Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Arus modal keluar yang berturut-turut terjadi di Tanah Air sejak The Fed memutuskan kenaikan suku bunganya pada akhir Juli lalu.
Pada pekan ketiga Agustus, capital outflow yang terjadi sebesar Rp 6,79 triliun.
Defisit neraca pembayaran menunjukkan arus modal yang keluar lebih banyak dibanding yang masuk, khususnya pada pasar surat utang.
JAKARTA – Selisih suku bunga acuan Bank Indonesia, BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI Rate), dengan bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, makin tipis setelah The Fed menaikkan suku bunga acuan secara agresif sepanjang tahun ini. Akibatnya, arus modal asing deras meninggalkan Tanah Air atau capital outflow.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suku bunga acuan Amerika atau Fed Fund Rate saat ini berada di level 5,25-5,50 persen, hanya terpaut 0,25 persen dari BI Rate yang berada di level 5,75 persen. Adapun The Fed menaikkan bunga acuan untuk meredakan tekanan inflasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kenaikan suku bunga The Fed yang menyebabkan selisih dengan suku bunga di Indonesia menipis membuat aset di Amerika tersebut lebih menarik investor. Para investor pun menjual aset di Indonesia untuk dialihkan ke Negeri Abang Sam. Pergerakan arus modal keluar berturut-turut terjadi di Tanah Air sejak The Fed memutuskan kenaikan suku bunganya akhir Juli lalu. Pada pekan ketiga Agustus, capital outflow yang terjadi sebesar Rp 6,79 triliun, yang terdiri atas jual neto di pasar surat utang atau Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 3,65 triliun serta jual neto di pasar saham sebesar Rp 3,14 triliun. Secara akumulasi, sepanjang bulan ini, investor asing tercatat membukukan jual bersih hingga lebih dari Rp 17,55 triliun.
Selisih Makin Tipis
Tren kenaikan suku bunga The Fed turut mengerek imbal hasil atau yield surat utang pemerintah Amerika atau US Treasury. Imbal hasil US Treasury melonjak ke level tertinggi dalam 16 tahun, di mana untuk tenor 10 tahun mencapai 4,32 persen. Kenaikan yield tersebut diperkirakan menekan harga SBN, dengan yield surat utang pemerintah bakal terdorong untuk meningkat. Terbukti, minat kepemilikan investor asing di pasar SBN terpantau menyusut, yaitu turun sekitar Rp 1,90 triliun.
Walhasil, kebijakan meningkatkan imbal hasil dibutuhkan untuk menjaga daya tarik pasar keuangan dan SBN di tengah selisih yield dan suku bunga yang kian tipis dengan Amerika. Harapannya, capital outflow juga ikut tertahan dengan adanya penyesuaian kenaikan yield tersebut.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, menuturkan susul-menyusul kenaikan yield surat utang juga disebabkan oleh pertimbangan risiko inflasi global yang masih akan meningkat. "Hal ini kemudian mendorong ekspektasi di kalangan investor bahwa The Fed mungkin masih akan menaikkan suku bunga pada 2023 sehingga mendorong kenaikan yield US Treasury dan SUN," katanya.
Josua memprediksi potensi kenaikan dari yield surat utang pemerintah dalam jangka tiga bulan ke depan untuk mendorong investor asing masuk ke pasar obligasi. Investor asing diperkirakan baru masuk ke Indonesia pada akhir kuartal III 2023, seiring dengan sentimen dari perlambatan data Amerika yang berlanjut serta pertimbangan The Fed untuk mulai menghentikan sikap agresifnya dan menahan suku bunganya hingga 2024.
Di sisi lain, penerbitan surat utang pada sisa tahun ini berpotensi lebih terbatas. Apalagi target penerbitan pemerintah sudah mencapai 50 persen pada Juli lalu. Hal ini diharapkan ikut mendorong penurunan yield pada akhir 2023. "Yield SUN 10 tahun diperkirakan bakal bergerak di rentang 6,2-6,4 persen."
Aktivitas perbankan di Bank Permata, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Kementerian Keuangan Soal Pergerakan Imbal Hasil SBN
Direktur Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko Kementerian Keuangan, Suminto, mengiyakan perkembangan ekonomi global yang terjadi ikut berpengaruh pada pergerakan pergerakan yield SBN dalam beberapa waktu terakhir yang cenderung naik di seluruh tenor. "Meski demikian, volatilitas di pasar SBN saat ini diperkirakan bersifat sementara hingga diperoleh kepastian arah kebijakan tingkat suku bunga global," ujarnya kepada Tempo.
Adapun imbal hasil SBN untuk seri benchmark tenor 10 tahun per 23 Agustus 2023 berada di level 6,59 persen atau turun 8 basis point (bps) dibanding sehari sebelumnya di level 6,67 persen. Sedangkan berdasarkan kinerja pasar SBN secara keseluruhan, yield SBN seri benchmark 10 tahun meningkat 66 bps secara tahun berjalan (year to date) ke level 6,28 persen. Kementerian Keuangan, kata Suminto, akan terus memantau perkembangan pasar keuangan global. Prospek perekonomian domestik pun diperkirakan masih cukup baik, yang diikuti dengan arah kebijakan dalam menjaga stabilitas yield SBN.
Ihwal animo investor asing terhadap SBN, menurut Suminto, Indonesia masih mendapat apresiasi dari pasar dan investor yang tampak dari hasil asesmen lembaga-lembaga pemeringkat kredit utama. Terakhir, R&I pada 25 Juli 2023 mengafirmasi rating Indonesia BBB+ dan menaikkan outlook menjadi positif. "Perbaikan peringkat kredit itu diharapkan dapat memperkuat minat dan meningkatkan keyakinan investor untuk berinvestasi di SBN."
Kementerian Keuangan mencatat, sejak awal tahun, investor asing masih mencatatkan beli bersih senilai Rp 90,35 triliun di pasar SBN. Sedangkan investor domestik, seperti dana pensiun, asuransi, dan individu, dinilai masih memiliki potensi yang cukup besar untuk mendukung pasar SBN. "Hal ini diharapkan dapat mendukung pemerintah menekan volatilitas yield SBN akibat sentimen global dari AS dan Cina," kata Suminto. Dia memastikan pemerintah akan terus mencermati volatilitas dan menerapkan strategi yang antisipatif dengan tetap mewaspadai dinamika pasar keuangan global.
Merujuk pada kinerja neraca pembayaran Indonesia, transaksi modal dan finansial, khususnya pada investasi portofolio, menunjukkan kondisi defisit. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan hal ini berarti arus modal yang keluar lebih banyak dibanding yang masuk, khususnya pada pasar surat utang. "Investor asing cenderung menahan pembelian SBN," ucapnya. Di sisi lain, kebutuhan untuk pembayaran neto SBN dan obligasi korporasi yang jatuh tempo melonjak.
Selisih imbal hasil yang kian menyempit antara SBN dan US Treasury menjadi faktor pemicunya. Sebab, investor sudah pasti akan meminta imbal hasil yang lebih menarik. Tanpa ada kenaikan imbal hasil, investor global akan mencari aset lain yang menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi. Hal ini, kata Bhima, bakal menempatkan pemerintah pada posisi sulit dan dilematis. "Kalau bergegas menaikkan suku bunga surat utang, beban bunga utangnya sudah berat."
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024 saja, rencana pembayaran bunga utang pemerintah sudah mencapai Rp 479,3 triliun atau naik 12,7 persen dari tahun ini. Jumlah tersebut belum termasuk pembayaran utang jatuh tempo. "Dampak lain dari kenaikan bunga SBN akan membuat bank malas menyalurkan kredit, lebih memilih parkir di SBN. Itulah yang membuat crowding out dan sektor riil menjadi sulit tumbuh optimal karena pembiayaan yang terbatas," kata Bhima.
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo