Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perundingan Consultative Group for Indonesia (CGI) di Gedung Konferensi Mita (Mita Kyoyu Kaigijo), kawasan diplomatik Tokyo, alhamdulillah, berjalan lancar. Dalam negosiasi itu--untuk pertama kalinya tidak menyertakan ekonom senior Prof. Widjojo Nitisastro--sebagian besar negara/lembaga donor bisa menerima penjelasan tentang berbagai kebijakan ekonomi dan politik yang telah dan akan dilakukan pemerintah Indonesia. Mereka, menurut Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli, yang memimpin delegasi Indonesia, tampaknya bisa diyakinkan bahwa proses reformasi dan percepatan pemulihan ekonomi Indonesia akan berlangsung lebih baik."Atmosfer perundingan sangat positif dan kami melakukan tukar pikiran secara terbuka dan mendalam dengan pihak Indonesia," ujar Wakil Presiden Bank Dunia, Jemal-ud-din Kassum, yang bertindak selaku ketua sidang. Setelah berunding dua hari, komitmen pemberian utang akhirnya disetujui. Nilai utang mencapai US$ 4,836 miliar plus US$ 530 juta berupa hibah dalam bentuk technical assistance dan bantuan untuk kalangan LSM. Cukuplah untuk menambal sebagian besar defisit anggaran, yang mencapai Rp 52,2 triliun.
Dari jumlah itu, yang benar-benar merupakan pinjaman baru sebetulnya hanya US$ 500 juta-US$ 600 juta. Sisanya merupakan carry-over (pengalihan pinjaman dari tahun lalu) yang terjadi akibat rendahnya daya serap pemerintah. Karena itu, dalam perundingan CGI tersebut Rizal Ramli menyampaikan pemikiran baru mengenai kelenturan desain program. Maksudnya, program tidak dirancang secara kaku, sehingga pemerintah bisa segera merespons bila terjadi perubahan di lapangan. Seiring dengan itu, proses pemulihan ekonomi pun bisa dipercepat seperti dijanjikan Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo ketika bertemu dengan Menteri Keuangan Jepang Kiichi Miyazawa. Menurut Rizal, gagasan ini mendapat dukungan dari anggota CGI.
Selain itu, Rizal juga menyampaikan perspektif multi-years debt, yang intinya mengajak negara/lembaga donor untuk memberi utang dalam beberapa tahun sekaligus. "Gunanya agar perencanaan jangka menengah Indonesia bisa dipersiapkan lebih baik," begitulah alasan Rizal. Namun, gagasan itu kurang mendapat dukungan dari anggota CGI. Penyebabnya adalah kebanyakan negara/lembaga donor terikat sistem anggaran masing-masing yang juga bersifat tahunan.
Mengenai kasus Atambua, posisi Indonesia tidaklah begitu rawan. Betul, sebagian besar negara donor menyinggung kasus itu dalam pernyataan resmi mereka. Namun, tak ada yang benar-benar serius mengangkat kasus Atambua sebagai syarat utama pemberian bantuan. Hal ini menurut Rizal bisa tercapai lantaran penjelasan yang cukup memuaskan, misalnya tentang proses penyerahan senjata milisi, penangkapan lima tersangka pembunuh tiga staf UNHCR di Atambua, dan penahanan bekas wakil panglima pejuang prointegrasi, Eurico Guterres.
Terlebih lagi, pemerintah Indonesia sudah menjamin pasokan beras bagi 130 ribu pengungsi Tim-Tim di Atambua selama tiga bulan. Bank Indonesia pun telah mengambil langkah agar deposito warga Tim-Tim di bank-bank Indonesia bisa dikembalikan ke rekening mana pun yang mereka inginkan. Cukup? Belum. Pemerintah juga mempercepat proses pendaftaran pengungsi yang ingin pulang atau menetap di wilayah Indonesia. Setelah sederetan langkah tersebut dilakukan, barulah pada ujungnya pemerintah Indonesia berjanji mengundang staf PBB, November depan.
Pembicaraan mengenai masalah ekonomi sendiri tak beranjak dari tema-tema good governance, pemberantasan kemiskinan, desentralisasi, dan kehutanan. Dimotori Amerika, sebagian besar negara/lembaga donor menyinggung ihwal penundaan divestasi saham pemerintah di BCA dan Bank Niaga, serta proses pembenahan utang perusahaan besar di BPPN, yang dinilai kurang transparan. Di bidang ini pemerintah tampaknya keteteran dan terpaksa menerima tekanan untuk kembali menggunakan konsultan asing--sesuatu yang tak disukai Rizal karena ongkosnya mahal.
Seperti diperkirakan, anggota CGI juga khawatir akan isu desentralisasi. "Mereka khawatir pemerintah daerah/provinsi akan diberi wewenang mengeluarkan surat berharga sehingga beban utang meningkat, seperti yang terjadi di Cina dan Brasil," ucap Rizal. Dalam usaha meredam kekhawatiran itu, Rizal menyatakan pihaknya menjamin bahwa proses administrasi dan tanggung jawab akhir penerbitan surat utang tetap ada pada pemerintah pusat. Lagi pula, penerbitan obligasi pemda (semacam municipal bonds di negara maju) akan diperlambat, "Sampai kerangka kelembagannya disiapkan," ujarnya.
Hal lain yang gencar ditanyakan adalah mengenai kehutanan, khususnya menyangkut penebangan liar. Menanggapi pertanyaan sesulit itu, Menteri Pertanian dan Kehutanan Bungaran Saragih terus terang mengakui bahwa kondisi hutan Indonesia memang jauh dari memuaskan. "Saya jelaskan saja apa adanya, termasuk seputar kebijakan-kebijakan yang salah di masa lalu sehingga kondisi hutan kita tak terkelola secara sustainable," kata menteri yang ahli pertanian ini.
Bungaran berasumsi, dewasa ini ada ketidakseimbangan antara industri dan pasokan kayu. "Akibatnya, ya, terjadi over-eksploitasi," ia memastikan. Hal tersebut bisa terjadi karena di masa lalu perencanaan kehutanan terpisah dari industri. Izin HPH, misalnya, diberikan oleh Departemen Kehutanan, sementara izin industri kayu diterbitkan Departemen Perindustrian.
Namun, Bungaran tidak mengetahui seberapa besar kerusakan yang diakibatkan oleh penebangan liar itu. "Kita tak punya angka perhitungan penebangan liar," ujarnya. Karena itu, dalam pertemuan CGI, ia minta bantuan internasional untuk melakukan penghitungan. "Kalau tak bisa secara nasional, paling tidak secara regional," tuturnya.
Untuk membenahi sektor kehutanan, Bungaran mengulangi kembali delapan komitmen pemerintah Indonesia. "Intinya pada pengelolaan kehutanan yang berkelanjutan," katanya, seakan mengingat komitmen peserta Earth Summit di Rio de Janeiro, delapan tahun lalu. Secara internal, untuk melaksanakan komitmen tersebut pemerintah akan mengaktifkan kembali lembaga Inter-Department Committee on Forestry (IDCF), yang dulu diketuai Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri. "Melalui komite ini kita akan merumuskan program kehutanan nasional secara partisipatif," ujarnya. Ditambahkannya, Indonesia membutuhkan bantuan berupa tenaga, pemikiran, teknologi, dan pendanaan dari masyarakat internasional. Dalam kaitan dengan itu, Bungaran khusus menemui Gubernur Japan Bank for International Cooperation (JBIC) Hiroshi Yosuda, dan Wakil Presiden Japan International Cooperation Agency (JICA) Ryo Suma.
Demikianlah, Rizal dan Bungaran akhirnya terhindar dari batu-batu sandungan. Tapi tetap saja ada yang mengganjal, yakni tenggelamnya suara-suara yang seharusnya melontarkan masalah pemotongan utang—acap kali disebut diskon utang. Kalangan LSM yang diwakili koordinator INFID, Binny Buchori, hanya mendesak negara donor agar serius mempertimbangkan pengurangan utang bagi Indonesia. Rizal Ramli sendiri seperti kehilangan nyali. Kalau dulu sebelum jadi menteri ia gencar menggugat berbagai kejanggalan yang menyangkut utang luar negeri pemerintah, kini ia berkilah dengan kata-kata "posisi pemerintah dilematis".
Memang, di satu sisi ada tuntutan yang kuat dari masyarakat agar utang yang ditilep rezim lama dikurangi. Pinjaman seperti itu dianggap utang najis (odious debt), yang tak pantas ditanggung rakyat yang tak tahu apa-apa. Namun, di sisi lain pemerintah negara donor tak pula leluasa memberi pengurangan utang.
Jepang sebagai kreditor terbesar, misalnya, tegas-tegas menyebut pengurangan utang sebagai tindakan ilegal karena hal semacam itu bertentangan dengan hukum yang berlaku di negeri itu. Lagi pula, Jepang akan menanggung beban anggaran yang berat dalam waktu dekat lantaran membengkaknya dana yang harus disediakan bagi kaum pensiunan. Karena itu, mereka tak mungkin menyetujui diskon utang dalam bentuk apa pun.
Untuk mengakali soal ini, menurut Rizal, pemerintah RI meminta porsi lebih besar dari pinjaman-pinjaman lunak seperti yang biasa diberikan oleh Asian Development Fund dari Bank Pembangunan Asia, Special Yen Program dari pemerintah Jepang, dan IDA dari Bank Dunia. "Pinjaman itu bunganya nyaris nol persen dan jangka waktu pengembaliannya 30-40 tahun," ia menjelaskan. Ini berarti pemerintah melakukan semacam refinancing. Utang lama yang berbunga tinggi dan berjangka pendek diganti dengan utang baru yang berbunga rendah dan berjangka panjang. Dengan cara ini, ia berharap net present value dari utang pemerintah akan turun.
Pinjaman-pinjaman lunak itu akan digunakan membiayai sekitar 20 proyek infrastruktur besar, seperti jaringan rel kereta api rangkap (double track) Jakarta-Surabaya dan pembangunan sarana jalan dan sanitasi di kota-kota besar. "Dengan proyek double track itu, kita berharap tabrakan kereta akan bisa dikurangi," Rizal menjelaskan. Selain itu, rel akan diperlebar 30 sentimeter sehingga kelak kereta api di Indonesia bisa mengangkut peti kemas, "Untuk mendorong industri dan perekonomian nasional," katanya. Sementara itu, sarana jalan dan sanitasi yang bakal dibangun akan menyerupai proyek MHT di Jakarta tahun 1970-an. Demi pembangunan proyek infrastruktur itu pula agaknya, Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah Erna Witoelar menemui para petinggi Marubeni Corporation selama berada di Tokyo.
Pertanyaannya kini adalah apakah sukses memperoleh utang baru bisa dianggap prestasi. Rizal Ramli tegas menyatakan, soal angka jangan dianggap sebagai prestasi. "Yang saya senang, kita masih mendapat kepercayaan dan dukungan dari negara dan lembaga donor," ujarnya. Anggito Abimanyu, staf ahli Menteri Keuangan yang ikut memperkuat delegasi pemerintah dalam sidang CGI, mengaku bahwa perasaannya tak menentu, campur aduk. Sekalipun lega karena Indonesia mendapat pinjaman baru, tapi ia juga merasa prihatin karena dengan bertambahnya pinjaman, berarti ada tanggung jawab dalam penggunaan dan pengembaliannya kelak. "Besarnya pinjaman dan hibah dapat diterjemahkan sebagai masih besarnya kekurangan kita yang harus dibayar kembali di kemudian hari," Anggito mengingatkan.
Sejauh yang menyangkut pelaksanaan, Rizal Ramli mengingatkan bahwa para dirjenlah yang harus maju ke depan karena merekalah sebenarnya tonggak dalam implementasi. Yang perlu diprioritaskan adalah undangan kepada staf PBB yang akan datang ke Atambua, November depan. Kemudian, dalam tempo enam bulan, pembenahan sektor kehutanan harus sudah mulai terlihat.
Sementara itu, reformasi struktural--menyangkut kelembagaan--harus benar-benar mengacu kepada LoI dengan IMF. Kalau masih dilanggar juga, sudah tiba saatnya untuk tidak lagi mengandalkan kucuran utang, baik dari CGI, IMF, maupun Bank Dunia. Alasannya sederhana: LoI dalam pelaksanaannya acap kali terkesan sebagai intervensi IMF terhadap kedaulatan Republik Indonesia. Tapi, yang lebih penting dari itu adalah utang bangsa ini sudah terlalu besar sehingga kalau mau ditambah, secara moral generasi sekarang bisa dinilai tidak bertanggung jawab oleh generasi masa depan.
Nugroho Dewanto (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo