Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gaung rencana PT Pertamina (Persero) menerbitkan bensin baru sebenarnya sudah didengar oleh Juan Tarigan pada Februari lalu. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Himpunan Wirausaha Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) DKI Jakarta, Jawa, dan Banten, ini diberi tahu akan ada produk dengan oktan lebih tinggi daripada Premium tapi harganya lebih murah dibanding Pertamax.
Pertamina memintanya membantu sosialisasi kepada para pengusaha stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) soal produk baru ini sekaligus menyiapkan sarana-prasarana yang dibutuhkan untuk menjualnya. "Tapi ketika itu kami tak dikasih tahu kapan persisnya produk itu akan keluar," kata Juan kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Baru pada Kamis dua pekan lalu, ia kembali dihubungi Pertamina melalui sambungan telepon oleh General Manager Marketing Operation Region III Pertamina Afandi. Kali ini Pertamina menyatakan bensin baru itu akan didistribusikan melalui SPBU mulai Mei mendatang.
Tak puas hanya mendapat penjelasan lewat telepon, Juan menyambangi kantor Afandi di Kramat Raya, Jakarta Pusat, pada Jumat esok harinya. Di sana ia mendapat arahan lebih teknis untuk persiapan penjualan. "Bagi yang punya tangki bensin Premium lebih dari satu, salah satunya di-switch untuk bensin Pertalite," ucap Juan.
Pertalite adalah nama yang disiapkan Pertamina untuk produk barunya. Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Ahmad Bambang menyatakan hadirnya Pertalite merupakan salah satu upaya perseroan untuk mengurangi impor bensin RON 88 atau Premium, sesuai dengan rekomendasi Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang digawangi Faisal Basri. "Kami mau mengeluarkan produk baru sebagai transisi," ujarnya.
Bensin transisi ini memiliki kandungan oktan lebih tinggi dibanding Premium tapi sedikit di bawah Pertamax, yang beroktan 92. Berada di tengah kedua varian produk tersebut, Pertalite dengan RON 90 diperkirakan dijual pada kisaran harga Rp 8.300 per liter.
Keinginan mengganti Premium dengan Pertalite diperkuat oleh data migrasi konsumen bensin bersubsidi ke Pertamax pada November 2014. Saat itu pemerintah menaikkan harga Premium menjadi Rp 8.500 per liter dan harga Pertamax berada di angka Rp 9.950 per liter. Konsumsi Pertamax melonjak hingga tiga kali lipat dengan perbedaan harga kurang dari Rp 2.000 per liter.
Artinya, kata Bambang, minat masyarakat menikmati bahan bakar berkualitas masih tinggi, selama harganya bersaing. "Kalau ada Pertalite yang bagus dan harganya miring, yang pindah dari Premium pasti semakin banyak."
Ia memperkirakan migrasi konsumen ke Pertalite bisa mencapai 20 persen pada tahun ini. Artinya, dari rata-rata 80 ribu kiloliter per hari konsumsi Premium, sebanyak 16 ribu kiloliter akan berpindah menyedot Pertalite.
Wakil Direktur Bahan Bakar Retail Pertamina M. Iskandar menambahkan, jika Pertalite bisa mulai dijual pertengahan Mei, impor Premium bisa turun signifikan, sekitar 7 juta kiloliter pada akhir tahun. "Dengan begini, kami optimistis Pertalite bisa menggeser Premium."
Persoalannya, rencana Pertamina ini ternyata belum mengantongi izin pemerintah. Saat kabar Pertalite mulai tersiar pada Kamis pekan lalu, tidak ada satu pun pihak pemerintah yang memberi tanggapan. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said bahkan menyatakan belum ada permohonan ataupun pemberitahuan secara resmi terkait dengan hal ini. "Komunikasinya informal. Masih kami tunggu suratnya," ujar Sudirman.
Rupanya, masih ada yang mengganjal bagi Sudirman. Sebab, produk baru Pertamina ini banyak disebut bakal menggantikan Premium, yang penentuan harga dan kuotanya diatur pemerintah karena masih disubsidi. Orang dalam di lingkungan kementerian ini bahkan mengatakan Sudirman sampai menegur Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto. Dia meminta Pertamina mengurus izin dulu di Kementerian Energi sebelum meluncurkan Pertalite. "Pak Menteri kecewa kepada Pertamina," ucapnya.
Bukan hanya Sudirman, Tim Reformasi Tata Kelola Migas juga kurang happy terhadap rencana perusahaan pelat merah itu. Menurut Ketua Tim Faisal Basri, lahirnya Pertalite tidak sesuai dengan rekomendasi timnya. Tim Reformasi, kata Faisal, meminta agar bensin RON 88 dihapus karena formulanya sengaja dibuat jadi misteri dan tidak ada patokan harganya di pasar. Ketimbang mengimpor bensin Premium, tim ini berpendapat lebih baik melakukan impor dan mengolah bensin oktan 92, yang harganya lebih transparan. "Bukan dengan bikin RON 90 yang juga tak ada di pasar dan formula harganya sama-sama tak jelas."
Faisal bahkan ragu Pertalite merupakan produk olahan kilang yang selama ini digembar-gemborkan Pertamina. Bukan tak mungkin, kata dia, Pertalite sebatas akal-akalan Pertamina dengan mencampur bensin RON 88 dan RON 92, seperti biasa dilakukan konsumen selama ini.
Dugaan itu tak keliru. Informasi dari petinggi di Pertamina menyatakan Pertalite adalah murni produk divisi pemasaran. "Bukan dari pengolahan," ucapnya. Ini artinya bensin baru yang digadang-gadang memiliki kualitas lebih baik daripada Premium itu belum tentu diproduksi di kilang. "Ini produk hilir. Bisa saja diolah di depo. Bedanya, pengadukan akan lebih rata jika dilakukan Pertamina," bekas pejabat Pertamina yang memahami seluk-beluk bisnis minyak menambahkan.
Di sisi harga, Faisal melanjutkan, kisaran Rp 8.300 yang disebut Pertamina juga diperkirakan diperoleh dengan formula asal-asalan. Ia menduga harga itu berasal dari hasil rata-rata penjumlahan harga Premium dan Pertamax yang dibagi dua. "Ditambah faktor X yang merupakan margin untuk menutupi kerugian Pertamina dari penjualan Premium selama ini."
Teriakan penolakan juga datang dari gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Ketua Komisi VII DPR Kardaya Wanika meminta Pertamina menunda peluncuran produk barunya tersebut. Sebab, saat Pertalite didistribusikan ke pompa bensin, yang akan dikorbankan adalah tangki Premium. Ia tidak mau hal itu berdampak pada berkurangnya volume bensin bersubsidi di masyarakat. "SPBU tidak boleh jual Pertalite memakai dispenser dan nozzle untuk Premium. Jangan sampai akses masyarakat terhadap Premium berkurang."
Pertamina tak membantah anggapan bahwa peluncuran Pertalite memang dirancang untuk menambal kerugian mereka. Apalagi, sejak subsidi dikurangi dan harga minyak dunia anjlok ke US$ 50 per barel, perusahaan merugi sekitar Rp 420 miliar pada awal 2015 ini. "Waktu itu kami menjual rugi BBM ke pasar," kata Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto.
Namun itu bukan alasan utama Pertamina meluncurkan Pertalite. "Yang penting adalah kami bertahap melakukan transisi untuk optimalisasi kilang," Ahmad Bambang menegaskan.
Tapi tak semua menolak rencana bisnis Pertamina itu. Meski tidak setuju Premium dihapus dari pasar, Hiswana Migas sepakat Pertalite tetap diluncurkan Mei mendatang. "Ini memang bagus untuk perbaikan revenue. Penyesuaian margin bisa lebih baik seperti Pertamax," kata Ketua Hiswana Migas Eri Purnomohadi.
Gustidha Budiartie, Ayu Prima Sandi, Praga Utama
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo