Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sesungguhnya, pelni pasti merugi

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH dua kali Asi Naibaho naik Tampomas I sebagai penumpang gelap, dari Priok ke Belawan (Medan). Terakhir 1 Agustus lalu, dia berhasil memanjat tangga kapal tua itu, dengan menyelipkan selembar lima ribuan kepada petugas di situ, di tengah desakan ratusan calon penumpang. Ketika seseorang di atas kapal berusaha menahannya, dia bisa membereskannya dengan sepuluh ribuan yang diserahkannya pada dua petugas keamanan. Total pengeluaran Asi sebagai penumpang dek gelap hari itu hanya Rp 16.500, termasuk suap untuk petugas dapur Rp 1.500. Padahal, jika membeli tiket sah, dia harus keluar Rp 27 ribu. Dengan penuh keyakinan Asi pun sesumbar: "Naik Tampomas itu mudah tanpa tiket di tangan pun jadilah. Yang penting punya keberanian dan ketabahan." Tapi untuk KM Kerinci, demikian Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut J.E. Habibie, penumpang gelap semacam itu dijamin bakal tak bisa masuk. Pemeriksaan di saat embarkasi, tiga lapis, akan dilakukan ketat. Petugas yang ketahuan menerima suap diancam pemecatan. Ruang dek Kerinci (kelas ekonomi), yang terletak di lantai paling bawah, sudah dikapling pas untuk 500 penumpang lengkap dengan garis batas dan rak barang di atasnya. Di situ dijamin, tak akan ada lagi tuan tanah Kedawung yang bisa menjual kaplingnya pada penumpang," ujarnya. Toh secara terus terang Habibie menyebut bahwa Kerinci (kapasitas angkut 1.596 penumpang), yang melayari trayek Padang-Jakarta-Ujungpandang, belum akan jadi sumber keuntungan. Sebuah sumber bahkan memperkirakan bahwa dengan kapal barunya itu, Pelni akan bertambah rugi Rp 2,5 milyar per tahun, sekalipun tingkat pengisian penumpang (loadfactor) kapal itu mencapai 100%. Kerinci, yang didisain penuh untuk angkutan penumpang bagai pesawat Jumbo Boeing 747, memang tak bisa memperoleh banyak tambahan pendapatan dari muatan barang yang diperkirakan cuma akan mencapai 50-75 ton sekali berlayar. Karena itulah, untuk mempelajari pengelolaan Kerinci secara benar, pembukuan kapal ini dipisahkan dengan 49 kapal Pelni lainnya. Tahu bahwa kantung badan usaha milik negara itu sedang bolong, pemerintah mendrop duit Rp 257 juta untuk modal kerja tiga kali pelayaran Jakarta-Ujungpandang-Jakarta-Padang-Jakarta kapal tadi. Jumlah dana sebesar itu belum termasuk penyusutan yang sudah harus diperhitungkan mulai Agustus ini. "Kalau kami gagal di Kerinci ini," kata Habibie, "akan hancurlah seluruhnya." Pernyataan semacam itu jelas bukan sekadar gertakan. Diawali dengan Kerinci itulah, disusul KM Kambuna (Februari 1984), pemerintah berharap bisa menolong Pelni dari kerontokannya. Maklum perusahaan pelayaran negara yang dibentuk 1952 menggantikan peranan Yayasan Pengusahaan Pusat Kapal-kapal itu, selalu saja dirongrong kerugian, yang menurut sebuah sumber akan berlanjut sampai 1990. Menurut sumber itu, kerugian Pelni tahun lalu, yang semula diperkirakan hanya Rp 2,7 milyar, berdasar taksiran terakhir telah mencapai Rp 5,5 milyar. Tidak ada satu pun akuntan publik yang berani secara persis menyatakan besarnya kerugian Pelni. Karena manajemen dan pembukuannya kacau, pihak akuntan publik yang pernah memeriksa laporan keuangannya menyatakan, kata satu sumber, "tak ada pendapat." Artinya: setiap laporan pengeluaran perusahaan itu sulit untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Tapi kekayaan utama perusahaan di awal tahun ini jelas diketahui: 66 kapal yang 35 di antaranya sudah berumur 25 tahun lebih. Sebagai perusahaan pelayaran, Pelni juga diketahui punya berjenis-jenis kekayaan seperti peralatan mekanik, tanah, kapal tunda, mobil, tanah dan bangunan, yang lebih besar dibandingkan pemilikan kapal. Nilai buku untuk kekayaan nonkapal itu, pada 1980, mencapai Rp 5 milyar lebih, sedang kapalnya (67 buah ketika itu) Rp 29 milyar lebih. Karena sebagian besar kekayaan itu tidak lagi efisien dioperasikan -- apalagi Pelni juga harus mengeluarkan duit untuk 7.209 pegawainya -- maka kerugian perusahaan itu di awal tahun ini secara akumulatif ditaksir telah membengkak jadi Rp 20 milyar. Ketika Februari silam Sudharno Mustafa secara resmi menggantikan Husseyn Umar sebagai direktur utama Pelni, uang perusahaan hanya Rp 900 juta. Sesudah diteliti, Rp 590 juta di antaranya ternyata merupakan dana milik pemerintah, dan dicadangkan buat klaim para korban Tampomas II yang tenggelam di perairan Masalembo. Apa boleh buat, Sudharno, bekas direktur utama PN Pelayaran Bachtera Adhiguna (1965-1983) itu, memang harus memulai dengan modal kerja sekitar Rp 310 juta saja. Padahal untuk menjalankan Pelni secara sehat dan benar dibutuhkan modal kerja sedikitnya Rp 5,2 milyar setiap bulannya. Apa langkah Sudharno? Dengan persetujuan dewan komisaris (pemerintah), dia terpaksa menempuh tindakan kurang populer: pengurangan pegawai. Menurut pandangan Sudharno, jumlah pegawai Pelni yang lebih 7.000 orang itu sesungguhnya "di luar daya pikul perusahaan." Sesudah tindakan penyehatan itu dilakukan mulai Maret, dengan memensiun dan memberhentikan 1.828 pegawai, kini jumlah karyawan Pelni tinggal 5.381 orang. Kapal, sebagai kekayaan utama perusahaan pun, dengan alasan telah tua dan nilai bukunya sudah nol, juga dikurangi. Delapan kapal dari rencana 14 kapal yan akan dikeluarkan dari jajaran Pelni telah dijual sebagai besi tua dengan harga subsidi Rp 175 juta kepada PT Krakatau Steel. Tidak jelas benar mengapa kapal tua dengan bobot mati total sekitar 15 ribu ton lebih itu harus dijual kepada pabrik baja tersebut. Padahal jika Pelni diizinkan melego delapan kapal itu ke Taiwan atau Hong Kong, kata seorang akuntan publik, "harganya akan lebih baik." Langkah penyehatan sesungguhnya pernah pula dilakukan (1969-1973) oleh almarhum Captain Harun Rasidi Januari 1969 itu sesudah Pelni selesai mengemban tugas Trikora, ia punya armada 81 kapal (dengan bobot mati 138 ribu ton) dan 9.850 pegawai. Setelah pengurangan kekayaan besar-besaran dilakukan, pegawainya kemudian tinggal 4.694, dan kapalnya jadi 54 buah saja sampai 1972. Tapi mungkin karena dibebani banyak tugas sosial, antara lain harus melayani angkutan perintis dan menciptakan lapangan kerja, jumlah armada dan pegawai Pelni kembali membengkak (lihat grafik). Tingginya jumlah pegawai dan armada itu sayangnya tidak diimbangi pemasukan memadai. Akibatnya tentu saja bisa diduga: dari 71 kapal milik Pelni yang dioperasikan tiga tahun lalu, 50 di antaranya justru merugi. Penampilan kapal-kapal itu pada 1978 dan 1979 juga sama saja. Hanya Tampomas I Jakarta-Medan?, dan Tampomas II (Padang-Jakarta-Ujungpandang), yang tahun 1980 itu masing-masing memperoleh keuntungan Rp 1,5 milyar dan Rp 595 juta. Menekan kerugian sekecil mungkin, menurut Sudharno, sulit dilakukan Pelni. Soalnya 15 di antara 35 trayek yang dijalani kapal perusahaan itu adalah trayek tidak ekonomis. Di beberapa trayek gemuk pun, seperti Medan-Jakarta, sekarang jadi tidak menguntungkan lagi, karena suplai ruang kapal di jalur itu terasa berlebih. Maklum jika tiga tahun lalu jumlah kapal yang melayari trayek ini hanya 19, tahun ini sudah 30 kapal. Berlebihnya suplai itu jelas telah menyebabkan uang tambang (freight) yang dari Jakarta ke Medan bisa Rp 12 ribu, untuk perjalanan pulang (return cargo) Medan ke Jakarta jatuh jadi Rp 3.000 per ton. Pada akhirnya memang "harga uang tambang berada di tangan pemilik barang." ujar Sudharno. Kesulitan terasa makin mendesak sesudah bahan bakar harganya naik beberapa kali. Jenis Marine Diesel Fuel (MDF), misalnya, yang pada 1972 masih Rp 8.500, kini sudah Rp 126 ribu per ton, naik (1.382%). Sedang uang tambang pada periode yang sama hanya naik dari Rp 6.000 jadi Rp 12.000 (100%). Kenyataan kurang menyenangkan itu tentu saja menyebabkan KM Sindulang, Silumba, dan Sitiung milik Pelni yang melayari trayek Jakarta-Medan selalu merugi. Pendapatan Sitiung (4.800 ton bobot mati), misalnya, tak pernah mencapai titik impas Rp 30 juta untuk sekali berlayar. Karena, sering menunggu muatan "jadwal pelayaran pun jadi tak tepat," kata Gutomo, direktur Operasi dan Perjalanan Pelni. Yang terasa mengganggu perputaran uang Pelni, menurut Sudharno, adalah keharusan membayar di muka (advance payment) bahan bakar (bunker), dan keharusan menyetorkan sejumlah deposit bagi bea sandar dan labuh di setiap pelabuhan. Permintaannya agar Pelni boleh mengutang untuk bunker tak pernah dikabulkan. Dalam kesulitan keuangan seperti itulah, Pelni secara langsung masih pula harus mensubsidi industri dalam negeri -- melego kapal ke Krakatau Steel dan melakukan docking (dengan harga mahal) ke galangan Priok. "Bagi kepentingan Pelni kenyataan itu jelas tidak menguntungkan," kata Sudharno. Keadaan runyam itu pada akhirnya memaksa Pelni, dengan jaminan pemerintah, menunda pencicilan utangnya Rp 20 milyar ke pelbagai pihak, sekitar Rp 2,4 milyar ke dok Priok. Untuk memenuhi kebutuhan modal kerjanya, perusahaan ini setiap bulan terpaksa menggunakan dana penyusutan (sekitar Rp 170 juta) yang seharusnya disisihkan. Bahkan premi untuk asuransi kapal pun habis dimakannya pula. Dengan cara main sodok seperti itulah setiap bulan direksi Pelni akhirnya bisa mengumpulkan sekitar Rp 600 juta untuk modal kerja dari kebutuhan Rp 5,2 milyar. Terus terang Sudharno menyebut Pelni bisa bertahan hidup karena "banyak memakan modal". Kenapa Pelni yang sudah miring-miring itu tidak dilikuidasi atau dinyatakan bangkrut saja? Secara politis tindakan kurang populer itu tentu akan menurunkan pamor pemerintah, yang sudah memberikan kontribusi sebagai penyertaan modal sebesar Rp 49,7 milyar hingga 1980. Untuk membenahi manajemen, Sudharno berusaha membuat organisasi di perusahaan pelayaran itu utuh, dengan menyusun kembali kewenangan pada pejabat yang tepat. "Kalau dulu hansip dan kepala urusan misalnya, bisa memberikan tiket gratis, sekarang kewenangan itu hanya diputuskan direktur operasi," katanya. Secara terus terang Sudharno mengaku belum punya rencana perusahaan, mengingat Pelni "hanya merupakan bagian dari sebuah sistem di bidang pelayaran." Kendati demikian, pria kelahiran Garut 21 Januari 1929 ini punya keyakinan Pelni bisa jadi baik. Tahun lalu, ketika masih memimpin Bachtera Adhiguna yang bermula dengan modal dua kapal tua, Sudharno bisa memasukkan keuntungan Rp 1 milyar ke perusahaan itu. Bisakah dia melakukan hal serupa buat Pelni? Lelaki yang dikenal hangat ini cuma ketawa dari kantornya yang tua di Jalan Angkasa 18, Jakarta Pusat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus