabri Udara yang belakangan menjadi staf akhli KSAU ini sering terbang dengan pesawat berbadan kaca serat (fiber glass), miliknya. "Kalau sehari saja tidak terbang atau minimal melihat pesawat, hidup ini rasanya ada yang kurang," katanya, apa adanya. Orang-orang dengan semangat seperti Pujianto itulah yang meramaikan udara kawasan Pondok Cabe, selama sepekan ini (16-23 September), dalam acara Jakarta Aero Sport (JAS). Bekerja dengan FASI (Federasi Aero Sport Indonesia), kegiatan tersebut menampilkan pula olahraga kedirgantaraan lainnya, seperti terjun payung, terbang layang, pesawat ultralight, tak terkecuali air rally bagi pesawat bermesin. Adapun jenis pesawat yang dipiloti Pujianto, termasuk golongan pesawat swayasa yang ada dalam JAS, juga ikut memeriahkan udara. Swayasa merupakan jenis pesawat yang sebagian besar (katakankah 51%) dari badannya dirakit oleh seorang atau kelompok tertentu, untuk kepentingan kependidikan atau bersifat rekreatif (sport). Laik terbangnya dinyatakan melalui sertifikat dari Ditjen Perhubungan Udara, Dpartemen Perhubungan RI. Swayasa termasuk kategori pesawat eksperimental. Supaya kegiatan swayasa berkembang lebih baik, FASI kemudian membentuk Pusat Pesawat Swayasa FASI atau Experimental Aircraft Division -- bekerja sama dengan Ditjen Perhubungan Udara. Dengan demikian, ada harapan olahraga dirgantara khusus pesawat swayasa tidak terlalu ketinggalan, misalnya dibanding di Eropa atau AS yang dalam 10 tahun terakhir ini berkembang pesat. Hal ini didukung oleh aktivitas perusahaan penjual rancangan dan komponen pesawat. Selanjutnya, bergantung kepada kreativitas grup atau perorangan yang merakitnya. Dari kreativitas itu, lahirlah misalnya Lycoming tipe 0-320, satu pesawat eksperimen yang dirakit oleh Frank D. Reuneker. "Saya merakitnya selama sepuluh bulan," katanya. Mesinnya ia datangkan dari AS. "Itu betul-betul mesin pesawat, bukan mesin dua tax yang dimodifikasi. Karena itu, saya menggunakannya untuk aerobatik segala," kata Keuneker. Kabarnya, memang ada saja penggemar swayasa yang menggunakan mesin dua tax, dihidupkan oleh bensin campur. "Kalau saya, pasti tidak berani pakai mesin yang bukan khusus untuk pesawat," ujar Reuneker. Sehari-hari menjabat sebagai Presiden Direktur PT Airfast, Reuneker menyiapkan pesawat kesayangannya itu bertahun-tahun. Katanya, perlu diperhitungkan jenis pesawat apa yang hendak dibuat, dari logam atau komposit, bisa mendarat di lapangan pendek atau harus panjang. "Saya memilih bahan dari logam, bisa aerobatik, cukup untuk dua orang, dan bisa mendarat di lapangan rumput, tak perlu yang panjang," tuturnya bersemangat. Pesawat rakitan Reuneker, melesat dengan kecepatan 160 mil/jam dan bisa melanglang sampai ke Yogya atau Semarang. Lain Reuneker, lain Pujianto. Letkol. TNI-AU ini, untuk pembuatan swayasanya -- jenis KR-2 -- mendapat fiber glass dari teman-temannya. Mesinnya dari bekas Dirut Garuda Wiweko, berupa mesin VW 2.100 cc. Komponen kayu bekas peti kemas ia beli di Pulogadung. Kalau dihitung, anggaran seluruhnya tak kurang dari US$ 4.500. "Saya menyelesaikan pesawat ini selama dua tahun," kata Pujianto. Ia mengerjakan pesawat itu pada waktu-waktu luang. Tapi, "Kalau lagi asyik bisa lupa makan dan tidur." Ia membuat pesawat berkecepatan 160 mii/jam (mampu terbang tiga jam) itu di rumahnya, di Kompleks AURI Dwikora Raya, Halim Perdanakusuma, Jakarta. Dalam berswayasa, menurut Herudi Kartowisastro, "Bukan terbangnya saja yang dituju, tapi proses perakitannya itu juga mengasyikkan." Ia telah merakit Pelikan, pesawat dengan tangki berkapasitas 90 liter, sanggup terbang 90 mil/jam, selama enam jam. Biayanya, US$ 15 ribu sampai US$ 20 ribu. Herudi yang sudah terbang sejak 1962, menyatakan, tenaga yang dipakai dalam perakitan adalah siswa-siswa STM. Mereka juga bisa merakit pesawat yang dipakai pada reli Jakarta-Bandung-Tasikmalaya-Solo-Malang. Semua kegiatan dirgantara memang lebih berkembang di Jakarta kendati peminatnya juga ada di Bandung, Yogya, dan Surabaya. Klub para pencinta dirgantara itu juga baru ada di Ibu Kota. Siapa tahu, dalam lima tahun ke depan, hobi dirgantara ini juga berkembang ke luar Pulau Jawa. Laporan Biro Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini