RUANG Libra Hotel Hilton, Jakarta, sesak oleh 500-an hadirin. Suasana gembira penuh tawa. Padahal, Jumat pekan lalu itu adalah acara perpisahan dengan Bisuk Siahaan, 49, wakil ketua Otorita Pengembangan Proyek Asahan (OPPA). Sembari terus tersenyum, malam itu Bisuk lebih banyak mengungkap kisah-kisah lucu dari pengalamannya 20 tahun lebih terlibat dalam proyek yang dikenal sebagai pembangkit listrik raksasa dan pabrik peleburan aluminium di pesisir timur Sumatera Utara itu. Misalnya, bagaimana mereka bisa berunding dengan pemerintah Jepang, tanpa mandat resmi dan Jakarta. "Kalau saja orang Jepang itu menanyakan mandat, mungkin proyek ini tak jadi," kata Bisuk. Dari hasil perundingan tim itu, Juli 1975, perjanjian induk Proyek Asahan ditandatangani di Tokyo, persis pada saat kunjungan resmi Presiden Soeharto ke negeri itu. "Tuan Siahaan memang orang yang ulet dan berani," kata Keijiro Seo, direktur utama PT Inalum, tentang Siahaan. Lebih dari itu, juragan Jepang di proyek Asahan itu berkata, "Bagi kami, Tuan Siahaan adalah orang paling pusat dari partner Indonesia." Mungkin ungkapan itu tak berlebihan, kalau ditilik betapa penting peranan OPPA lembaga yang dibentuk presiden setelah adanya perjanjian induk tadi - anggotanya diambil dari berbagai departemen yang punya kaitan dengan pembangunan Proyek Asahan. Selain menjadi jembatan antara 12 anggota konsorsium Jepang yang membiayai proyek, OPPA pula yang duduk di PT Inalum, mewakili 25% saham pemerintah Indonesia. Lalu, sebagai wakil ketua merangkap sekretaris OPPA, Siahaan memang layak disebut orang paling pusat. Sebab, ketuanya A.R. Soehoed, waktunya lebih banyak tersita sebagai menteri perindustrian, sampai Maret tahun lalu. Apalagi kalau diingat karier Siahaan bermula dari situ. Setelah menyelesaikan kuliah di Jurusan Teknik Kimia ITB, 1960, dia menjadi pegawai Departemen Perindustrian. Tugas pertama, langsung menjadi kepala Proyek Aluminium Asahan, membawanya ke Medan setahun kemudian. "Modal saya cuma sebuah mesin ketik dan seorang pegawai," katanya. Sejak itu namanya tak pernah lagi lekang dari proyek itu. Hal yang paling berat, menurut Siahaan, ialah berunding dengan pengusaha Jepang, sejak awal 1970-an, ketika pengusaha Jepang mulai tertarik pada proyek itu. Proyek itu terbengkalai karena peristiwa G-30-S, setelah para ahli Soviet pulang kampung. Itu terlihat dari berlarut-larutnya perundingan baik di Jakarta maupun di Tokyo. "Padahal kami berangkat ke Tokyo atas sumbangan para teman," ujar Siahaan. Tapi, setelah meletus berbagai aksi anti-Jepang di Asia, sikap pemerintah Jepang memang sangat mendorong pelaksanaan proyek yang belakangan disebut sebagai "jembatan persahabatan Indonesia-Jepang" itu. Soal lain ialah sulitnya membebaskan 1.500 hektar lahan yang akan jadi lokasi proyek. Sebab, lingkungan di sekitar air terjun Tangga dan Sigura-gura merupakan tanah milik marga yang tak bisa diberi ganti rugi begitu saja. Di sini Bisuk Siahaan, putra Batak kelahiran kota kecil di pinggir Danau Toba, Balige, memang terlihat sangat berperan. "Pembebasan tanah bisa tepat pada waktunya cuma melalui pesta-pesta adat dan kor di gereja," ujar Siahaan. Parluhutan Tampubolon, staf Bisuk di Medan, terkadang terpaksa tinggal berbulan-bulan di satu desa untuk memimpin kor. Hasilnya, tanah adat itu bisa diserahkan pada proyek. Itu kiatnya. Walaupun begitu, pembangunan jaringan transmisi oleh PLN untuk memanfaatkan arus listrik 50 megawatt, yang merupakan sisa listrik yang dipergunakan proyek peleburan alumunium, sampai sekarang masih tersendat-sendat. Akibatnya, masyarakat sekitar proyek belum juga bisa memanfaatkan listrik dari Proyek Asahan. Setelah menyerahkan kursi di OPPA kepada Laksamana Madya Abdul Kadir, bekas sekjen Departemen Perdagangan, Siahaan sekarang kembali ke Departemen Perindustrian. "Tugas saya di sana rupanya sudah selesai," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini