Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hanya 2 persen pengusaha mi dan bakso yang mengantongi sertifikat halal.
Importir daging serta pengusaha hotel dan restoran terkena biaya mahal.
Ada pengusaha yang mendapatkan bantuan dalam mengurus sertifikat halal
Januari 2025 menjadi momen yang menentukan bagi pabrik bakso kemasan dan penggilingan daging milik Lasiman di Cakung, Jakarta Timur. Sebab, di bulan tersebut akan ada keputusan apakah pabrik Lasiman memenuhi syarat mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) atau tidak. “Sekarang menunggu hasil verifikasi dan pengesahan dari BPJPH,” katanya pada Kamis, 24 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lasiman, yang menjabat Ketua Umum Asosiasi Pedagang Mie dan Bakso atau Apmiso Nusantara, mengajukan permohonan sertifikat halal kepada BPJPH beberapa bulan lalu. Permohonan tersebut berbarengan dengan upayanya mengurus sertifikat hak kekayaan intelektual untuk merek bakso kemasannya. Pemeriksa kehalalannya tak main-main: Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia atau LPPOM MUI. Lembaga ini menjadi pemeriksa kehalalan tunggal sebelum pemerintah mendirikan BPJPH.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini LPPOM MUI hanya bertindak sebagai lembaga pemeriksa kehalalan yang disertifikasi oleh BPJPH. Auditor halal LPPOM MUI, Lasiman menjelaskan, sudah mendatangi penggilingan dan pabrik baksonya. Harus diakui, sebagai ketua asosiasi pengusaha, dia cukup beruntung karena memahami cara mengurus sertifikat halal dengan cepat, mudah, dan murah, dari memasukkan permohonan ke aplikasi digital Sistem Informasi Halal (SiHalal) hingga melengkapi dokumen sertifikat halal daging sapi dan kerbau dari pemasoknya.
Beberapa jenis bakso yang dijual di pasar tradisional di Jakarta [Dok.Tempo/Dian Triyuli Handoko]
Berbeda dengan Lasiman, mayoritas anggota Apmiso Nusantara kesulitan mengurus sertifikat halal. Menurut Lasiman, dari ratusan ribu anggota asosiasinya, hanya 2 persen yang sudah mengantongi label halal. Itu pun berkat bantuan program tanggung jawab sosial perusahaan seperti dari PT Pegadaian (Persero). Pegadaian membantu mengurus dan membiayai sertifikasi halal pedagang mi ayam dan bakso di Yogyakarta pada Desember 2023-Februari 2024. “Ada 67 anggota kami yang ikut program itu,” ucapnya.
Bagi pedagang bakso skala kecil, kewajiban bersertifikat halal memberatkan. Menurut Lasiman, kendati masuk kategori usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pedagang bakso masuk positive list produk halal—daftar kelompok usaha yang berisiko tinggi tidak halal karena ada kandungan dagingnya. Untuk mendapatkan sertifikat halal, pedagang bakso harus membayar biaya Rp 300 ribu dan jasa lembaga pemeriksa halal (LPH) yang akan melakukan verifikasi senilai Rp 2-4 juta. “Jadi, kalau dikatakan sertifikasi UMKM gratis, yang mana dulu? Mungkin kalau penjual gorengan, iya,” ujarnya.
Bukan hanya UMKM, pelaku industri makanan skala menengah dan besar juga banyak yang kesulitan mengurus kewajiban bersertifikat halal, yang awalnya akan diberlakukan mulai 17 Oktober 2024. Terutama importir produk daging dan sembelihan. Bersama produk makanan, minuman, serta bahan baku dan penolong pangan, produk daging dan jasa sembelihan menjadi sektor usaha pertama yang harus memenuhi kewajiban bersertifikat halal.
Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal, yang kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 pada 17 Oktober 2024, mewajibkan importir daging mendaftarkan sertifikat kehalalan pemasoknya, seperti rumah potong hewan (RPH) di dalam dan luar negeri, kepada BPJPH. Meski pemasok itu sudah mengantongi sertifikat halal dari lembaga verifikator luar negeri dan diakui MUI, para importir tak otomatis bisa mendatangkan produknya.
Untuk bisa mendaftarkan sertifikat halal pemasoknya, importir harus menyertakan label yang sudah dilegalisasi atau apostille dari negara asal. Masalahnya, detail prasyarat registrasi Sertifikasi Halal Luar Negeri atau SHLN baru keluar setelah terbit Keputusan Kepala BPJPH Nomor 90 Tahun 2023 tentang Prosedur Pelaksanaan Layanan Registrasi SHLN pada November 2023. Adapun layanannya baru dibuka pada Juli 2024.
Sejak saat itu, sejumlah importir mulai mengurus registrasi SHLN. Salah satunya PT Exosia Agro Bersaudara, importir daging sapi Australia. Ketika perusahaan ini menyampaikan syarat impor itu kepada pemasoknya di Negeri Kanguru, banyak RPH yang kalang kabut. Pengelola RPH di luar negeri heran karena mereka sudah punya sertifikat halal yang dikeluarkan oleh lembaga pemeriksa tapi tetap dikenai prosedur apostille.
Kewajiban ini juga berlaku bagi lembaga yang telah masuk skema perjanjian pengakuan bersama atau mutual recognition agreement (MRA) dengan BPJPH. Lembaga yang sudah meneken MRA dengan BPJPH antara lain Australian Halal Development and Accreditation, Australian Halal Authority and Advisers Pty Ltd, dan Australian Halal Food Services Pty Ltd. “Tapi, karena importir takut barang tidak bisa masuk, kami usahakan dengan sangat terburu-buru mendapatkan apostille,” kata Marina Ratna dari PT Exosia Agro Bersaudara pada Kamis, 24 Oktober 2024.
Setelah mendapatkan apostille, Marina melanjutkan, lembaga-lembaga itu memasukkan permohonan registrasi SHLN ke aplikasi SiHalal. Tapi, dalam beberapa kali percobaan, mereka selalu gagal. Permohonan mereka baru diterima setelah pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 yang memundurkan pemberlakuan kewajiban registrasi sertifikasi luar negeri. “Harus bayar Rp 800 ribu untuk satu register,” ucap Marina.
Sedangkan para pelaku industri perhotelan dan restoran mengeluhkan biaya label halal yang mereka nilai terlalu mahal. Sebagai gambaran, para pengusaha hotel dan restoran harus membayar puluhan juta rupiah untuk mendapatkan sertifikat halal. Biaya ini terdiri atas setoran penerimaan negara bukan pajak Rp 12,5 juta untuk sertifikat pengusaha skala besar, laboratorium Rp 1,5 juta, LPH dan auditor halal Rp 10 juta, penyelia halal Rp 15 juta per bulan, dan akomodasi bagi auditor yang hendak memeriksa, juga biaya tambahan untuk menu 100 item.
“Bahkan ada penawaran sampai Rp 70 juta paket komplet,” tutur Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Maulana Yusran pada Kamis, 24 Oktober 2024. “Penyelia halal itu harus ada di setiap restoran. Kami harus merekrut tenaga baru atau melatih karyawan yang ada.”
Yang membuat Yusran khawatir adalah sejumlah pemerintah daerah mulai memeriksa restoran dan hotel yang belum mengantongi sertifikat halal. Para pengusaha restoran, Yusran melanjutkan, hanya tahu bahwa biaya pengurusan sertifikat sebesar Rp 300 ribu untuk UMKM, Rp 5 juta buat skala menengah, dan Rp 12,5 juta bagi skala besar. Kebanyakan dari mereka tidak sadar akan adanya biaya jasa bagi LPH yang akan memverifikasi kehalalan produk. “Ketika kami sampaikan biayanya sampai puluhan juta, mereka bingung. Di negara mayoritas muslim lain tidak seperti ini," ujarnya.
Toh, Kepala BPJPH Haikal Hassan tetap yakin lembaganya bisa meningkatkan layanan sertifikasi halal. Dia berjanji menambah tenaga auditor halal, mempersingkat pengurusan, dan memperkuat digitalisasi agar pelaku usaha makin mudah mendapatkan sertifikat halal. Apalagi, Haikal menambahkan, BPJPH kini menjadi lembaga setingkat kementerian, tidak lagi berada di bawah Kementerian Agama. “Ini perubahan signifikan,” katanya pada Selasa, 22 Oktober 2024.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ongkos Mahal Label Halal"