Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stasiun radio swasta itu dipaksa untuk menghentikan operasinya oleh sekelompok orang yang menamai dirinya Front Pembela Islam (FPI) Solo. Alasannya? PTPN Rasitania dinilai telah menyiarkan pendapat Ahmad Wilson, pendeta Kristen di Solo, yang dianggap melecehkan agama Islam. Dalam acara pertunjukan wicara (talkshow) bertema ''Usaha Mengatasi Konflik Antarumat Beragama", Kamis, akhir Februari lalu, Wilson berbicara dalam wawancara sekitar sejam tentang teologi Kristen dan Islam. Salah satu yang memicu kemarahan FPI adalah pendapat Wilson bahwa Nabi Muhammad, sebelum memeluk Islam, adalah seorang Nasrani.
Tekanan terhadap Rasitania diwarnai unjuk rasa dan gelar berbagai tuntutan. Awal Maret lalu, sekitar 300 orang mendatangi kantor radio itu di Jalan Kebalen, Solo, dan berdemonstrasi selama dua jam. Hananto Sumarno, Direktur PTPN Rasitania, menemui para demonstran. Disaksikan oleh sejumlah aparat dari Kepolisian Resor Surakarta, semua tuntutan pengunjuk rasa, antara lain pemberian waktu tayang di radio untuk orasi pembelaan diri dari pihak FPI, permintaan maaf ke umat Islam di sejumlah media, dipenuhi.
Toh, sebagian massa masih menuntut lebih: agar aparat menyita peralatan siaran. Tuntutan ini pun dipenuhi. Apakah polisi dengan begitu membenarkan pembredelan? ''Daripada diamuk massa, kan lebih baik peralatan itu diamankan," kata Kapolresta Surakarta, Letkol Pol. Robby Kaligis, beralasan. Dan Wilson pun ditahan.
Keesokan harinya, setelah peralatan itu dikembalikan ke studio, Rasitania kembali mengudara pada Sabtu dini hari. FPI berang. Dialog FPI-Rasitania digelar. Tuntuan FPI agar Rasitania menghilang dari udara dikompromikan menjadi berhenti siaran selama seminggu. ''Kami tidak keberatan," kata Hananto. Akibat pembredelan itu, menurut Hananto, radio dengan jumlah pendengar diperkirakan 800 ribu orang itu merugi Rp 100 juta.
Sebagai korban pembredelan media pascareformasi, Rasitania tak sendirian. Koran mingguan Tifa Irian juga sempat berhenti terbit beberapa lama, sejak 1 Juli 1999. Larangannya memakai cara tidak langsung. Aparat melarang beberapa percetakan di Irian untuk mencetak Tifa. ''Kami diminta komando daerah militer untuk tidak mencetaknya," kata Rudi Setyono, pemimpin percetakan Tinta Mas. Koran itu memang kemudian bisa terbit, tetapi dicetak di percetakan milik Kantor Wilayah Departemen Penerangan Jayapura. Soal pembredelan terselubung itu diduga karena Tifa dianggap sebagai corong perjuangan kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM), karena sering menampilkan hasil wawancara dengan Theys H. Eluay, pemimpin OPM.
Pengerahan massa untuk memengaruhi media pernah pula terjadi di Surabaya. Koran Suara Indonesia sejak kejatuhan rezim Orde Baru hingga kini telah mengalami intervensi massa tiga kali. Salah satunya menyangkut pemberitaan calon wali kota Surabaya, akhir Januari lalu. Mengutip hasil penyaringan tim Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat II Surabaya terhadap para calon wali kota, Suara Indonesia memberitakan bahwa Sutikno, calon wali kota, tidak lulus seleksi karena pernah menjadi narapidana kasus pencurian. Berita itu menyulut protes 50 orang pendukung Sutikno.
Dengan berbagai alasan dan cara yang berbeda, sejumlah media, baik elektronik maupun cetak, pernah mengalami pembredelan gaya baru. Misalnya, acara Dialog Aktual yang dipandu Sjahrir dan Wimar Witoelar di SCTV. Beberapa stasiun radio milik pemerintahRRIdi Bandung dan Padang setali tiga uang. Mereka pernah diduduki sekelompok mahasiswa untuk menyuarakan kepentingannya. Koran Rakyat Merdeka pun pernah didemonstrasi oleh para pendukung Megawati karena memuat karikatur politik sang Ibu.
Media memang bukan cermin yang tanpa cacat. Dan masyarakat pun mempunyai hak untuk mengoreksi sebuah informasi media yang salah. Undang-Undang Pers No. 44/1999 menyatakan bahwa tiap orang dan lembaga masyarakat diberi hak koreksi terhadap suatu informasi dan opini yang tidak benar yang dilakukan media massa. Persoalannya, bagaimana cara mengoreksi yang benar di alam demokrasi? Sebagian masyarakat Indonesia tampaknya masih perlu belajar menghormati perbedaan pendapat.
Kelik M. Nugroho, Adi Prasetya (Solo), Zed Abidin (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo