SUDAH dua kali Asi Naibaho naik Tampomas I sebagai penumpang
gelap, dari Priok ke Belawan (Medan). Terakhir 1 Agustus lalu,
dia berhasil memanjat tangga kapal tua itu, dengan menyelipkan
selembar lima ribuan kepada petugas di situ, di tengah desakan
ratusan calon penumpang. Ketika seseorang di atas kapal
berusaha menahannya, dia bisa membereskannya dengan sepuluh
ribuan yang diserahkannya pada dua petugas keamanan.
Total pengeluaran Asi sebagai penumpang dek gelap hari itu hanya
Rp 16.500, termasuk suap untuk petugas dapur Rp 1.500. Padahal,
jika membeli tiket sah, dia harus keluar Rp 27 ribu. Dengan
penuh keyakinan Asi pun sesumbar: "Naik Tampomas itu mudah tanpa
tiket di tangan pun jadilah. Yang penting punya keberanian dan
ketabahan."
Tapi untuk KM Kerinci, demikian Sekretaris Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut J.E. Habibie, penumpang gelap semacam itu
dijamin bakal tak bisa masuk. Pemeriksaan di saat embarkasi,
tiga lapis, akan dilakukan ketat. Petugas yang ketahuan menerima
suap diancam pemecatan. Ruang dek Kerinci (kelas ekonomi), yang
terletak di lantai paling bawah, sudah dikapling pas untuk 500
penumpang lengkap dengan garis batas dan rak barang di atasnya.
Di situ dijamin, tak akan ada lagi tuan tanah Kedawung yang
bisa menjual kaplingnya pada penumpang," ujarnya.
Toh secara terus terang Habibie menyebut bahwa Kerinci
(kapasitas angkut 1.596 penumpang), yang melayari trayek
Padang-Jakarta-Ujungpandang, belum akan jadi sumber keuntungan.
Sebuah sumber bahkan memperkirakan bahwa dengan kapal barunya
itu, Pelni akan bertambah rugi Rp 2,5 milyar per tahun,
sekalipun tingkat pengisian penumpang (loadfactor) kapal itu
mencapai 100%. Kerinci, yang didisain penuh untuk angkutan
penumpang bagai pesawat Jumbo Boeing 747, memang tak bisa
memperoleh banyak tambahan pendapatan dari muatan barang yang
diperkirakan cuma akan mencapai 50-75 ton sekali berlayar.
Karena itulah, untuk mempelajari pengelolaan Kerinci secara
benar, pembukuan kapal ini dipisahkan dengan 49 kapal Pelni
lainnya. Tahu bahwa kantung badan usaha milik negara itu sedang
bolong, pemerintah mendrop duit Rp 257 juta untuk modal kerja
tiga kali pelayaran Jakarta-Ujungpandang-Jakarta-Padang-Jakarta
kapal tadi. Jumlah dana sebesar itu belum termasuk penyusutan
yang sudah harus diperhitungkan mulai Agustus ini. "Kalau kami
gagal di Kerinci ini," kata Habibie, "akan hancurlah
seluruhnya."
Pernyataan semacam itu jelas bukan sekadar gertakan. Diawali
dengan Kerinci itulah, disusul KM Kambuna (Februari 1984),
pemerintah berharap bisa menolong Pelni dari kerontokannya.
Maklum perusahaan pelayaran negara yang dibentuk 1952
menggantikan peranan Yayasan Pengusahaan Pusat Kapal-kapal itu,
selalu saja dirongrong kerugian, yang menurut sebuah sumber akan
berlanjut sampai 1990. Menurut sumber itu, kerugian Pelni tahun
lalu, yang semula diperkirakan hanya Rp 2,7 milyar, berdasar
taksiran terakhir telah mencapai Rp 5,5 milyar.
Tidak ada satu pun akuntan publik yang berani secara persis
menyatakan besarnya kerugian Pelni. Karena manajemen dan
pembukuannya kacau, pihak akuntan publik yang pernah memeriksa
laporan keuangannya menyatakan, kata satu sumber, "tak ada
pendapat." Artinya: setiap laporan pengeluaran perusahaan itu
sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tapi kekayaan
utama perusahaan di awal tahun ini jelas diketahui: 66 kapal
yang 35 di antaranya sudah berumur 25 tahun lebih.
Sebagai perusahaan pelayaran, Pelni juga diketahui punya
berjenis-jenis kekayaan seperti peralatan mekanik, tanah, kapal
tunda, mobil, tanah dan bangunan, yang lebih besar dibandingkan
pemilikan kapal. Nilai buku untuk kekayaan nonkapal itu, pada
1980, mencapai Rp 5 milyar lebih, sedang kapalnya (67 buah
ketika itu) Rp 29 milyar lebih. Karena sebagian besar kekayaan
itu tidak lagi efisien dioperasikan -- apalagi Pelni juga harus
mengeluarkan duit untuk 7.209 pegawainya -- maka kerugian
perusahaan itu di awal tahun ini secara akumulatif ditaksir
telah membengkak jadi Rp 20 milyar.
Ketika Februari silam Sudharno Mustafa secara resmi menggantikan
Husseyn Umar sebagai direktur utama Pelni, uang perusahaan hanya
Rp 900 juta. Sesudah diteliti, Rp 590 juta di antaranya ternyata
merupakan dana milik pemerintah, dan dicadangkan buat klaim para
korban Tampomas II yang tenggelam di perairan Masalembo. Apa
boleh buat, Sudharno, bekas direktur utama PN Pelayaran Bachtera
Adhiguna (1965-1983) itu, memang harus memulai dengan modal
kerja sekitar Rp 310 juta saja. Padahal untuk menjalankan Pelni
secara sehat dan benar dibutuhkan modal kerja sedikitnya Rp 5,2
milyar setiap bulannya.
Apa langkah Sudharno? Dengan persetujuan dewan komisaris
(pemerintah), dia terpaksa menempuh tindakan kurang populer:
pengurangan pegawai. Menurut pandangan Sudharno, jumlah pegawai
Pelni yang lebih 7.000 orang itu sesungguhnya "di luar daya
pikul perusahaan." Sesudah tindakan penyehatan itu dilakukan
mulai Maret, dengan memensiun dan memberhentikan 1.828 pegawai,
kini jumlah karyawan Pelni tinggal 5.381 orang.
Kapal, sebagai kekayaan utama perusahaan pun, dengan alasan
telah tua dan nilai bukunya sudah nol, juga dikurangi. Delapan
kapal dari rencana 14 kapal yan akan dikeluarkan dari jajaran
Pelni telah dijual sebagai besi tua dengan harga subsidi Rp 175
juta kepada PT Krakatau Steel. Tidak jelas benar mengapa kapal
tua dengan bobot mati total sekitar 15 ribu ton lebih itu harus
dijual kepada pabrik baja tersebut. Padahal jika Pelni diizinkan
melego delapan kapal itu ke Taiwan atau Hong Kong, kata seorang
akuntan publik, "harganya akan lebih baik."
Langkah penyehatan sesungguhnya pernah pula dilakukan
(1969-1973) oleh almarhum Captain Harun Rasidi Januari 1969 itu
sesudah Pelni selesai mengemban tugas Trikora, ia punya armada
81 kapal (dengan bobot mati 138 ribu ton) dan 9.850 pegawai.
Setelah pengurangan kekayaan besar-besaran dilakukan, pegawainya
kemudian tinggal 4.694, dan kapalnya jadi 54 buah saja sampai
1972. Tapi mungkin karena dibebani banyak tugas sosial, antara
lain harus melayani angkutan perintis dan menciptakan lapangan
kerja, jumlah armada dan pegawai Pelni kembali membengkak (lihat
grafik).
Tingginya jumlah pegawai dan armada itu sayangnya tidak
diimbangi pemasukan memadai. Akibatnya tentu saja bisa diduga:
dari 71 kapal milik Pelni yang dioperasikan tiga tahun lalu, 50
di antaranya justru merugi. Penampilan kapal-kapal itu pada 1978
dan 1979 juga sama saja. Hanya Tampomas I Jakarta-Medan?, dan
Tampomas II (Padang-Jakarta-Ujungpandang), yang tahun 1980 itu
masing-masing memperoleh keuntungan Rp 1,5 milyar dan Rp 595
juta.
Menekan kerugian sekecil mungkin, menurut Sudharno, sulit
dilakukan Pelni. Soalnya 15 di antara 35 trayek yang dijalani
kapal perusahaan itu adalah trayek tidak ekonomis. Di beberapa
trayek gemuk pun, seperti Medan-Jakarta, sekarang jadi tidak
menguntungkan lagi, karena suplai ruang kapal di jalur itu
terasa berlebih. Maklum jika tiga tahun lalu jumlah kapal yang
melayari trayek ini hanya 19, tahun ini sudah 30 kapal.
Berlebihnya suplai itu jelas telah menyebabkan uang tambang
(freight) yang dari Jakarta ke Medan bisa Rp 12 ribu, untuk
perjalanan pulang (return cargo) Medan ke Jakarta jatuh jadi Rp
3.000 per ton. Pada akhirnya memang "harga uang tambang berada
di tangan pemilik barang." ujar Sudharno.
Kesulitan terasa makin mendesak sesudah bahan bakar harganya
naik beberapa kali. Jenis Marine Diesel Fuel (MDF), misalnya,
yang pada 1972 masih Rp 8.500, kini sudah Rp 126 ribu per ton,
naik (1.382%). Sedang uang tambang pada periode yang sama hanya
naik dari Rp 6.000 jadi Rp 12.000 (100%). Kenyataan kurang
menyenangkan itu tentu saja menyebabkan KM Sindulang, Silumba,
dan Sitiung milik Pelni yang melayari trayek Jakarta-Medan
selalu merugi. Pendapatan Sitiung (4.800 ton bobot mati),
misalnya, tak pernah mencapai titik impas Rp 30 juta untuk
sekali berlayar. Karena, sering menunggu muatan "jadwal
pelayaran pun jadi tak tepat," kata Gutomo, direktur Operasi dan
Perjalanan Pelni.
Yang terasa mengganggu perputaran uang Pelni, menurut Sudharno,
adalah keharusan membayar di muka (advance payment) bahan bakar
(bunker), dan keharusan menyetorkan sejumlah deposit bagi bea
sandar dan labuh di setiap pelabuhan. Permintaannya agar Pelni
boleh mengutang untuk bunker tak pernah dikabulkan. Dalam
kesulitan keuangan seperti itulah, Pelni secara langsung masih
pula harus mensubsidi industri dalam negeri -- melego kapal ke
Krakatau Steel dan melakukan docking (dengan harga mahal) ke
galangan Priok. "Bagi kepentingan Pelni kenyataan itu jelas
tidak menguntungkan," kata Sudharno.
Keadaan runyam itu pada akhirnya memaksa Pelni, dengan jaminan
pemerintah, menunda pencicilan utangnya Rp 20 milyar ke pelbagai
pihak, sekitar Rp 2,4 milyar ke dok Priok. Untuk memenuhi
kebutuhan modal kerjanya, perusahaan ini setiap bulan terpaksa
menggunakan dana penyusutan (sekitar Rp 170 juta) yang
seharusnya disisihkan. Bahkan premi untuk asuransi kapal pun
habis dimakannya pula. Dengan cara main sodok seperti itulah
setiap bulan direksi Pelni akhirnya bisa mengumpulkan sekitar Rp
600 juta untuk modal kerja dari kebutuhan Rp 5,2 milyar. Terus
terang Sudharno menyebut Pelni bisa bertahan hidup karena
"banyak memakan modal".
Kenapa Pelni yang sudah miring-miring itu tidak dilikuidasi atau
dinyatakan bangkrut saja? Secara politis tindakan kurang populer
itu tentu akan menurunkan pamor pemerintah, yang sudah
memberikan kontribusi sebagai penyertaan modal sebesar Rp 49,7
milyar hingga 1980.
Untuk membenahi manajemen, Sudharno berusaha membuat organisasi
di perusahaan pelayaran itu utuh, dengan menyusun kembali
kewenangan pada pejabat yang tepat. "Kalau dulu hansip dan
kepala urusan misalnya, bisa memberikan tiket gratis, sekarang
kewenangan itu hanya diputuskan direktur operasi," katanya.
Secara terus terang Sudharno mengaku belum punya rencana
perusahaan, mengingat Pelni "hanya merupakan bagian dari sebuah
sistem di bidang pelayaran." Kendati demikian, pria kelahiran
Garut 21 Januari 1929 ini punya keyakinan Pelni bisa jadi baik.
Tahun lalu, ketika masih memimpin Bachtera Adhiguna yang bermula
dengan modal dua kapal tua, Sudharno bisa memasukkan keuntungan
Rp 1 milyar ke perusahaan itu.
Bisakah dia melakukan hal serupa buat Pelni? Lelaki yang dikenal
hangat ini cuma ketawa dari kantornya yang tua di Jalan Angkasa
18, Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini