TAK ada upacara resmi mengiringi pertemuan para menteri negara-negara anggotanya di Wina, Austria, awal bulan ini, menyambut seperempat abad berdirinya organisasi itu. Bahkan para menteri itu, untuk kesekian kalinya, pada bertengkar. Muram, itulah agaknya kata yang paling tepat untuk menggambarkan situasi OPEC (Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak) saat ini. Organisasi itu, yang pernah mematahkan dominasi perusahaan-perusahaan multinasional dalam industri dan perdagangan minyak dunia, kihi tak lagi mampu menahan kemerosotan produksi dan harga jualnya. Dalam pertemuan yang berlangsung dua hari itu, dua menteri dari Ekuador dan Irak mengajukan tuntutan untuk memperoleh kuota lebih besar. Ekuador, yang saat ini terbelit utang US$ 8 milyar dan hanya menggantungkan pendapatannya dari minyak, menuntut kenaikan kuota 100 ribu barel per hari menjadi 283 ribu barel. Sedangkan Irak, sehubungan dengan selesainya pemasangan jaringan pipa minyak Irak-Arab Saudi yang berakhir di pelabuhan Yanbu di Laut Merah, menghendaki kenaikan 500 ribu barel per hari menjadi 2,7 juta barel. Karena tuntutan itu ternyata tidak terkabulkan, Menteri Fernando Santos dari Ekuador meninggalkan sidang, dan mengancam akan menarik diri dari OPEC. Namun, krisis itu sendiri memuncak ketika Arab Saudi menyatakan bahwa pihaknya telah menandatangani kontrak penjualan minyaknya dengan memberi potongan harga kepada tiga perusahaan rekanan Arabian American Oil Co. (Aramco): Exxon, Mobil, dan Texaco. Diperkirakan, dalam kontrak penjualan yang berlaku enam bulan itu - 820 ribu barel per hari - Arab Saudi memberi potongan US$ 2,5 per barel, dari harga patokan US$ 28 yang dianggapnya tidak lagi mempunyai kekuatan pengikat. Dengar cara itu, diharapkan produksi minyaknya akan meningkat dari 2,5 juta barel per hari menjadi 3,5 juta, sehingga dapat membendung defisit neraca barang dan jasanya yang diperkirakan sudah mencapai US$ 20 milyar. Di samping itu, tindakan Arab Saudi ini juga merupakan jawaban terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan sebagian besar anggota OPEC selama ini, dengan memberi harga di bawah patokan atau menaikkan kuotanya secara diam-diam. Sebelumnya, Menteri Perminyakan Arab Saudi, Ahmed Zaki Yamani, sudah beberapa kali memberi peringatan pada mereka dengan mengancam akan membanjiri dunia dengan minyaknya. Peringatan terakhir diberikannya dalam sebuah seminar tentang energi di Universitas Oxford, Inggris, bulan lalu. "Kalau negara-negara produsen tidak mampu menstabilkan pasar, pada musim semi mendatang (kuartal kedua tahun mendatang) harga akan jatuh sampai tinggal US$ 15 per barel," ujarnya. Secara keseluruhan, dengan munculnya ladang-ladang minyak baru di Laut Utara, Uni Soviet, serta makin efisiennya pemakaian energi minyak di negara-negara konsumen, kemerosotan produksi OPEC memang tampak semakin tajam. Pada semester pertama tahun ini, produksi minyak OPEC tinggal 15,6 juta barel per hari dari 17,65 juta pada periode yang sama tahun sebelumnya, atau 40% dari produksi minyak dunia. Dan sampai 90% dari minyak itu, konon, dijual di bawah harga resmi. Padahal, di masa jayanya, OPEC menguasai 60% dari produksi minyak dunia. "Arab Saudi adalah anggota OPEC terakhir yang menggunakan harga flexible," ujar John Lichtblau, Presiden Petroleum Industry Research Foundation. Pada masa jayanya, yang dimulai dengan pencabutan wewenang "seven sisters" - Exxon, Texaco, Socal, Mobil Oil, Gulf Oil, Royal Dutch/Shell, dan British Petroleum - dalam penentuan harga, pada Oktober 1973 OPEC mampu mengatrol harga minyaknya sampai 127% dalam tiga bulan menjadi US$ 12 per barel. Angin segar ini terus berlangsung hingga memasuki 1979. Pada tahun itu, harga patokan OPEC mencapai US$ 40 per barel, atau 15 kali lebih mahal dari harga pada awal '70-an. Berkobarnya revolusi di Iranlah yang menyebabkan harga melesat jauh. Negara-negara konsumen khawatir akan mengalami kekurangan suplai, sehingga mereka berebut mencari minyak. OPEC, yang ketika didirikan, 1960, bertujuan melindungi minyak yang menjadi tumpuan harapan negara-negara dunia ketiga dari tekanan-tekanan "seven sisters", mulai kehilangan pamornya ketika negara-negara konsumennya dilanda resesi ekonomi, pada 1981. Sejak saat itu, surplus produksi tak bisa dihindari lagi, bersamaan dengan merosotnya harga jual. Tak pelak lagi, anggota-anggotanya pun mulai saling hantam dengan melempar minyaknya di pasar bebas, dan jor-joran memberi potongan harga. Entah sampai kapan. Praginanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini