Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hardi, robot atau protes

Pameran lukisan karya-karya hardi di ruang pameran tim, dengan figur-figur yang menyolok, ide-ide besar tapi abstrak. (sr)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAMERAN Hardi bersuasana amarah. Sejumlah kanvas besar, dengan figur-figur yang menyolok, warna-warna oker, merah, cokelat mendominasi bidang gambar. Keramahan nyaris sulit ditemukan di Ruang Pameran Taman Ismail Marzuki, 25 Agustus sampai 8 September ini. Apa boleh buat, Hardi, 31 tahun, memang dengan sadar mengatakan: "Saya seringkali dikuasai ide, dan seringkali masalah teknik penciptaan saya abaikan." Bagi dia ide adalah responnya terhadap lingkungan -- terutama yang berbau protes sosial. Maka bisa dilihat sebuah lukisan yang kira-kira dimaksud menggambarkan dampak sosial pembangunan. Seorang abang pencari barang bekas tergolek tidur di trotoar, beralaskan selembar koran. Keranjang dan besi panjang runcing melengkung ujungnya -- modal kerjanya sehari-hari -- tergeletak di samping si abang. Ada pagar seng merah, membatasi trotoar itu. Dan terlihat sebuah papan yang menyatakan di balik pagar itu sedang dilangsungkan satu pembangunan gedung dengan biaya bermilyar-milyar. Atau yang berjudul Nyoman Dollar. Seorang perempuan tua Bali muncul ke depan, dan di belakangnya sejumlah turis pasang aksi. Menggambarkan Bali yang dijual untuk turis? Begitulah kira-kira. Pun ada sebuah lukisan yang menggambarkan kapal-kapal nelayan tradisional yang nganggur, sementara di jauh sana beroperasi sebuah kapal modern, masih nampak tulisan pada lambungnya yang berbunyi: "Nipon Maru". Dan sebuah buku bertuliskan "jelesveva jayanahe" -- di laut kita jaya -- terbuang dihempas gelombang. Sepotong wajah orang tua terlihat pula di sudut kiri bawah bidang gambar meneteskan airmata. Inilah Hang Tuah Menangis. Lukisan-lukisan yang lain-lain, dari judulnya saja memang telah membersitkan satu semangat komentar sosial: Miss Wawasan Nusantara, Slogan Tak Merubah Keadaan, Welcome Multi National Corporation. Suasana lukisan Hardi yang dipamerkan sekarang memang jauh berbeda dengan pameran-pameran di Indonesia tahun 70-an. Kala itu biasanya ruang pameran dihias penuh dengan bidang, garis dan warna yang tak mewakili apa pun, selain gejolak hati si pelukisnya. Populernya, waktu itu yang menjadi pembicaraan adalah senilukis abstrak atau semi abstrak. Hardi sendiri pernah dengan bersemangat menyuguhkan karya-karya yang hanya terdiri dari warna, bidang, garis dan tekstur. Tak ada figur, tak juga protes. Tapi agaknya ia kemudian merasakan "kebisuan" karya seperti itu, dan lahirlah sebuah karya potret Affandi, yang bercerita dengan nada karikatural. Munculnya gebrakan Senirupa Baru, pada medio 70-an, memberi peluang bagi Hardi untuk terus mencoba "berkomentar sosial." Ia terus mencoba segala macam media: cetak saring, fotografi. Ia pernah memamerkan serial fotografi yang bercerita tentang berbagai obyek sosial. Tak hanya itu. Hardi, jebolan Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia Asri ini pun membuat satu serial kartupos bergambar, yang nadanya pun berkomentar sosial. Sampai di sini bisa disimpulkan, dorongan penciptaan Hardi kurang lebih memang ditimba dari gejolak sosial yang dilihatnya. Masalahnya kemudian, seberapa imbalan bobot ide yang diberikan dengan pengabaian teknik penyampaian itu. Kalau ide hanya berbicara tentang Bali yang dikeroyok turis, atau sejumlah orang yang menjadi tumbal pembangunan, laut yang dirampok orang asing, perusahaan multi nasional yang medepak kepentingan rakyat, itu semua sudah umum diketahui. Tidak usah seorang Hardi. Singkat kata, bagaimana menemukan satu contoh kecil yang nyata, agaknya akan lebih bisa menyampaikan satu pesan daripada sebuah ide besar yang abstrak --meskipun itu diteriakkan. Di antara karya-karya Hardi sendiri sebenarnya ada pula penggambaran contoh-contoh peristiwa yang menyentuh. Sebuah karya fotografi berjudul Anak Kecil di Bawah Jembatan Manggarai salah satu di antaranya. Seorang anak kecil, lelaki, kotor, telanjang bulat dengan gembira memungut mobil-mobilan dari tempat pembuangan barang rongsokan. Foto hitam putih ini bercerita nyata tentang suatu peristiwa di suatu hari di bawah jembatan. Ini lebih berbicara tentang banyak hal, lebih mengharukan, dibanding karya-karya beride abstrak yang berteriak marah itu. Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus