Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Asia Pacific Fibers akan menutup pabrik mereka.
Perusahaan tekstil besar bertumbangan karena serbuan produk impor.
Pemain tekstil berskala kecil tengah kebanjiran order kampanye pilkada.
Kabar buruk kembali datang dari industri tekstil. Setelah PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) dinyatakan pailit, PT Asia Pacific Fibers Tbk (POLY) mengumumkan penyetopan sementara aktivitas pabrik kimia dan seratnya di Karawang, Jawa Barat, mulai Jumat, 1 November 2024. Penghentian operasi pabrik yang telah eksis selama tiga dekade ini akan menurunkan pendapatan penjualan tahunan POLY hingga 52 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Sekretaris Korporat Asia Pacific Fibers Tunaryo, hingga akhir triwulan ketiga, perseroan masih menghadapi tren penurunan operasi. “Utilisasi diperkirakan kurang dari 40 persen,” katanya dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia, Kamis, 31 Oktober 2024. Menurut Tunaryo, faktor eksternal berupa kelebihan kapasitas industri tekstil global menjadi penyebab lesunya permintaan perusahaan tekstil terintegrasi terbesar di Indonesia ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di luar itu, ada masalah restrukturisasi utang yang penyelesaiannya jalan di tempat. Dalam 20 tahun terakhir, Asia Pacific Fibers berupaya membahas restrukturisasi utang dengan semua kreditor agar bisa mendapatkan modal dari bank. Lebih dari 70 persen kreditornya adalah perusahaan swasta yang telah menyatakan dukungan terhadap restrukturisasi. Sisanya adalah pemerintah yang telah lama membahas restrukturisasi tapi tak kunjung selesai. “Pembicaraan restrukturisasi utang sejak 2005 memberi tekanan signifikan pada modal kerja dan belanja modal perseroan,” ucap Tunaryo.
Seorang karyawati melipat potongan kain seragam militer salah satu negara pemesan di Pabrik Tekstil Sri Rejeki Isman Textile (Sritex), Sukoharjo, 28 Oktober 2011. Dok.TEMPO/Andry Prasetyo
Lumpuhnya sebagian pabrik POLY menambah panjang daftar pelaku industri tekstil yang sempoyongan dan tumbang. Jumlah karyawan di sektor industri ini pun menurun. Di Sritex Group, misalnya, menurut data Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), jumlah pekerjanya saat ini sebanyak 15 ribu orang, turun dari sebelumnya 20 ribu. Presiden KSPN Ristadi mengatakan ada tujuh perusahaan sektor tekstil yang tutup dan sebelas perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan bertahap. Menurut dia, nasib sebelas perusahaan ini bergantung pada iklim industri tekstil. “Mereka bisa bertahan atau tidak."
Menurut data KSPN, hingga Oktober 2024, sebanyak 15.415 pekerja terkena PHK. Angka itu belum mencakup pekerja perusahaan yang, menurut Ristadi, sudah melapor akan melakukan PHK. Salah satunya sebuah perusahaan tekstil di Karawang. “Karyawannya sekitar 4.000, manajemen sedang melakukan negosiasi dengan pekerja sebelum menutup pabrik,” tutur Ristadi.
Perusahaan yang dimaksud Ristadi adalah Asia Pacific Fibers. Untuk sementara, perusahaan ini akan mempertahankan kelangsungan usahanya melalui operasi terbatas divisi benang filamen yang berlokasi di Kendal, Jawa Tengah.
•••
SINYAL buruk keuangan Asia Pacific Fibers terekam dalam laporan triwulan terakhir perusahaan. Dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia pada 18 September 2024, Sekretaris Korporat Asia Pacific Fibers Tunaryo mengungkapkan, tren penurunan operasi masih akan terjadi pada triwulan ketiga tahun ini. Utilisasi diperkirakan akan turun menjadi 46 persen.
Selain turbulensi rantai pasok industri dan kelebihan kapasitas industri tekstil dunia, ada sejumlah faktor yang memicu krisis industri nasional. Salah satunya masuknya impor tekstil ilegal. Indikasi ini terekam dalam data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), yang mengumpulkan bukti-bukti praktik kecurangan dalam perdagangan antara Indonesia dan Cina selama 2021-2023 berupa selisih nilai ekspor-impor kedua negara.
Sejumlah karyawan dan pekerja beraktivitas di depan kantor PT Sritex di Jalan KH Samanhudi 88, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin, 28 Oktober 2024. TEMPO/SEPTHIA RYANTHIE
Sebagai contoh, pada 2023, nilai ekspor produk filamen buatan, strip, dan sejenis bahan tekstil pria yang berkode Harmonized System (HS) 54 dari Cina ke Indonesia tercatat di situs pusat data statistik dunia Trademaps sebesar US$ 1.500.253. Anehnya, catatan impor Indonesia dari Cina untuk barang yang sama hanya memuat nilai US$ 1.217.023 atau ada selisih US$ 283.230.
Selain itu, ada temuan produk tekstil jadi lainnya, set, pakaian dan barang tekstil usang, serta kain perca (kode HS 63). Sepanjang 2023, nilai ekspor produk ini dari Cina ke Indonesia sebesar US$ 366.232. Namun Indonesia mencatat nilai impor barang ini dari Cina hanya US$ 116.364 atau terdapat selisih US$ 249.868.
API juga menyoroti data perbandingan nilai ekspor Cina ke Indonesia dengan impor Indonesia dari Cina yang menunjukkan selisih signifikan untuk pakaian jadi (kode HS 61 dan 62), masing-masing US$ 150.700 dan US$ 159.930. Ketua Umum API Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan gempuran barang asal Cina membuat industri dalam negeri merugi.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja saat ditemui di Purwakarta, Jawa Barat pada Kamis (21/09/2023). ANTARA/Farhan Arda Nugraha.
Menurut Jemmy, produsen tekstil besar seperti India menerapkan perlindungan perdagangan berupa sertifikasi produk oleh Bureau of Indian Standards (BIS). Barang yang akan dijual di India, baik buatan lokal maupun produk impor, harus mendapatkan sertifikat lulus uji dari BIS. Saat ini tekstil dan produk tekstil Indonesia yang wajib dibekali sertifikat BIS adalah serat dan benang rayon. BIS sedang menginisiasi sertifikasi kain rajut warna.
Jemmy mengatakan India, Jepang, dan Cina merupakan negara yang menerapkan kebijakan minimum price dalam buku kepabeanan. Dengan kebijakan ini, setiap negara yang mengekspor barang ke negara itu tidak boleh menjual di bawah harga minimum yang tertulis di buku kepabeanan. Melalui beleid tersebut, pemerintah bisa menekan dumping dan subsidi dari negara pemasok.
Upaya serupa dilakukan oleh Uni Eropa berupa sertifikasi oleh lembaga nonpemerintah, Forest Stewardship Council (FSC). Setiap produk yang dijual di Eropa harus bersertifikat standar European Union-Best Available Techniques (EU-BAT). Sebagai contoh, produk rayon Indonesia diatur dalam dokumen EU-BAT dan disertifikasi oleh FSC. Sejauh ini, negara yang mampu memenuhi standar itu adalah Kanada dan Norwegia.
Eropa juga menerapkan kebijakan two-step process. Untuk setiap produk yang akan dijual di pasar Eropa, dua proses produksinya harus dilakukan di negara eksportir. Sebagai contoh, jika Indonesia akan mengekspor pakaian jadi ke wilayah Uni Eropa, kainnya harus diproses di Indonesia dan bahan kain mentahnya pun mesti ditenun di Indonesia.
Di luar penerapan sertifikasi, banyak jenama kelas dunia, seperti H&M dan Zara, yang akan melarang penggunaan batu bara sebagai sumber energi dalam proses produksi bahan baku yang mereka pakai. Aturan ini berlaku mulai 2025. Adapun pemakaian energi gas masih diizinkan hingga 2030. Tindakan ini menjadi sinyal bagi industri di Indonesia untuk bersiap meninggalkan energi batu bara.
Karena itu, Jemmy melanjutkan, diperlukan fasilitas yang mendukung industri tekstil agar bisa menembus pasar Eropa. Salah satu kebutuhan itu adalah akses pipa gas ke sentra industri tekstil. “Sampai saat ini belum ada jalur pipa gas ke sentra industri tekstil seperti Bandung dan Solo,” ujarnya.
Sedikit berbeda, industri tekstil kelas mikro dan kecil yang sebelumnya juga megap-megap belakangan agak anteng. Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) yang meliputi pengusaha konfeksi rumahan di Bandung dan sekitarnya kini tertolong oleh pemilihan kepala daerah.
Pengusaha tekstil skala kecil sibuk memenuhi pesanan kaus, jaket, spanduk, dan alat peraga kampanye dari para peserta pilkada. “Kami sedikit terbantu,” tutur Nandi Herdiaman, Ketua Umum IPKB, pada Kamis, 31 Oktober 2024. Ia berharap mesin-mesin jahitnya tak lagi menganggur seusai pilkada.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Musim Gugur Pabrik Tekstil"