Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dampak Aturan Sertifikat Halal: Biaya Mahal dan Prosedur Makin Rumit

Pengusaha terdesak aturan wajib bersertifikat halal. Biaya penerbitan label halal dianggap mahal dan prosedurnya rumit.

27 Oktober 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah memberlakukan kewajiban sertifikasi halal secara bertahap hingga 2026.

  • Pengusaha harus melewati proses sertifikasi yang rumit dan berbiaya tinggi.

  • Legalisasi label halal produk impor memerlukan proses panjang.

RAPAT daring berjudul “Integrasi BPJPH dan Bea Cukai Menuju Wajib Halal” pada Kamis siang, 10 Oktober 2024, banjir peminat. Kuota ruangan virtual yang dibatasi untuk 1.000 peserta terisi penuh sebelum acara dimulai. “Pembawa materi webinar sempat tidak bisa masuk ruang virtual karena sudah full,” kata seorang pengusaha daging sapi, Marina Ratna, kepada Tempo pada Kamis, 24 Oktober 2024. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Marina, pelaku industri sangat antusias mengikuti seminar daring yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bersama Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan itu. Dia mengungkapkan, berbagai pertanyaan muncul tentang kebijakan wajib bersertifikat halal untuk makanan, minuman, bahan baku, bahan tambahan pangan, bahan penolong, serta hasil penyembelihan dan jasa penyembelihan. “Banyak pengusaha yang takut,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BPJPH menyelenggarakan webinar tersebut sebagai bentuk sosialisasi regulasi kewajiban sertifikasi halal yang berlaku secara bertahap. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, tahap pemberlakuan kewajiban itu berlangsung mulai 17 Oktober 2019 hingga 17 Oktober 2024. Artinya, tinggal sepekan lagi waktu yang dimiliki para pengusaha untuk mempersiapkan diri sebelum kewajiban sertifikasi halal berlaku. 

Kepala BPJPH Haikal Hassan Baras menjelaskan, setelah tahap pertama kewajiban sertifikasi halal berakhir pada 17 Oktober 2024, produk yang beredar, diperdagangkan, dan masuk ke Indonesia wajib memiliki sertifikat halal. "Awas lu, ye, para pelaku usaha, segera daftarkan produknya yang belum bersertifikat halal. Kalau kagak, gue sanksi," tutur Haikal, yang akrab disapa Babe, di Jakarta pada Kamis, 24 Oktober 2024. Haikal baru dilantik Presiden Prabowo Subianto pada Selasa, 22 Oktober 2024. 

Suasana pelayanan sertifikasi halal di kantor Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), Jakarta, 24 Oktober 2024.. Tempo/Tony Hartawan

Menurut Haikal, perubahan aturan tidak disebabkan oleh kesalahan ketentuan sebelumnya, tapi memerlukan penyempurnaan. “Kita harus mengikuti tren,” ucapnya kepada Tempo pada Selasa, 22 Oktober 2024. Haikal menjelaskan, pertumbuhan jumlah pemilik sertifikat halal dalam tiga tahun terakhir mencapai 730 persen. Awalnya hanya ada tambahan sekitar 100 ribu produk berlabel halal dalam setahun. "Sekarang ada 3,7 juta produk halal.” Dia mengatakan kunci pertumbuhan itu adalah adanya layanan pengurusan sertifikat halal secara digital melalui aplikasi Sistem Informasi Halal atau SiHalal yang memakai teknologi kecerdasan buatan dan blockchain.

Meski begitu, sebagian besar pengusaha yang mendatangkan produk makanan, minuman, dan produk sembelihan dari luar negeri tetap galau. Sebab, mereka sangat bergantung pada perjanjian pengakuan bersama atau mutual recognition agreement (MRA) antara BPJPH dan lembaga sertifikasi halal luar negeri. Sejumlah negara memiliki lembaga penerbit sertifikat halal. 

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021, sertifikat halal yang diterbitkan lembaga dari luar negeri sebenarnya dapat diterima sebagai label halal di Indonesia berdasarkan perjanjian MRA yang berlaku timbal balik. Dengan mekanisme ini, produk halal yang sertifikatnya dikeluarkan lembaga mancanegara yang telah menandatangani MRA dengan BPJPH tidak perlu mendapat sertifikat halal di Indonesia.

Namun, khusus untuk kategori bahan baku, bahan tambahan, bahan penolong, dan produk sembelihan, ada aturan berbeda. Meskipun telah memiliki sertifikat halal dari lembaga yang telah meneken MRA dengan BPJPH, produk-produk itu tak bisa serta-merta masuk ke Indonesia. Para importir bahan pangan jenis ini wajib melakukan registrasi dulu sebelum mengedarkan barang mereka di Indonesia.

Masalahnya, banyak lembaga verifikator produk halal yang masih dalam proses permohonan MRA ke BPJPH, bahkan hingga menjelang tenggat pemberlakuan kewajiban sertifikasi halal pada 17 Oktober 2024. Berdasarkan data BPJPH, dari total 149 lembaga penerbit sertifikat halal yang berasal dari 45 negara yang mengajukan permohonan MRA, baru 92 yang prosesnya telah rampung. Sebanyak 57 sisanya masih dalam proses akreditasi. 

Dengan kondisi tersebut, akan banyak produk impor yang tidak bisa masuk ke Indonesia ketika kewajiban sertifikasi halal berlaku. Sebab, merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021, pengecekan kehalalan suatu produk dilakukan di pelabuhan atau perbatasan. Hal ini yang menghantui para importir sehingga mereka antusias mengikuti sosialisasi via aplikasi rapat daring Zoom pada 10 Oktober 2024 tersebut. 

Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal BPJPH Dzikro, yang memimpin rapat tersebut, saat itu mengatakan bisa memahami kekhawatiran pengusaha. Ia mengakui baru ada beberapa lembaga penerbit label halal luar negeri yang sudah meneken perjanjian MRA dan masih banyak yang menjalani audit. “Kalau langsung diberlakukan pada 17 Oktober, tentu belum siap,” ia menjelaskan kepada Tempo pada Jumat, 25 Oktober 2024.

Menurut Dzikro, pemerintah memahami dampak yang akan terjadi jika ketentuan itu dipaksakan. Sebab, banyak produk dalam negeri yang menggunakan bahan baku impor. Jika aturan baru dipaksakan berlaku saat infrastruktur belum siap, akan ada persoalan pada rantai pasokan bahan baku impor. 

Selain soal MRA, masalah yang menjadi keluhan adalah mekanisme apostille, yakni semacam legalisasi untuk menyatakan suatu dokumen sertifikat halal benar-benar asli dan dikeluarkan lembaga penerbit luar negeri. Ketentuan ini ada dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021. Menurut aturan ini, importir harus melegalisasi sertifikat halal produk yang mereka impor di kedutaan besar Indonesia di negara asal barang atau lembaga penerbit. Masalahnya, ketentuan pemberlakuan apostille di beberapa negara ternyata berbeda. 

Para pengusaha mengeluhkan hal itu karena membuat proses sertifikasi halal rumit. “Kami semua juga bingung dan menanyakan, untuk apa sih sebenarnya,” tutur Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha dan Pengolahan Daging Indonesia Teguh Boediyana.

•••

EMPAT asosiasi pengusaha yang bergerak di bidang pengadaan daging sapi melayangkan surat permohonan audiensi kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto pada 17 September 2024. Mereka adalah Asosiasi Pengusaha dan Pengolahan Daging Indonesia, Asosiasi Pengusaha Protein Hewani Indonesia, Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia, serta Asosiasi Distributor Daging Indonesia. 

Para pengusaha yang tergabung dalam asosiasi tersebut mempersoalkan pemberlakuan kewajiban registrasi sertifikat halal luar negeri oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal. Surat tersebut ditembuskan kepada Menteri Agama, Menteri Perdagangan, Menteri Pertanian, Kepala Badan Pangan Nasional, Menteri Perindustrian, Menteri Keuangan, Kepala BPJPH, Kepala Lembaga National Single Window, dan beberapa pejabat eselon I kementerian lain.

Para pengusaha merujuk pada Keputusan Kepala BPJPH Nomor 90 Tahun 2023 yang merupakan aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 serta Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021. Berdasarkan keputusan itu, sertifikat halal yang diterbitkan lembaga luar negeri yang telah memiliki MRA dengan BPJPH wajib diregistrasi di BPJPH. Registrasi harus dilakukan sebelum produk itu diedarkan di Indonesia. Aturan itu berlaku per 17 Oktober 2024 dengan penerapan sistem pabean (border) atau pengawasan di tempat masuk.

Namun, menurut para anggota asosiasi, ada sejumlah kendala, seperti proses validasi dan verifikasi lembaga halal luar negeri (LHLN) BPJPH belum sepenuhnya selesai. Selain itu, prosedur teknis belum tersosialisasi dengan baik. Dampaknya, eksportir atau pemasok di negara asal belum sepenuhnya memahami tata cara legalisasi yang diperlukan.

Yang menyedihkan, kata para pengusaha dalam surat mereka kepada Menteri Airlangga, para pemasok tak bisa memahami kewajiban registrasi sertifikat halal. Pemasok beralasan sertifikat halal mereka telah diakreditasi oleh BPJPH. Selain itu, LHLN penerbit sertifikat halal telah memiliki perjanjian MRA dengan BPJPH. Para pemasok dan LHLN bingung, mengapa sertifikat yang telah diakreditasi atau disetujui BPJPH harus melalui proses registrasi. Hal ini semestinya dijelaskan oleh BPJPH saat proses akreditasi, persetujuan, atau penandatanganan MRA.

Ada pula masalah berupa kesulitan pengusaha saat hendak meregistrasi sertifikat halal LHLN karena proses akreditasi oleh BPJPH belum rampung. Proses legalisasi atau apostille sertifikat halal oleh notaris publik pun memerlukan waktu lama dan belum dipahami sebagai kewajiban oleh LHLN. 

Untuk menyelesaikan berbagai persoalan tersebut, para pengusaha mengajukan solusi. Pertama, melonggarkan persyaratan registrasi sertifikat halal LHLN yang telah disetujui BPJPH dengan menghilangkan kewajiban legalisasi. Sebab, LHLN yang telah diakreditasi BPJPH semestinya telah memiliki semua data dan dokumen yang diperlukan.

Solusi kedua adalah mempercepat proses persetujuan LHLN yang masih dalam tahap penilaian atau akreditasi BPJPH. Pengusaha juga meminta pemerintah menunda penerapan aturan penahanan barang di pelabuhan atau pintu masuk impor oleh aparat Bea-Cukai karena belum terpenuhinya ketentuan registrasi sertifikat halal dalam sistem BPJPH. Pengusaha khawatir penerapan sistem kepabeanan ini menyebabkan penumpukan kontainer di pelabuhan, memperpanjang waktu tunggu bongkar-muat atau dwelling time, dan meningkatkan biaya. Tersendatnya arus barang juga menyebabkan kelangkaan pasokan produk tertentu yang akhirnya mengerek harga.

Tak ada respons atas surat permintaan audiensi tersebut. Namun, pada Kamis, 17 Oktober 2024, ada kabar baru. Tiga hari menjelang lengser dari kursi presiden, Joko Widodo menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 sebagai aturan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021. Pasal 160 peraturan baru itu menyatakan "Kewajiban bersertifikat halal untuk produk makanan, minuman, hasil sembelihan, dan jasa penyembelihan yang berasal dari luar negeri ditetapkan oleh Menteri paling lambat 17 Oktober 2026, setelah mempertimbangkan penyelesaian kerja sama saling pengakuan sertifikat halal”.

Menurut Kepala Pusat Pembinaan dan Pengawasan Jaminan Produk Halal BPJPH Dzikro, legalisasi sebenarnya bertujuan menyatakan bahwa sertifikat halal tersebut asli. Tapi, dalam regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024, ketentuan mengenai apostille dihilangkan. Pemerintah menggantinya dengan penguatan perjanjian MRA dengan LHLN sehingga tidak memerlukan apostille

Jaminan keaslian dokumen sertifikat halal juga akan diperkuat dengan kerja sama digitalisasi antara BPJPH dan LHLN. “Nanti kami akan memiliki semacam link, oh ini diterbitkan LHLN nomor sertifikat sekian, sertifikatnya asli, produknya ini,” ujar Dzikro. Sembari proses digitalisasi berjalan, dia menambahkan, untuk sementara proses konfirmasi dilakukan secara manual oleh BPJPH dengan LHLN sehingga bisa mempercepat persetujuan registrasi. 

Adapun pemeriksaan sertifikat halal barang impor untuk sementara dilakukan secara post-border atau di luar pintu masuk barang. Nantinya, kebijakan mengenai hal ini akan diputuskan oleh Haikal Hassan selaku Kepala BPJPH. Dzikro mengatakan BPJPH membutuhkan banyak penyesuaian sehingga memerlukan masa transisi. Sebelumnya BPJPH melapor kepada Menteri Agama. “Tapi sekarang Kepala BPJPH langsung di bawah Presiden,” ucapnya. 

Namun Dzikro mengingatkan para pengusaha agar memperhatikan aturan baru yang akan berlaku "paling lambat pada Oktober 2026". Artinya, apabila sebelum tenggat tersebut pemerintah menilai semuanya sudah siap, aturan itu akan diberlakukan. “Entah Februari entah Maret. Apalagi Kepala BPJPH, Presiden, maunya cepat.” 

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 juga menyatakan proses untuk memenuhi kewajiban sertifikasi halal bagi produk makanan, minuman, sembelihan, dan jasa penyembelihan buat pelaku usaha mikro dan kecil dimulai pada 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2026. Sedangkan bagi pelaku usaha menengah dan besar, tahap pemberlakuan kewajiban itu berlangsung mulai 17 Oktober 2019 sampai 17 Oktober 2024. Artinya, kewajiban memiliki label halal sudah berlaku bagi wirausaha kategori ini, termasuk pengusaha restoran dan hotel.

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea-Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto mengatakan lembaganya telah mengusulkan kewajiban sertifikasi halal diberlakukan dengan sistem post-border atau setelah barang keluar dari pelabuhan. Cara ini menjadi solusi mencegah antrean di pelabuhan. Menurut Nirwala, usulan ini telah dibahas dalam sebuah rapat dan disetujui. Tapi, ihwal pelaksanaannya, pengusaha diminta menunggu terbitnya ketentuan baru yang mengaturnya lebih rinci.

Wakil Ketua Umum Bidang Organisasi Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yuno Abeta Lahay mengatakan, setelah tenggat 17 Oktober 2024, ada inspeksi mendadak pengecekan sertifikat halal ke restoran dan hotel. Menurut dia, inspeksi terjadi di Yogyakarta, Palembang, Semarang, dan Bogor. “Saya mengalami sendiri di Bogor,” tutur Yuno, yang juga menjabat Ketua PHRI Kota Bogor, Jawa Barat.

Akhirnya Yuno menggelar pertemuan antara anggota PHRI dan petugas pemeriksa label halal, termasuk dari Dinas Pariwisata Kota Bogor. Pada dasarnya, dia mengungkapkan, para pengusaha hotel dan restoran ingin mematuhi peraturan. Namun mereka mengeluhkan mahalnya biaya pengurusan sertifikat halal. Berdasarkan tagihan yang masuk ke anggota PHRI, biayanya bisa mencapai Rp 36 juta, bahkan Rp 70 juta untuk hotel yang di dalamnya terdapat restoran dan kafe. “Makin banyak menu, biaya makin mahal.” 

Karena itu, menurut Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran, tidak mungkin semua pelaku usaha membayar biaya perizinan dengan tarif tersebut. Belum lagi biaya pelatihan penyelia kehalalan yang harus dibayar setiap beberapa tahun dan biaya menu. Walhasil, inovasi menjadi terbatas karena pengusaha tidak mudah berkreasi. "Tambah menu, tambah biaya,” kata Maulana.

Ihwal masalah tersebut, Dzikro mengatakan besaran biaya itu relatif. Nilai biaya antara lain ditentukan berdasarkan lokasi usaha dan jumlah menu. BPJPH juga berusaha meminimalkan biaya dengan membuat standar ongkos transportasi auditor. Tapi dia mengingatkan ketentuan utama yang harus dipenuhi adalah kehalalan produk. “Jangan sampai kita memikirkan biaya yang sangat rendah tapi keamanan produk jadi terancam.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tambah Menu Tambah Biaya"

Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus