Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Karyawan Sritex resah karena takut terkena PHK.
Sritex dikenal sebagai produsen seragam instansi sipil dan militer berbagai negara.
Kinerja keuangan Sritex anjlok setelah jumlah penjualan menurun dan beban operasi terus meningkat.
Pita hitam melingkar di lengan kiri kemeja biru muda yang dikenakan Iwan Kurniawan Lukminto alias Wawan. Sebuah kalimat tercetak di pita tersebut: "Selamatkan Sritex". Selain Wawan, yang menjabat Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Textile Tbk (Sritex), para direktur dan pekerja perusahaan itu memakai pita serupa. “Ini tidak melambangkan kesedihan, tapi menandakan kebangkitan,” katanya pada Senin, 28 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari itu, Wawan bersama para direktur dan karyawan Sritex menerima kunjungan Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer Gerungan di pabrik mereka yang terletak di Jalan Samanhudi 88, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Produsen benang, kain, juga pakaian jadi—khususnya seragam instansi sipil dan militer—itu menjadi perhatian pemerintah setelah dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024. Status pailit membuat resah para pekerja, meskipun pabrik masih beroperasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
General Manager Human Resource Development Sritex Group Haryo Ngadiyono mengatakan manajemen sudah mengumpulkan para pekerja untuk menjelaskan kondisi terakhir. Dalam pertemuan itu, para direktur mengatakan proses hukum masih bergulir melalui permohonan kasasi atas putusan pailit Pengadilan Niaga Semarang. Selama proses hukum masih berlangsung, manajemen Sritex meminta pegawai bekerja seperti biasa. Menurut Haryo, selama produksi masih berjalan, perusahaan tidak akan melakukan pemutusan hubungan kerja.
Seragam pasukan (militer) buatan PT Sritex dalam pameran peralatan pertahanan Indo Defence 2006 Expo & Forum di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta, Minggu, 25 November 2006. Dok.TEMPO/ Wahyu Setiawan
Saat ini Sritex Group terdiri atas empat perusahaan di Jawa Tengah, yaitu Sritex di Sukoharjo, PT Sinar Pantja Djaja dan PT Bitratex Industries di Semarang, serta PT Primayudha Mandirijaya di Boyolali. Grup usaha ini mempekerjakan 50 ribu karyawan. Khusus Sritex, menyitir Laporan Keberlanjutan Perusahaan 2023, jumlah pekerjanya mencapai 11.500 orang atau setara dengan 1,27 persen populasi Sukoharjo yang mencapai 900 ribu jiwa. Jumlah ini menyusut dari 16.400 pekerja pada 2021.
•••
DIKENAL sebagai produsen seragam militer untuk berbagai negara, Sritex mulanya adalah toko kain di Pasar Klewer, Solo, Jawa Tengah. Perusahaan ini didirikan Muhammad Lukminto pada 1966. Dua tahun setelah itu, Lukminto membuka pabrik cetak pertama untuk menghasilkan kain putih dan berwarna. Sritex kemudian terdaftar sebagai perseroan terbatas di Kementerian Perdagangan pada 1978.
Bisnis Sritex terus bergulir. Pada 1982, Lukminto membangun pabrik tenun pertama Sritex. Sepuluh tahun kemudian, perusahaan ini memperluas pabrik dengan membangun empat lini produksi dalam satu atap, dari pemintalan, penenunan, sentuhan akhir, hingga busana. Sritex pertama kali menerima pesanan seragam militer pada 1990. Pembeli mereka saat itu adalah Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). “Waktu itu ordernya sedikit,” ucap Iwan Setiawan Lukminto kepada Tempo pada 2017. Iwan Setiawan, kakak kandung Iwan Kurniawan, kala itu menjabat Presiden Direktur Sritex. Kini dia menjadi Komisaris Utama Sritex.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum, Sritex tercatat sebagai perusahaan penanaman modal asing. Menurut akta tertanggal 18 September 2024 sebanyak 59 persen saham Sritex digenggam PT Huddleston Indonesia, 39,9 persen milik publik, dan sisanya dipegang Vonny Imelda Lukminto, Margaret Imelda Lukminto, dan Lenny Imelda Lukminto.
Dalam catatan Kementerian Hukum, profil Sritex mulai terdokumentasikan pada 2003. Kala itu sebagian besar kepemilikan Sritex (2,55 juta saham) dikuasai Estrada Trading Limited yang berkedudukan di Tortola, Kepulauan Virgin Britania Raya. Adapun Muhammad Lukminto selaku direktur utama memegang 73 ribu saham dan Arief Halim selaku direktur punya 2 saham.
Dalam perjalanannya, pengurus perusahaan Sritex berganti-ganti. Pada 2013, posisi Estrada Trading selaku pemilik saham terbanyak Sritex digeser PT Busana Indah Makmur. Kepemilikan Estrada tersisa 2,55 miliar saham, sementara Busana Indah Makmur memiliki 4,8 miliar saham. Busana Indah Makmur kemudian berubah nama menjadi Huddleston Indonesia.
Setelah menggarap order ABRI, Sritex dipercaya menjadi produsen seragam tentara negara-negara yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Hingga saat ini Sritex menjadi produsen seragam militer untuk 35 negara. Perusahaan ini memiliki enam desain pakaian militer yang terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum.
Selain memproduksi seragam tentara, Sritex mengekspor benang dan kain ke 100 negara. Dalam setahun, Sritex memproduksi 1,1 juta bal benang, 179,9 juta meter kain mentah, 240 juta yard kain berwarna, serta 30 juta potong pakaian jadi dan seragam. Sebagian besar barang ini dibuat di pabrik seluas 79 hektare di Sukoharjo.
Sritex, yang menjadi emiten Bursa Efek Indonesia pada 2013, dikenal dekat dengan pemerintah, bahkan sejak era Orde Baru. Setiap kali ada perluasan pabrik perusahaan, presidenlah yang meresmikannya. Perluasan pabrik pertama pada 1992, misalnya, diresmikan langsung oleh Soeharto. Begitu pula ekspansi kedua pada 2009 yang diresmikan Susilo Bambang Yudhoyono. Terakhir, Joko Widodo meresmikan perluasan pabrik Sritex pada 2017.
Sebagai produsen seragam militer, Sritex juga dekat dengan Tentara Nasional Indonesia. Setiap tanggal 17 Agustus, manajemen dan karyawan Sritex menggelar upacara ala militer untuk memperingati Hari Kemerdekaan sekaligus hari ulang tahun perusahaan yang jatuh pada 16 Agustus. Laporan majalah Tempo pada 2011 mencatat upacara pada 17 Agustus 2011 dihadiri oleh Harmoko, Menteri Penerangan era Orde Baru, dan Prabowo Subianto.
Selama 58 tahun berdiri, Sritex beberapa kali menghadapi gejolak. Saat terjadi krisis moneter 1998, misalnya, perusahaan ini terguncang, tapi bisa selamat dan malah melipatgandakan pertumbuhan hingga delapan kali lipat pada 2001. Di masa pandemi Covid-19, Sritex kembali diterpa badai, tapi kali ini berujung krisis berkepanjangan.
Kondisi ini tecermin dalam laporan keuangan Sritex. Pada 2019, angka penjualannya mencapai US$ 1,3 miliar atau naik 8,52 persen dibanding tahun sebelumnya. Dengan nilai penjualan tersebut, Sritex membukukan laba bersih US$ 85,32 juta atau sekitar Rp 1,2 triliun, antara lain karena memproduksi masker dan alat pelindung diri lain. Pada 2020, situasi berbalik arah karena angka penjualan anjlok menjadi US$ 847,5 juta. Di sisi lain, beban pokok penjualan naik dari US$ 1,05 miliar menjadi US$ 1,22 miliar.
Akibatnya, Sritex mencatat kerugian untuk pertama kali sejak melantai di pasar modal. Pada 2021, Sritex membukukan rugi bersih US$ 1,08 miliar atau sekitar Rp 15,4 triliun. Pada semester I 2024, kerugian menipis menjadi US$ 25,73 juta atau Rp 421 miliar. Adapun kewajiban Sritex membengkak dari Rp 13,43 triliun pada 2019 menjadi Rp 26,2 triliun pada pertengahan tahun ini.
Direktur Keuangan Sritex Welly Salam mengatakan merosotnya pendapatan adalah buah berbagai kondisi, dari dampak pandemi Covid-19, gangguan rantai pasok karena konflik geopolitik, hingga persaingan industri tekstil global yang kian ketat. Dia juga menyebut masuknya produk tekstil asal Cina yang berharga murah sebagai salah satu pemicu turunnya jumlah pendapatan. “Berdampak pada negara yang longgar aturan impornya, tidak menerapkan bea masuk antidumping, tidak ada tariff barrier maupun non-tariff barrier," tuturnya pada 24 Juni 2024.
Bersamaan dengan memburuknya kondisi keuangan, Sritex masuk skema penundaan kewajiban pembayaran utang sejak Mei 2021. Hingga akhirnya Pengadilan Niaga Semarang mengabulkan permohonan pailit yang diajukan PT Indo Bharat Rayon. Kelanjutan sejarah Sritex pun bergantung pada upaya hukum lanjutan dan rencana penyelamatan berikutnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Adil Al Hasan dan Septia Ryanthie di Sukoharjo berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pita Hitam di Pabrik Seragam"