PAMERAN Hardi bersuasana amarah. Sejumlah kanvas besar, dengan
figur-figur yang menyolok, warna-warna oker, merah, cokelat
mendominasi bidang gambar. Keramahan nyaris sulit ditemukan di
Ruang Pameran Taman Ismail Marzuki, 25 Agustus sampai 8
September ini.
Apa boleh buat, Hardi, 31 tahun, memang dengan sadar mengatakan:
"Saya seringkali dikuasai ide, dan seringkali masalah teknik
penciptaan saya abaikan." Bagi dia ide adalah responnya terhadap
lingkungan -- terutama yang berbau protes sosial.
Maka bisa dilihat sebuah lukisan yang kira-kira dimaksud
menggambarkan dampak sosial pembangunan. Seorang abang pencari
barang bekas tergolek tidur di trotoar, beralaskan selembar
koran. Keranjang dan besi panjang runcing melengkung ujungnya --
modal kerjanya sehari-hari -- tergeletak di samping si abang.
Ada pagar seng merah, membatasi trotoar itu. Dan terlihat sebuah
papan yang menyatakan di balik pagar itu sedang dilangsungkan
satu pembangunan gedung dengan biaya bermilyar-milyar.
Atau yang berjudul Nyoman Dollar. Seorang perempuan tua Bali
muncul ke depan, dan di belakangnya sejumlah turis pasang aksi.
Menggambarkan Bali yang dijual untuk turis? Begitulah kira-kira.
Pun ada sebuah lukisan yang menggambarkan kapal-kapal nelayan
tradisional yang nganggur, sementara di jauh sana beroperasi
sebuah kapal modern, masih nampak tulisan pada lambungnya yang
berbunyi: "Nipon Maru". Dan sebuah buku bertuliskan "jelesveva
jayanahe" -- di laut kita jaya -- terbuang dihempas gelombang.
Sepotong wajah orang tua terlihat pula di sudut kiri bawah
bidang gambar meneteskan airmata. Inilah Hang Tuah Menangis.
Lukisan-lukisan yang lain-lain, dari judulnya saja memang telah
membersitkan satu semangat komentar sosial: Miss Wawasan
Nusantara, Slogan Tak Merubah Keadaan, Welcome Multi National
Corporation.
Suasana lukisan Hardi yang dipamerkan sekarang memang jauh
berbeda dengan pameran-pameran di Indonesia tahun 70-an. Kala
itu biasanya ruang pameran dihias penuh dengan bidang, garis dan
warna yang tak mewakili apa pun, selain gejolak hati si
pelukisnya. Populernya, waktu itu yang menjadi pembicaraan
adalah senilukis abstrak atau semi abstrak.
Hardi sendiri pernah dengan bersemangat menyuguhkan karya-karya
yang hanya terdiri dari warna, bidang, garis dan tekstur. Tak
ada figur, tak juga protes. Tapi agaknya ia kemudian merasakan
"kebisuan" karya seperti itu, dan lahirlah sebuah karya potret
Affandi, yang bercerita dengan nada karikatural.
Munculnya gebrakan Senirupa Baru, pada medio 70-an, memberi
peluang bagi Hardi untuk terus mencoba "berkomentar sosial." Ia
terus mencoba segala macam media: cetak saring, fotografi. Ia
pernah memamerkan serial fotografi yang bercerita tentang
berbagai obyek sosial.
Tak hanya itu. Hardi, jebolan Sekolah Tinggi Senirupa Indonesia
Asri ini pun membuat satu serial kartupos bergambar, yang
nadanya pun berkomentar sosial.
Sampai di sini bisa disimpulkan, dorongan penciptaan Hardi
kurang lebih memang ditimba dari gejolak sosial yang dilihatnya.
Masalahnya kemudian, seberapa imbalan bobot ide yang diberikan
dengan pengabaian teknik penyampaian itu. Kalau ide hanya
berbicara tentang Bali yang dikeroyok turis, atau sejumlah orang
yang menjadi tumbal pembangunan, laut yang dirampok orang asing,
perusahaan multi nasional yang medepak kepentingan rakyat, itu
semua sudah umum diketahui. Tidak usah seorang Hardi.
Singkat kata, bagaimana menemukan satu contoh kecil yang nyata,
agaknya akan lebih bisa menyampaikan satu pesan daripada sebuah
ide besar yang abstrak --meskipun itu diteriakkan.
Di antara karya-karya Hardi sendiri sebenarnya ada pula
penggambaran contoh-contoh peristiwa yang menyentuh. Sebuah
karya fotografi berjudul Anak Kecil di Bawah Jembatan Manggarai
salah satu di antaranya. Seorang anak kecil, lelaki, kotor,
telanjang bulat dengan gembira memungut mobil-mobilan dari
tempat pembuangan barang rongsokan. Foto hitam putih ini
bercerita nyata tentang suatu peristiwa di suatu hari di bawah
jembatan. Ini lebih berbicara tentang banyak hal, lebih
mengharukan, dibanding karya-karya beride abstrak yang berteriak
marah itu.
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini