Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

’Kibbutz’ vs Kapitalisme

Menjadi salah satu jantung konsep zionisme, kibbutz mengalami perubahan mendasar di tengah deru materialisme dan individualisme. Eksistensinya terancam?


19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERMUKIMAN itu terletak di mulut Sungai Jordan, yang menjulurkan lidahnya ke Danau Galilee, tak jauh dari tempat Yesus—diyakini—dibaptis. Hampir seabad sudah Kibbutz Degania, nama permukiman itu, berdiri di salah satu kawasan paling hijau di Israel. Pada musim semi seperti sekarang, pepohonan yang rindang, hamparan tanah pertanian, jernih air Galilee, salju di pucuk Mount Hermon di kejauhan membuat orang lupa tentang gurun dan bukit batu berlempung, gambaran umum Timur Tengah.

Degania (”kembang jagung” dalam bahasa Ibrani) tak cuma sebuah permukiman dengan 700-an penghuni. Dibangun pada 1910, Kibbutz Degania adalah yang pertama dari jenisnya: sebuat unit masyarakat yang mandiri, khas Israel, dan salah satu eksperimen sosial yang mencengangkan pada abad lalu. Degania mengilhami 290 kibbutz serupa di seluruh Israel, yang kini dihuni oleh 290.000 pemukim Yahudi.

Meski hanya 2 persen dari total penduduk negeri, masyarakat kibbutz senantiasa berada di tengah pusaran tantangan-tantangan yang dihadapi Israel sejak awalnya, yakni masalah keamanan, imigrasi, dan sosial. Dia mewakili sebuah ideologi yang kemudian dikenal luas sebagai zionisme. Dan lebih dari segalanya, dia juga miniatur dari sejarah panjang bagaimana Israel menjadi sebuah negeri Yahudi, dengan segala capaian serta konfliknya yang tak berkesudahan dengan tetangga-tetangga Arabnya.

Namun kini, setengah abad lebih setelah Israel merdeka, kibbutz mengalami perubahan mendalam di tengah daya tariknya yang merosot. ”kibbutz tengah memasuki periode fragmentasi,” kata David Bailey, sosiolog Universitas Birmingham yang mempelajari komunitas ini. Desakan ekonomi yang menuntut efisiensi dan perubahan sosial yang mengilhami individualitas telah memunculkan perasaan bahwa ”kehidupan kolektif sudah mendekati akhir”. Jumlah komunitas ini cenderung berhenti tumbuh, jika tidak malah merosot (lihat: boks).

Sempat menjadi pelopor pembangunan pertanian, yang menjadikan Israel salah satu negeri termaju dalam lapangan ini, kibbutz kian kehilangan peran ekonomi. Sementara itu, mereka juga harus berjuang memelihara identitasnya dari desakan kapitalisme yang tak terbendung: swastanisasi, birokrasi, dan pengenalan manajemen modern.

Kendati berbagai perubahan tengah berlangsung, elemen inti kibbutz, yakni komunitas Yahudi, tetaplah ada, seperti yang bisa disaksikan di Degania. ”Meski kini boleh bekerja di luar kibbutz, kami tetap menyerahkan penghasilan kami kepada sekretariat, pejabat yang kami pilih,” kata Heji, pria berumur 40-an, generasi ketiga Degania. ”Sekretariat kemudian menjatah kami dana bulanan untuk kebutuhan dasar, sesuai dengan jumlah anggota keluarga.”

Mereka kini menjalani kehidupan modern dengan standar Barat; dengan televisi, komputer, dan mobil. Namun, tradisi lama belum hilang: makan malam bersama di sebuah balai-makan yang luas. Kebersamaan dan kesetaraan merupakan salah satu watak kibbutz yang paling penting. Konsep gotong-royong dan kekeluargaan itu diilhami oleh kehidupan keras para pemukim awal Degania. Kehidupan keras Joseph Baratz.

Bersama sebelas rekannya, Baratz datang dari Ukraina di tanah yang gersang itu pada 1909. ”Pada musim panas, hawa di situ sangat gerah, dua ratus meter di bawah rata-rata permukaan laut,” tulis Baratz dalam memoirnya, A Village by The Jordan. Panas membuat pepohonan terbakar, air sungai hanya menetes layaknya, dan nyamuk berkecamuk menebar malaria. Ketika hujan datang, banjir dan lumpur ada di mana-mana. ”Kondisi seperti itu tak memungkinkan individu atau keluarga berdiri sendiri.”

Keakraban itu juga direkat oleh perasaan senasib. Ukraina, dan Eropa pada umumnya, bukanlah tempat yang ramah bagi Yahudi pada pergantian abad yang lalu. Mereka menjadi sasaran kecurigaan dan diskriminasi, bahkan pogram yang seringkali brutal, antara lain karena beban sejarah yang mereka warisi; ”para pembunuh Kristus”.

Situasi seperti itu mengilhami Theodore Herzl untuk mendirikan Organisasi Zionis Se-Dunia pada 1897. Menurut Herzl, masyarakat Yahudi hanya akan nyaman hidup dan mampu mengembangkan identitasnya jika memiliki negeri sendiri. Pemerintah Inggris kala itu menawarkan Uganda, sebuah negeri Afrika, sebagai suaka bagi orang-orang Yahudi yang teraniaya di Eropa. Herzl menerima ide itu, tapi dia ditentang oleh tokoh-tokoh Yahudi lain, termasuk presiden pertama Israel, Chaim Weizmann, yang menginginkan negeri itu berdiri di Palestina. Argumen politik kini bertindihan dengan argumen agama, yakni ”kembali ke tanah yang dijanjikan”. Herzl kalah. Baratz dan kelompoknya adalah salah satu pionir yang dikirim ke Palestina untuk mendirikan koloni atas biaya Dana Nasional Yahudi—lembaga pengumpulan dana dari orang Yahudi seluruh dunia. Pada awalnya, tidak ada masalah. Orang Arab dan Yahudi pendatang bisa hidup berdampingan secara damai. Namun, soal kemudian muncul ketika gelombang imigran Yahudi terus meningkat selaras dengan prosekusi di Eropa yang memuncak dalam Perang Dunia II. Perang terbuka tak terhindarkan ketika Israel memproklamasikan kemerdekaan pada 1948. Konflik yang berkepanjangan hingga kini itu mengambil korban Palestina, yang harus menanggung nasibnya, hilang dari peta, untuk dosa yang tidak dilakukannya.

Lewat sejumlah perang Arab-Israel, kibbutz memegang peran penting dalam menjaga keutuhan negeri dan bahkan memperluasnya. Degania, misalnya, mengirimkan orang-orang terbaiknya, salah satunya Moshe Dayan, menjadi militer profesional yang disegani. Semangat kebersamaan dan perasaan senasib telah mengilhami solidaritas dan militansi. ”Seseorang yang tak mau hidup dan berjuang untuk komunitas adalah ibarat pohon yang tak berbuah, tanaman tanpa bunga.”

Militansi itu pula yang mereka tunjukkan dalam mengolah tanah. Berkat kibbutz, Israel berhasil mengubah gurun menjadi salah satu negeri berswasembada pangan dan bahkan pengekspor pertanian besar. Kibbutz kini menyumbang 40 persen output pertanian negeri itu. Hatzerim, sebuah kibbutz, bahkan memiliki Netafim, sebuah perusahaan besar pembuat dan pengekspor teknologi pertanian terkemuka. Netafim didirikan pada 1965 untuk mengembangkan dan memasarkan penemuan mereka, sistem irigasi tetes (drip irrigation), yang dirancang untuk memanfaatkan air sesedikit mungkin tapi dengan efisiensi maksimal. Teknologi tepat guna ini menjadi unggulan Israel dan cepat menyebar ke seluruh dunia. Pada 1995, Netafim memasok teknologi itu ke 85 negara, termasuk ke Thailand, salah satu produsen buah terbaik di Asia Tenggara.

Ada dua alasan yang mengilhami keterikatan pada tanah. Pertama, alasan ideologis: mengamati tumbuhnya semangat anti-Yahudi dari praktek ekonomi modern di Eropa, para penggagas Zionisme yakin bahwa orang Yahudi harus memiliki akar pada tanah, yakni membangun ekonomi berbasis pertanian dengan tatanan sosial ”tanpa majikan, tanpa buruh”. Kedua, alasan filosofis: ”Tanah Isarel yang kami tinggalkan telah kehilangan kesuburan, dan kami sendiri tercerai darinya, menjadi kehilangan spirit,” kata Baratz. ”Kini kami harus memberi tanah kekuatan yang pada gilirannya akan memberi kami kreativitas”.

Tapi, tidak selamanya mudah menjaga kehidupan komunal dan memelihara keterikatan pada pertanian. Pada 1985, krisis ekonomi menghantam Israel dan juga kibbutz sebagai satuan ekonomi. Krisis menuntut kibbutz melakukan perubahan sosial dan organisasi yang mengarah pada efisiensi. Sebab, meski menonjol, ekonomi pertanian ala kibbutz terhitung kecil sumbangannya untuk ekonomi nasional. Kibbutz hanya menyumbang masing-masing sekitar 8 persen saja dalam output industri, penghasilan ekspor, dan penyerapan tenaga kerja secara nasional.

Itu mengilhami diversifikasi dan privatisasi usaha kibbutz. Ada sekitar 377 pabrik yang kini dimiliki oleh kibbutz, memproduksi barang logam, elektronik, plastik dan karet, makanan olahan, mainan, perhiasan, dan instrumen musik. Beberapa kibbutz juga mulai menyelenggarakan jasa, termasuk menyediakan hotel bagi wisatawan.

Divesifikasi itu memberikan perubahan besar secara sosial ketika pengambilan keputusan kini bergeser kepada para manajer dan direktur, bukannya sidang anggota yang mereka pilih secara langsung. Demokrasi yang egaliter dan liberal seperti itu juga dipandang kian kurang efektif; mereka mulai memperkenalkan sistem perwakilan. Kesulitan ekonomi membuat anggota mulai memikirkan memberikan penghargaan keuangan sesuai dengan kinerja seseorang, bukannya sama rata, sama rasa.

Kibbutz, dengan sistem kebersamaan dan berpusat pada keluarga, belum berhenti menjadi oasis bagi kehidupan modern perkotaan yang sibuk dan dicirikan oleh kriminalitas serta narkotika. Dia juga menjadi tempat pendidikan yang baik bagi anak-anak, tapi tak lagi memenuhi hasrat akan ambisi dan privasi ketika mereka berangkat dewasa. ”Masa depan ekonomi kebanyakan kibbutz layak dipertanyakan. Pertanian tidaklah cukup menguntungkan dan cukup kuat menarik minat orang muda,” kata Freddy Kahana, seorang perancang dan arsitek kibbutz.

Dilematis. Mampukah Israel mewujudkan kehidupan yang adil, damai, dan produktif seperti yang diilhami oleh kehidupan komunal kibbutz pada era Degania—sebuah komune tanpa memiliki, tanpa kekurangan?

Farid Gaban (Tiberias)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum