--------------------------------------------------------------------------------
KESANNYA memang tidak istimewa. Hanya empat hari menjelang penawaran saham Astra International ditutup, suasana masih adem ayem saja. Sepertinya, tender senilai Rp 3 triliun sampai Rp 4 triliun itu sepi saja tanpa gejolak. Yang terbilang agak seru cuma masuknya pelamar baru, konsorsium Singapura. Kongsi yang melibatkan distributor Mercedez Benz, Cycle & Carriage Ltd. (CCL), dan BUMN Singapura itu mengajukan harga US$ 500 juta, hampir setara dengan penawaran yang pernah diberikan konsorsium Amerika Serikat, Newbridge Capital dan Gilbert Global Equity.
Tapi, apakah itu berarti tender Astra berlangsung murni tanpa kasak-kusuk? "Ah, siapa bilang," kata sumber TEMPO, "Kalau mau 'nyilem', pasti ketahuan serunya." Penjualan 45 persen saham pemerintah di Astra merupakan salah satu tonggak penting perekonomian kita. Bukan cuma karena hasil penjualannya akan menentukan ada-tidaknya dana untuk anggaran. Lebih dari itu, penawaran ini juga merupakan investasi terbesar di Indonesia sejak krisis dua tahun lalu.
Sejauh ini, sepekan menjelang tender ditutup, jumlah peserta tak sebanyak yang diharapkan. Dari tujuh target peserta yang dipatok Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Cacuk Sudarijanto, pemerintah cuma menggaet lima pelamar. Tawaran tertinggi datang dari Lazard Freres, melalui anak perusahaan Lazard Asia Fund. Investor Prancis itu kabarnya memberikan tawaran Rp 4.000-Rp 4.500 per saham.
Tawaran kedua tertinggi diajukan oleh Indonesia Recovery Company Ltd. (IRCL). Kongsi yang didirikan Asia Debt Management (Hong Kong) dan Bhakti Investama itu kabarnya memberikan ancar-ancar Rp 3.500-Rp 4.500 per saham. Bhakti merupakan perusahaan sekuritas lokal yang sahamnya dikuasai oleh Harry Tanoesudibyo. Jagoan pasar keuangan George Soros ikut memiliki 15 persen saham Bhakti.
Penawar berikutnya mengajukan kisaran harga Rp 3.500 sampai Rp 4.000 per saham. Di antara mereka terdapat nama-nama seperti Newbridge dan CCL. Yang disebut terakhir itu agaknya datang berkat silaturahmi Perdana Menteri Singapura, Goh Chok Tong, dengan Presiden Abdurrahman pertengahan Januari lalu. Ketika itu, Goh, diikuti 60 pengusaha Singapura, menyatakan kesediaannya menanamkan modal di Indonesia dengan nilai sampai US$ 1,5 miliar.
Pertanyaannya, siapakah yang memenangi pertarungan? Masih sulit dijawab. Tawaran harga itu belum final. Setelah diseleksi, beberapa peserta tender yang terpilih diberi kesempatan untuk melakukan uji tuntas alias due diligence kepada Astra selama sebulan. Setelah itu, barulah mereka diminta memberi harga final. Pemenangnya akan ditentukan akhir Maret mendatang.
Tapi, meskipun jadwalnya masih jauh, tampaknya konsorsium Singapura dan IRCL paling berpeluang. Konsorsium Singapura bisa jadi investor strategis karena berpengalaman menjual Mercedez Benz di Singapura. Apalagi, konsorsium ini didukung oleh Government of Singapore Investment Corp. (GIC), yang menjadi organ bisnis pemerintah Singapura. Paling tidak, posisi Goh, yang dekat dengan Gus Dur, bisa menjadi kunci pembuka yang ampuh.
Namun, ganjalan kelompok ini adalah penawaran harganya yang terlalu rendah, di bawah Rp 4.000. Menurut sejumlah analis, harga wajar Astra di atas Rp 4.000 per saham. Meskipun demikian, CCL kabarnya sangat berhati-hati karena mengkhawatirkan kebijakan penurunan pajak impor yang bisa mengurangi kesaktian Astra.
Selain Singapura, Bhakti bisa juga jadi kuda hitam. Harry juga dikenal dekat dengan Gus Dur. Hampir setiap perjalanan presiden ke luar negeri, Harry atau Rudy Tanoesudibyo selalu ikut serta. Harry juga rapat dengan Edward Soeryadjaya, pengusaha yang punya kongsi erat dengan Nahdlatul Ulama (NU), "kampung" Gus Dur.
Bahkan, untuk memantapkan kelompoknya, Bhakti kabarnya juga menggandeng pemilik McDonald Indonesia, Bambang N. Rachmadi. Bambang belum bisa dikontak untuk dimintai konfirmasinya. Tapi, menanggapi peluangnya menggaet Astra dengan bekal pelbagai koneksi ini, Harry tak mau berkomentar. "Negosiasinya masih jauh. Nantilah," katanya pendek.
Namun, bisnis adalah bisnis. Jika pemenang tender Astra dipilih berdasarkan kedekatannya dengan kekuasaan, bersiaplah kembali memasuki era krisis yang kedua.
M. Taufiqurohman, Agus Hidayat, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini