Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Pemerintahan Baru Tanpa Harapan Baru

Tak ada reaksi pasar positif menjelang berjalannya pemerintahan Prabowo Subianto. Tingginya jumlah utang jadi sentimen negatif.

13 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pergerakan pasar lebih bergantung pada faktor eksternal.

  • Investor masih memperhatikan perang Timur Tengah dan ekonomi Cina alih-alih pemerintahan Prabowo.

  • Utang, pemborosan anggaran, dan kabinet jumbo menjadi sentimen buruk di mata investor.

TINGGAL seminggu lagi Indonesia akan memiliki pemerintahan baru di bawah kepemimpinan presiden terpilih Prabowo Subianto. Sejauh ini, reaksi pasar tampak datar-datar saja, tak ada sentimen positif yang datang seiring dengan pergantian tampuk kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pergerakan pasar hari-hari ini justru lebih bergantung pada faktor eksternal, seperti stimulus ekonomi di Cina, eskalasi konflik Timur Tengah, dan kemungkinan penurunan suku bunga The Federal Reserve pada November mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal, dalam berbagai kesempatan, Prabowo masih terus berusaha membangkitkan optimisme pada prospek ekonomi Indonesia lewat pidato yang bersemangat. Pekan lalu, misalnya, saat berbicara dalam peluncuran Program Satu Peta, Prabowo kembali menegaskan tekadnya mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 8 persen per tahun. Target itu akan tercapai pada periode pertama pemerintahannya.

Bagi investor ataupun analis di pasar, pernyataan ambisius semacam itu lebih terasa seperti janji kampanye yang masih jauh dari realitas. Sebab, menimbang berbagai program prioritas Prabowo yang sudah tersiar luas, belum tampak ada rencana kerja yang benar-benar berpotensi menciptakan lonjakan pertumbuhan ekonomi.

Ini bukan berarti program prioritas seperti makan bergizi gratis, pembangunan rumah sakit, pembuatan lumbung pangan, dan renovasi sekolah adalah rencana kerja yang buruk. Semua itu, jika terlaksana dengan baik, tentu membawa manfaat bagi publik. Persoalannya, program-program populis yang bergantung sepenuhnya pada belanja pemerintah itu apakah cukup untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melaju hingga 8 persen? Pasar tak yakin.

Ketergantungan pada belanja pemerintah yang amat besar juga akan terbentur keterbatasan. Kondisi keuangan pemerintah lima tahun ke depan jelas tidak cukup kuat untuk mengongkosi program-program populis itu tanpa suntikan utang baru yang agresif.

Baik Prabowo maupun tim ekonominya memang yakin pemerintah masih punya ruang untuk berutang lebih besar di tahun-tahun mendatang. Pemerintah harus berani membiayai pertumbuhan ekonomi dengan utang, begitulah pandangannya. Yang selalu menjadi patokan mereka adalah rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) yang saat ini sekitar 39 persen masih aman menurut standar Bank Dunia. 

Pandangan inilah yang malah menuai sentimen negatif di pasar. Meski secara rasio terhadap PDB utang pemerintah Indonesia masih belum menyentuh ambang bahaya, beban pemerintah untuk membayar utang yang jatuh tempo ataupun bunga sudah sangat tinggi. Pembayaran bunga utang, misalnya, setiap tahun sudah menelan sekitar 17 persen penerimaan pemerintah, melampaui ambang bahaya. Angka ini pun akan terus meningkat. Adapun patokan amannya 15 persen.

Kebijakan berutang yang agresif berisiko mengganggu stabilitas ekonomi makro yang selama ini menjadi jangkar kepercayaan investor kepada Indonesia. Pemerintah akan makin tercekik kewajiban membayar bunga. Sedangkan utang jatuh tempo selama lima tahun mendatang juga akan memuncak. Surat berharga negara (SBN) yang jatuh tempo pada 2024-2029 bernilai Rp 3.086 triliun. Untuk 2025 saja, pemerintah harus melunasi SBN dan pinjaman sebesar Rp 800,33 triliun.

Pasar malah belum melihat program konkret pemerintahan Prabowo untuk meningkatkan investasi ataupun mengatasi merosotnya surplus perdagangan di luar niat berutang. Padahal dua “mesin pertumbuhan” ini punya peran amat besar menggerakkan ekonomi lebih kuat untuk mendorong pertumbuhan lebih cepat.

Masalah lain yang juga sama sekali belum tersentuh adalah rendahnya efisiensi ekonomi Indonesia. Buruknya tata kelola pemerintahan dan korupsi masih menjadi persoalan serius. Prabowo malah menjawab persoalan itu dengan menyusun kabinet yang lebih gemuk, menambah jumlah kementerian dan kementerian koordinator.

Persoalannya di sini bukan hanya pemborosan anggaran. Anggota kabinet yang begitu besar akan makin sulit berkoordinasi. Proses pembuatan keputusan, apalagi implementasinya, akan makin pelik dan rumit.

Itulah berbagai faktor yang membuat pasar tak antusias. Tak ada optimisme menyambut pemerintahan Prabowo Subianto.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus