Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sektor Perdagangan Jadi Andalan 2014

Banyak wajib pajak yang belum terdata.

30 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sektor Perdagangan Jadi Andalan 2014

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA - Pemerintah berencana menggenjot penerimaan pajak dari sektor perdagangan pada 2014. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany beralasan sektor perdagangan lebih mampu bertahan dibanding bidang usaha lain di tengah gejolak ekonomi dunia. "Terutama perusahaan perdagangan skala menengah yang diharapkan memberi sumbangan besar," kata Fuad di kantornya akhir pekan lalu.

Data Direktorat Jenderal Pajak menunjukkan penerimaan dari sektor perdagangan terus tumbuh. Pada periode Januari-November 2012, pajak penghasilan (PPh) sektor perdagangan besar dan eceran tumbuh 16,24 persen dibanding periode yang sama pada 2011, dari Rp 90,93 triliun menjadi Rp 105,7 triliun. Sedangkan pada semester I 2013, penerimaan pajak dari sektor perdagangan sudah mencapai Rp 56,8 triliun.

Menurut Fuad, pemerintah sudah membuat aturan yang mendukung rencana meningkatkan pungutan pajak perdagangan. Salah satunya adalah pajak untuk pengusaha dengan omzet tertentu (usaha kecil-menengah/UKM) yang sudah diterapkan sejak Juli lalu dan akan dirasakan manfaatnya pada tahun depan. "Kami kini tengah melanjutkan pendataan wajib pajak," ujarnya.

Fuad mengatakan banyak pedagang skala kecil dan menengah yang belum melunasi pajak sesuai dengan kewajiban nominalnya. Setelah aturan tersebut berlaku, aparat pajak akan menerapkan PPh 1 persen untuk pedagang kecil dan menengah. Untuk mempermudah pembayaran pajak, Direktorat Pajak bekerja sama dengan bank untuk memfasilitasi pembayaran melalui anjungan tunai mandiri (ATM). "Kami sudah bekerja sama dengan beberapa bank, di antaranya Bank Mandiri."

Jumat pekan lalu, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan target penerimaan pajak 2014 sebesar Rp 1.110 triliun. Angka tersebut lebih kecil ketimbang usulan pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 sebesar Rp 1.142 triliun. Fuad mengatakan target tersebut sangat realistis karena berpatokan pada prediksi realisasi penerimaan pajak 2013 dan koreksi pertumbuhan ekonomi menjadi 5,9 persen.

Pelaksana tugas Badan Kebijakan Fiskal, Bambang Brodjonegoro, memperkirakan penerimaan pajak dari perusahaan besar akan menurun seiring dengan kondisi ekonomi global yang memburuk. "Otomatis pajak yang dibayarkan perusahaan tersebut akan berkurang," katanya.

Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pungutan pajak, salah satunya kepada UKM. "Kami tidak melihat nilainya. Ketika mereka masuk dalam sistem, di masa mendatang, pajak yang dibayarkan harus sesuai dengan ketentuan," ujarnya.

Namun pakar perpajakan Yustinus Prastowo mengatakan ekstensifikasi penerimaan pajak dari sektor perdagangan baru terasa dalam jangka waktu lama. "Sulit untuk menerima manfaatnya dalam waktu singkat karena persoalan integrasi data yang belum selesai," kata dia kepada Tempo kemarin.

Persoalan data, kata Prastowo, menjadi masalah laten yang menyebabkan negara kehilangan potensi penerimaan pajak cukup besar. Hal ini, kata dia, terjadi pada sektor perdagangan, di mana banyak pelaku usaha yang tidak terdata. Prastowo mengungkapkan, banyak pedagang di pasar tradisional yang memiliki penghasilan Rp 600 juta per tahun, "tapi tak terdaftar di dinas perpajakan setempat."

Dengan demikian, kata Prastowo, pemerintah harus memperbaiki data wajib pajak sebelum menggenjot penerimaan di sektor perdagangan. Jika hal ini tidak dilakukan, dia menilai ekstensifikasi pajak UKM hanya sebagai program reaktif. "Karena sektor yang sebelumnya diandalkan kini merosot," katanya.ANGGA SUKMA WIJAYA | NINIS CHAIRUNNISA | FERY FIRMANSYAH


  • Target penerimaan pajak (APBN Perubahan) 2013:Rp 995,2 triliun
  • Penerimaan pajak semester I 2013: Rp 411,38 triliun
  • PPh sektor minyak dan gas: Rp 36,687 triliun
  • PPh sektor non-minyak dan gas: Rp 203,477 triliun
  • Pajak pertambahan nilai: Rp 167,975 triliun
  • Pajak Bumi dan Bangunan: Rp 857,6 miliar
  • Pajak lainnya: Rp 2,391 triliun

    Target penerimaan pajak 2014: Rp 1.110,2 triliun

  • PPh sektor minyak dan gas: Rp 76,1 triliun
  • PPh sektor non-minyak dan gas: Rp 510,2 triliun
  • Pajak pertambahan nilai: Rp 493 triliun
  • Pajak Bumi dan Bangunan: Rp 25,4 triliun
  • Pajak lainnya: Rp 5,5 triliunSumber: Kementerian Keuangan + Direktorat Jenderal Pajak
    Realisasi penerimaan pajak per sektor semester I 2013
  • Industri pengolahan: Rp 167,2 triliun
  • Keuangan: Rp 62,1 triliun
  • Perdagangan, hotel, dan restoran : Rp 56,8 triliun
  • Pengangkutan dan telekomunikasi: Rp 26,6 trilun
  • Pertambangan dan penggalian: Rp 24,8 triliun
  • Konstruksi dan real estate: Rp 23,5 triliun
  • Jasa: Rp 11,8 triliun
  • Pertanian, peternakan, kehutanan, dan kehutanan : Rp 7,7 triliun
  • Listrik, gas, dan air bersih : Rp 7,7 triliun
    Fuad Rahmany: Sulit Memungut Pajak Pertanian

    JAKARTA - Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Fuad Rahmany mengaku kesulitan menggenjot penerimaan pajak dari sektor pertanian. "Sektor itu belum kami kejar karena susah, skala usaha pelaku bisnisnya kebanyakan masih kecil," kata Fuad akhir pekan lalu.

    Berdasarkan data Direktorat Pajak, realisasi penerimaan dari sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan kehutanan hingga semester pertama 2013 baru mencapai Rp 7,7 triliun. Tax ratio dari sektor ini diperkirakan hanya 1,18 persen. Adapun pada 2012, penerimaan negara dari sektor tersebut sebesar Rp 15,8 triliun.

    Menurut Fuad, kecilnya penerimaan pajak pertanian membuat pemerintah lebih memilih ekstensifikasi sektor bisnis besar. Dia mengatakan, meski ekonomi global belum membaik, pajak dari sektor perdagangan, pengangkutan, dan komunikasi, serta konstruksi sudah mulai tumbuh.

    Namun pengamat perpajakan Yustinus Prastowo melihat banyak pelaku usaha pertanian yang memperoleh pendapatan besar dan seharusnya menjadi obyek pajak utama. Contohnya adalah para tengkulak yang memperoleh keuntungan besar. "Sayangnya, mereka tetap tidak tercatat sebagai wajib pajak," ujarnya.

    Persoalan lain yang menyebabkan penerimaan pajak pertanian cukup rendah adalah kinerja aparat pajak yang kurang optimal. Prastowo mengatakan sebagian besar aparat pajak hanya berfokus pada tugas rutin. Rencana peningkatan jumlah wajib pajak pun terpinggirkan. Padahal, kata Prastowo, ada 80 persen potensi pajak di sektor pertanian yang belum menjadi obyek pungutan. ANGGA SUKMA WIJAYA | NINIS CHAIRUNNISA

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus