Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Mengukir Tragedi di Atap Kereta Api

Saat kereta meluncur cepat, duduk di atapnya tentu berisiko tinggi. Januari lalu, korban jatuh: 12 tewas dan 10 luka parah. Tapi yang menjadi tersangka adalah Kepala Stasiun Bogor.

20 Februari 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUDUK bergerombol di atap kereta api tampaknya sudah merupakan pemandangan sehari-hari di kawasan Jabotabek. Perilaku nekat itu biasanya terjadi pada kereta api kelas ekonomi rute Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi. Kebiasaan yang sebenarnya melanggar hukum ini barangkali dianggap sepele, khususnya oleh para penumpang remaja yang cenderung gagah-gagahan dan tak hirau akan keselamatannya sendiri. Rabu, 12 Januari lalu, di Stasiun Bogor, keadaan serupa itu terjadi. Waktu itu, sekitar 1.000 orang calon penumpang memadati lima gerbong kereta jurusan Bogor-Sukabumi. Padahal, biasanya jumlah penumpang kereta diesel bertarif Rp 700 itu paling banyak 700 orang. Kereta itu berangkat pukul 15.43, tertunda dari jadwal sebenarnya (pukul 12.50). Itu gara-gara kedatangan kereta dari Sukabumi juga terlambat. Tatkala kereta mau berangkat dari Stasiun Bogor, puluhan remaja beramai-ramai naik ke atap kereta. Karena semua gerbong sudah dipenuhi penumpang, kawula muda tersebut merasa lebih leluasa bila duduk di tempat terlarang itu. Sebagian dari mereka berpenampilan nyentrik. Ada yang berpakaian aneh, ada yang berambut gaya punk, ada pula yang menenteng gitar. Tampaknya, segenap remaja yang tidak berasal dari Bogor ataupun Sukabumi itu hendak berwisata ke daerah pegunungan. Menyaksikan ulah mereka, para petugas stasiun segera menertibkannya. Anak-anak itu diminta turun dari atap kereta dan masuk ke gerbong. ''Lima gerbong masing-masing masih bisa menampung sekitar 200 penumpang," ujar Wakil Kepala Stasiun Bogor, Achmad Sambudi. Meski marah-marah, segenap remaja itu akhirnya turun juga dan masuk ke gerbong. Namun, sebelum itu, mereka menghujani kaca-kaca ruangan pengawas peron dengan batu. Setelah keadaan dianggap aman—maksudnya tak ada lagi penumpang di atas gerbong—kereta pun diberangkatkan. Bersamaan dengan bergeraknya ular besi itu, ternyata sebagian remaja—yang sebelumnya menunjukkan gelagat membangkang—naik lagi ke bagian atas gerbong. Saking gembiranya, mereka tak sadar, dalam jarak hampir satu kilometer dari Stasiun Bogor, ada terowongan di Jalan Paledang. Tak ayal lagi, sesaat setelah kepala kereta memasuki terowongan, terjadilah bencana yang mengerikan. Para remaja di atap gerbong berpentalan. Sebanyak 12 orang dikabarkan meninggal dunia dan 10 lainnya luka parah. Manajer PT Kereta Api Indonesia kelabakan menanggulangi tragedi itu. Kepada keluarga korban yang meninggal, PT Kereta Api memberikan santunan sebesar Rp 1 juta per orang. Kini perusahaan itu juga mengusahakan pencairan asuransi kecelakaan untuk para korban. Padahal, ''Kalau dipikir-pikir, asuransi mana yang mau mengganti kerugian untuk kejadian begitu? Memangnya atap untuk duduk?" ujar Achmad Sambudi. Tragedi itu ternyata tak berakhir di situ. Kepolisian Wilayah Bogor menjadikan Ismanto, Kepala Stasiun Bogor, sebagai tersangka. Sampai Kamis pekan lalu, ayah tiga anak yang pernah menjadi Kepala Stasiun Kereta Api Sukabumi itu sudah tiga kali diperiksa polisi. Rencananya, polisi akan melimpahkan berkas perkara Ismanto ke jaksa pada pekan ini. Menurut Kepala Bagian Reserse Kepolisian Wilayah Bogor, Kapten Polisi Budi Prasetyo, sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, kepala stasiunlah yang paling bertanggung jawab. Bila ada penumpang yang tidak duduk di tempat semestinya, berdasarkan pasal itu, kepala stasiun harus menunda atau membatalkan pemberangkatan kereta api. Tapi, ''Ismanto membiarkan kereta berangkat meskipun anak-anak itu tak menyerah setelah ditegur. Ia juga tak meminta bantuan polisi untuk melerai anak-anak itu," kata Kapten Budi. Karena itu, Ismanto, yang dikenal rekan-rekannya sebagai pekerja berdisiplin tinggi, dianggap melanggar delik kelalaian yang mengakibatkan orang lain meninggal (Pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Dengan diperkarakannya Ismanto, baru kali ini terjadi seorang kepala stasiun menjadi tersangka. Selama ini, yang sering diajukan ke meja hijau adalah penjaga pintu kereta api atau pemimpin perjalanan kereta api, berikut masinis dan kondekturnya, seperti dalam kasus tabrakan kereta api di Bintaro, Jakarta Selatan, Oktober 1987. Namun, Achmad Sambudi menganggap musibah di terowongan Paledang itu bukan akibat kelalaian koleganya, Ismanto. ''Kereta api diberangkatkan karena keadaan sudah aman, setelah mereka turun dari atap. Tapi mereka naik kembali ke atap setelah kereta api berjalan. Bagaimana kami bisa disalahkan?" ia bertanya dengan nada menggugat. Happy S., Hendriko L. Wiremmer

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus