Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUMI Modern mungkin bukan katak. Aset perusahaan pengelola Hotel Le Meridien di Tashkent, sebuah kota kecil di Uzbekistan, itu tak lebih dari Rp 500 miliar. Tapi, dengan berani, Bumi Modern mau mencaplok Gallo Oil, perusahaan tambang minyak di Yaman—seekor lembu gemuk—seharga Rp 9,3 triliun. Tak salah lagi, katak Modern ingin menelan lembu Gallo—yang besarnya hampir 20 kali lipatnya.
Dalam dongeng La Fontaine, sang katak yang kegedean ambisi itu gagal menjadi lembu. Perutnya meledak, ususnya memburai. Tapi, dalam dunia nyata, sang katak tidak cuma berhasil mencaplok lembu gemuk. Lebih dari itu, ia mampu memobilisasi dana publik untuk kepentingannya sendiri. Dengan persetujuan pemegang saham minoritas dan pernyataan efektif Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), Jumat lalu, perusahaan publik Bumi Modern tak terhindarkan lagi untuk mencaplok Gallo Oil. Lewat transaksi ini, bidang usaha Bumi Modern berubah total: dari sebuah perusahaan properti menjadi sebuah raksasa minyak.
Lakon heboh katak makan lembu yang digelar kelompok usaha Bakrie ini memang aneh bin misterius. Untuk membiayai pembelian Gallo, Bumi Modern menerbitkan saham baru senilai Rp 9,3 triliun. Saham baru ini ditawarkan secara terbatas kepada pemegang saham lamanya, yakni Bakrie Capital Indonesia (52 persen) dan publik (48 persen). Jika tak laku (artinya pemegang saham lama menolak membeli), saham baru itu akan ditawarkan kepada pihak ketiga. Dan untuk itu sudah muncul calon juragan baru.
Perusahaan minyak Minarak Labuan (milik Bakrie di Malaysia) dan Long Haul Holding, yang bermarkas di New Jersey, Amerika Serikat, siap memborong seluruh saham baru itu sekaligus menggantikan posisi publik dan Bakrie sebagai pemilik Bumi Modern.Keganjilan langkah Bakrie sebenarnya sudah langsung terasa pada tahap ini. Long Haul dan Minarak Labuan adalah pemilik Gallo. Pertanyaannya: mengapa mereka menjual Gallo jika mereka membelinya kembali melalui Bumi Modern? Kalaupun benar sasaran utama Long Haul dan Minarak adalah hotel di Tashkent, mengapa tak langsung membeli saham Bumi Modern? Mengapa mesti melakukan akuisisi jungkir balik yang membingungkan? Apakah Bakrie sengaja berakrobat untuk mengelabui publik? Kita lihat saja nanti. Yang jelas, itu baru keanehan pertama.
Keanehan atau (mungkin) kebetulan yang lain, Kelompok Usaha Bakrie, sebagai tuan rumah akuisisi ini, sudah memperkirakan publik tak akan tertarik membeli saham baru terbitan Bumi Modern. Karena itu, dalam surat terbuka yang mereka kirimkan kepada pemegang saham, Bakrie menaksir Bumi Modern juga akan ganti juragan. Setelah akuisisi internal ini berlangsung, mayoritas (85 persen) saham perusahaan properti, eh, minyak ini akan dikuasai oleh Long Haul, sedangkan sisanya oleh publik (hampir 8 persen), Minarak Labuan (5 persen), dan Bakrie Capital Indonesia (2 persen).
Berdasarkan komposisi saham itu, sebenarnya bisa dibaca apa yang dimaui Bakrie. Dalam tabel Keluar-Masuk Dana Akuisisi Gallo, tampak jelas bahwa akuisisi internal ini akan mengalirkan dana segar ke kelompok usaha Bakrie. Jumlahnya tidak sedikit. Dengan menjual bersih 17,92 persen saham sumur minyak Gallo dan 45 persen saham pengelolaan hotel di Tashkent, Bakrie menjala Rp 2,032 triliun. Dana itu diharapkan akan disetorkan oleh Long Haul Holding Rp 1,27 triliun dan masyarakat sekitar Rp 760 miliar.Kepada TEMPO, salah satu pemilik kelompok Bakrie, Nirwan D. Bakrie, mengakui dana hasil penjualan ini akan dipakai untuk membayar pinjaman. Utang apa? Tidak ada yang mau menjawab terus terang. Tapi, menurut sumber TEMPO, Bakrie memerlukan dana tambahan Rp 2 triliun lebih untuk membayar pinjaman bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang diterima Bank Nusa Nasional (BNN). Karena BLBI lagi diributkan, kata sumber itu, ”Ical minta agar Nirwan segera melunasinya.”
Salahkah Bakrie? Sepanjang pemegang saham minoritas menyetujuinya, tak ada aturan yang melarang akuisisi internal. Tak juga ada hukum yang mengharamkan perpindahan aset konglomerat dari kantong kiri ke kantong kanan. Kelompok usaha Salim, Sinar Mas, Lippo, bahkan juga Gadjah Tunggal Group sudah sering melakukannya di bursa saham Jakarta. Yang menjadi persoalan hanya: apakah nilai Gallo Oil sebesar Rp 9,3 triliun itu wajar?
Kepala Biro Pengawasan Keuangan Perusahaan Bapepam, Freddy Rickson Saragih, mengatakan kecurigaan bahwa nilai Gallo Oil di-mark-up, sejauh ini, tidak terbukti. Dua lembaga riset independen—Lemigas dan Robertson Research Ltd.—telah menguji potensi minyak di ladang Gallo. Menurut hasil uji tuntas kedua ”auditor” yang sudah berpengalaman ini, cadangan terambil (recoverable reserve) dari tujuh sumur Gallo adalah 568 juta barel minyak. Dengan jumlah cadangan sebesar ini, nilai Gallo kabarnya tergolong wajar. Karena itu, ”Tak cukup alasan mengganjal rencana Bumi Modern,” kata Freddy.
Tapi seorang analis dari perusahaan sekuritas asing menganggap hasil audit kedua lembaga riset minyak itu tak cukup transparan. ”Saya ragu,” katanya, ”apakah tim Lemigas benar-benar terbang ke Yaman untuk melihat dan mengecek kekayaan sumur Gallo.” Karena itu, ia tetap merasa khawatir dengan posisi dan keberadaan Gallo yang, baginya, tidak terang betul. Lagi pula, sumur-sumur Gallo hingga hari ini belum lagi berproduksi. Proses eksplorasi masih terus dilakukan. Artinya, keuntungan operasional Gallo belum ada—kecuali kemungkinan kenaikan harga saham, yang boleh jadi akan terus menanjak jika cadangan-cadangan baru ditemukan.Analis ini berpesan agar publik ekstra-hati-hati dalam menyikapi jurus-jurus akuisisi Bumi Modern. Memang betul, di luar publik pasar modal Jakarta, ada pihak ketiga yang sudah menyanggupi memborong saham baru Bumi Modern. Ia adalah Long Haul, yang diperkirakan mengeluarkan dana Rp 1,2 triliun lebih. Tapi analis ini mengingatkan agar publik tidak terkecoh. Bisa jadi Long Haul bukanlah pihak ketiga yang berdiri di posisi investor independen seperti publik.
Bukan tidak mungkin, katanya, Long Haul yang berpusat di New Jersey ini hanyalah salah satu kelompok anak perusahaan Bakrie. Artinya, sebagai peserta transaksi, Long Haul cuma salah satu pos tempat kantong uang Bakrie diputar-putar. Nirwan sendiri mengakui Long Haul sebagai teman-teman dekat, ”Yang selalu membantu.” Kalau betul begitu, satu-satunya sasaran Bakrie dalam akuisisi ini adalah uang publik yang jumlahnya Rp 760 miliar lebih itu.
Hati-hati, jangan sampai ikut-ikutan menjadi katak yang meledak perutnya. Serem.
Dwi Setyo, Mardiyah Chamim, Lea Tanjung, Wens Manggut
Nama | Uang Keluar | Uang Masuk | Selisih Bersih | Imbalan |
Publik | Rp 762 miliar | - | (Rp 762 miliar) | |
Minarak Labuan (Bakrie Group) | Rp 485 miliar | Rp 2.325 miliar | Rp 1.840 miliar | |
Bakrie Capital Indonesia (Bakrie Group) | - | Rp 128 miliar | Rp 128 miliar | |
Long Haul Holding | Rp 8.245 miliar | Rp 6.975 miliar | (Rp 1.270 miliar) | |
Total Bakrie | Rp 485 miliar | Rp 2.453 miliar | Rp 2.032 miliar |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo