PERKENALKAN, inilah Kerinci, kapal penumpang kelas satu
Indonesia pertama yang dirancang dan dibuat untuk kenyamanan
para pemakainya. Dengan warna perut cokelat muda, dan putih di
lambung, sosok kapal motor bikinan Jerman Barat itu kelihatan
menonjol di antara deretan kapal barang di pelabuhan peti kemas
Tanjungpriok. Ketika di sana, 20 Agustus pagi, Presiden Soeharto
secara simbolis meresmikan pemakaiannya dengan menekan tombol,
kapal gagah itu memperdengarkan raungan sirenenya.
Jika ratusan tamu pagi itu tampak santai dan kagum memandangi
Kerinci, maka Sudharno Mustafa, direktur utama Pelni, justru
kelihatan agak tegang. Di tengah keadaan manajemen yang belum
begitu rapi, sebagai operator Kerinci, dia bersama stafnya sudah
beberapa hari ini harus berpikir keras untuk menjual 1.596
tempat tidur di kapal itu. Disaat kini daya beli sedang menurun
tajam, tentu bukan pekerjaan mudah menjajakan karcis kelas I Rp
75 ribu, kelas II Rp 57 ribu, kelas III Rp 45 ribu, kelas IV Rp
38 ribu, dan dek (ekonomi) Rp 30.500 untuk, misalnya, pelayaran
Jakarta-Ujungpandang pekan ini.
Untuk mengisi ruang palka Kerinci dengan muatan barang -- di
tengah kelebihan suplai ruang kapal dan suasana resesi --
direksi Pelni tampaknya perlu kerja ekstra keras. Mengingat
kapal itu sandar di setiap pelabuhan hanya lima jam, maka volume
barang yang bisa diangkut sekali pelayaran paling banter 75 ton
saja. Sementara itu pula, setiap hari kapal ukuran jumbo harapan
setiap orang ini membutuhkan biaya operasi sedikitnya Rp 9 juta.
Dalam situasi seperti itulah, kalangan pelayaran swasta menduga
masuknya Kerinci ke jajaran Pelni justru hanya akan semakin
memberatkan posisi keuangan perusahaan itu. Mereka meragukan
perusahaan pelayaran negara itu, yang sedang menata diri, akan
mampu mengoperasikan kapal itu secara efisien dan mendatangkan
keuntungan. Anggapan semacam itu dibenarkan J.E. Habibie,
Sekretaris Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, yang menyebut
kapal itu sebagai proyek belajar. "Pengadaan Kerinci itu bukan
hanya untuk saat ini, tapi untuk beberapa puluh tahun
mendatang," katanya.
Benarkah kapal ukuran Kerinci yang dibutuhkan untuk angkutan di
masa depan? Suatu hasil penelitian yang dilakukan Departemen
Perhubungan kabarnya membenarkan anggapan itu. Guna melayani
angkutan trayek panjang (long haul) pelayaran dalam negeri,
sedikitnya dibutuhkan enam kapal jenis Kerinci dalam tempo
beberapa tahun mendatang. Tapi sebuah sumber menyangsikan bahwa
Pelni punya kemampuan untuk mengoperasikan keenam kapal jenis
itu secara komersial. "Untuk menutup kecilnya penerimaan uang
pasasi, sesungguhnya kapal seperti Tampomas II yang bisa
mendatangkan uang muatan barang banyak, paling menguntungkan
buat dioperasikan perusahaan itu," kata sumber tadi.
Lihat saja persentase perolehan Tampomas II dari uang tambang
muatan dalam setiap kali pelayaran. Pada pelayaran kesembilan
(5-9 Agustus 1980), misalnya, perolehan uang tambang muatan
kapal itu mencapai RP 29,3 juta (30%) dari seluruh total
pendapatan yang Rp 97,5 juta. Sesudah bisa menyisihkan untuk
penyusutan dan cicilan utang (Rp 262,3 juta), dalam 12 kali
pelayaran, kapal sial itu toh bisa mendatangkan laba kotor
hampir Rp 438 juta.
TAPI, untuk melayani kepentingan umum, pertimbangan komersial
semacam itu tentu tak selamanya jadi pegangan pemerintah --
apalagi sampai mengesampingkan segi keamanan. Sekalipun
merupakan proyek rugi, pelayaran perintis yang sejak tahun lalu
dipegang Pelni, toh tetap diselenggarakan melayani angkutan
penumpang dan barang, terutama di Indonesia Timur. Hingga kini,
angkutan murah jenis ini juga masih diselenggarakan KM Bayan
(dioperasikan Pelni Semarang), yang menghubungkan
Semarang-Jepara-Karimun jawa-Kumai-Sampit-Banjarmasin.
Lama pelayaran normal untuk trayek itu hanya 30 jam. Tapi karena
KM Bayan sering mampir untuk cari muatan tambahan, jarak
sependek itu, masya Allah, harus ditempuh tujuh hari tujuh
malam. Karena itulah jadwal tiba dan bertolak si perintis jadi
sering meleset. Sumartini dari Jakarta, misalnya, yang berniat
menjenguk mertuanya yang sakit di Sampit, sudah tiga hari tiga
malam tidur menggelandang di geladak kapal itu dengan selembar
tikar. Penumpang papa ini harus membayar tiket dek resmi Rp
6.105 dengan harga Rp 10 ribu.
Kendati daya angkut cuma 40 orang, KM Bayan dengan bobot mati
200 ton itu toh sering juga dijejali sampai 80 penumpang.
Kelebihan daya angkut yang melanggar ketentuan itu kabarnya
diatur syahbandar. "Kami mau menolak nggak enak, takut retak
hubungan dengan syahbandar," ujar Suhadi Winata, 42 tahun,
nakoda kapal itu. Alhamdulillah sampai pekan lalu kapal ltu
masih tetap sehat.
Si lemah macam Sumartini ini jumlahnya ratusan ribu. Mereka
inilah yang sesungguhnya membutuhkan banyak ruang kapal berharga
murah, sesuai dengan kemampuan kantung. Ratusan orang kelompok
ini setiap hari kelihatan hampir selalu memadati Pelabuhan
Kalimas, Tanjungperak, Surabaya, tempat ratusan Kapal Motor
(KM), dan Perahu Layar Motor (PLM) lego jangkar. Kendati menurut
ketentuan, PLM dan KM barang itu tak boleh mengangkut penumpang
sama sekali, atas dispensasi syahbandar, penumpang toh bisa
naik ke situ. Jika peralatan di sebuah KM lengkap dan cuaca
cukup baik, "izin syahbandar maksimal bisa diberikan untuk 12
penumpang," kata Zainal, Hubungan Masyarakat Badan Pengusahaan
Pelabuhan Tanjungperak.
Tapi Saiff Bakham dari TEMPO justru menemukan kenyataan
sebaliknya ketika naik KM Bimas Jaya ke Banjarmasin. Kapal
barang ukuran sekitar 8 m x 30 m itu, yang sudah sarat dimuati
100 motor, empat mobil, dan pelbagai barang kelontong, ternyata
dijejali sampai 30 penumpang pemegang karcis hanya 19 penumpang
yang membayar Rp 19 ribu per orang. Mereka berserakan di lorong
kamar mesin, di geladak, buritan, dan di sela-sela sekoci
penyelamat. Oknum petugas yang memeriksa kapal itu sebelum
angkat jangkar, pura-pura tak memergoki pelanggaran tadi.
Bahkan, ketika Bimas Jaya melewati gardu syahbandar di mulut
Kalimas menjelang tengah malam, ada lagi titipan delapan
penumpang dari situ.
Cerita pilu pun sering terdengar dari penumpang kapal barang
kelas ini. Sejumlah 12 penumpang Bimas Jaya, misalnya, sebelum
naik kapal itu sesungguhnya adalah penumpang Bintang XXIII.
Mereka dipindahkan ke situ karena Bintang XXIII mati mesin di
perairan Laut Jawa. Selama seminggu kapal barang itu
terombang-ambing di laut. Dua kapal barang serupa yang
berpapasan dengan Bintang XXIII, mungkin karena sudah sarat
muatan, tak mau mengulurkan pertolongan. "Kain jarik dan ember
plastik merah sudah kami lambaikan, toh kedua kapal itu tak mau
menghampiri," cerita seorang ibu. Dalam keadaan seperti itu,
koki kapal tega juga menjual sekepal nasi dengan harga Rp 300
kepada penumpangnya. Untung KM Eska cepat datang memberi
pertolongan.
Tentu saja tidak semua penumpang kapal punya nasib baik sepetti
itu. Belum lama ini ke dasar Laut Jawa, misalnya, telah
terkirimkan tubuh PLM Sumber yang, percayalah, menurut kalangan
nakoda, dimuati 200 penumpang lebih. Sejumlah 95 penumpang bisa
diselamatkan dari neraka itu. Sedang yang tewas, demikian sumber
resmi, tercatat tiga penumpang. Belum jelas benar bagaimana
nasib para penumpang gelap yang biasanya tak membawa identitas
diri itu. Korban tampaknya masih akan ada jika dilihat dari
Kalimas itu -- setiap hari dari sana diberangkatkan 15 PLM ke
pelbagai tujuan dengan muatan barang dan penumpang.
Kebobrokan sistem angkutan penumpang dan barang semacam itu
telah dikritik Bank Dunia. Dalam sebuah laporan tebal kepada
negara-negara donor menjelang sedang IGGI Juni lalu, lembaga
keuangan itu mengungkapkan, "armada pelayaran dan fasilitas
pelabuhan di sini hanya bisa mengakomodasi 15% kenaikan
permintaan dalam beberapa tahun terakhir." Anggapan semacam itu
tentu sulit dibantah.
Melihat gejala di Kalimas dan Semarang, bisa dipastikan
permintaan angkutan trayek pendek mendesak disediakan. Campur
tangan pemerintah, sekalipun harus dengan subsidi cukup besar,
tampaknya diperlukan di sini. Tak jelas benar mengapa pemerintah
belum menyediakan sarana angkutan memadai untuk golongan ini
sekalipun korban sudah jatuh cukup banyak. Suatu survei mengenai
tingkat ekonomi penumpang, yang kelak akan menentukan terhadap
penyediaan jenis kapal dan penetapan tarif tempat tidur, tentu
diperlukan pula.
Namun berdasar pengalaman Pelni selama ini, menurut Direktur
Utama Sudharno Mustafa, para penumpang kapalnya sebagian besar
datang dari kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke
bawah. Bertolak dari kenyataan itulah, fasilitas di KM Tampomas
I, misalya, sebagian besar ditujukan untuk kelompok ini dengan
menyediakan dek yang bisa memuat 1.500 penumpang lebih.
Karcisnya pun murah, Rp 27 ribu untuk Jakarta-Medan. Sedang
fasilitas kelas di kapal itu hanya disediakan bagi 143 penumpang
saja.
Tapi dengan alasan pemerintah kini, "berusaha memberikan
pelayanan lebih manusiawi," situasi pengaturan fasilitas di
Tampomas I itu kini dijungkirbalikkan di Kerinci. Di kapal
berkarpet dan ber-AC itu, dek hanya disediakan untuk 500 orang,
sedangkan kelas untuk 1.096 orang. Tarif kelas I-nya, menurut
Sudharno, ditetapkan sekitar 60-70% dari tarif penerbangan jet
Garuda. Untuk pelayaran Jakarta-Ujungpandang, misalnya, harga
tempat tidur kelas I di Kerinci itu Rp 75 ribu (64,7% dari harga
tiket Garuda yang Rp 115.800). "Jika harga karcis kelas I
Kerinci itu sama dengan Garuda, angkutan kapal itu jadi sulit
bersaing dong," ujar Sudharno.
Menghadapi saingan kuat semacam itu, Pelni tentu saja sulit bisa
memperoleh keuntungan jika sebagian besar ruang kapalnya dijual
untuk angkutan penumpang -- mengingat pendapatan uang pasasi
rata-rata belum mencukupi. Karena itulah, dalam upaya menutup
biaya pengeluaran, setiap kapal dari perusahaan itu mengangkut
pula muatan barang dalam jumlah besar. Pendapatan uang tambang
muatan ini, menurut Husseyn Umar, bekas direktur utama Pelni,
setiap tahun cukup tinggi. Pada 1980, misalnya, pendapatan dari
muatan barang ini mencapai Rp 17,3 milyar (64% dari total
pendapatan Rp 27,2 milyar).
Upaya menjual tempat tidur, melalui suatu jaringan pemasaran
yang baik, hingga kini belum kelihatan dilakukan oleh Pelni.
Informasi mengenai jadwal keberangkatan Tampomas I
(Jakarta-Medan pp), dan di mana orang harus beli tiketnya,
misalnya, sangat sulit diperoleh. James R. Lapian dari TEMPO,
yang berniat membeli tiket kelas I Tampomas I di kantor pusat
penjualan Pelni, Jalan Bungur Besar (Jakarta), bahkan sempat
kecele ketika tahu telah salah antre. Tak ada petunjuk apa pun
di loket untuk dek itu, kecuali mengenai berat barang bawaan
yang diperbolehkan dan keharusan menyerahkan fotokopi surat
jalan atau tanda identitas diri.
Di loket untuk penumpang kelas pun tak ada pemberitahuan
mengenai harga tiket. Karena tiket untuk semua jurusan dijual di
satu tempat, suasana antrean di loket kelas itu tak ubahnya
bagaikan pasar ayam. Dibandingkan dengan loket penjualan tiket
kereta api di Gambir (Jakarta), misalnya, pelayanan di situ
jelas terlampau jelek. Seorang calon penumpang kapal KM Bayan di
Semarang bahkan mengaku "lebih mudah membeli tiket di atas
kapal" dibandingkan jika harus antre di kantor Pelni. "Nanti
awak kapal akan mengatur segalanya," katanya.
Suasana kacau seperti itu, tentu saja tak tampak di pelbagai
biro perjalanan, yang mengageni penjualan tiket kapal Pelni.
Kendati demikian, pembelian tiket di Kostour (Jakarta),
misalnya, hanya diberikan untuk dek (60 tiket Tampomas, dan 15
tiket KM Sapudi yang melayari Jakarta-Ujungpandang) -- dan tak
melayani pemesanan tempat. Baru untuk Kerinci kali inilah, biro
perjalanan itu memperoleh jatah menjual 42 tiket kelas, dan 20
dek.
Tapi untuk memperoleh komisi 2-4% itu saja, Kostour harus
menjalani prosedur cukup melelahkan. Jatah tiket baru bisa
diberikan -- empat hari sebelum kapal bersangkutan angkat
jangkar -- sesudah biro perjalanan ini menyerahkan hasil
penjualan tiket sebelumnya. Beberapa saat sebelum kapal
berlayar, Kostour harus menyerahkan pula daftar penumpang
rangkap 16 kepada pelbagai pihak yang berkepentingan dengan
soal itu. Seperti diharuskan Pelni, perusahaan ini pun wajib
meminta calon penumpangnya menyerahkan fotokopi tanda bukti
diri, sesudah banyak korban Tampomas II kemarin tak diketahui
identitasnya. "Garuda tak menuntut hal semacam itu, mengherankan
Pelni minta segala macam," kata Ludin Sianipar, direktur utama
Kostour.
Betapa pun demikian, pelayanan terhadap calon penumpang kapal
Pelni masih lebih baik jika dibandingkan dengan pengalaman lima
anak muda yang akan naik KM Bimas Jaya dari Kalimas. Herry, 21
tahun, yang gagal ujian masuk UI, terpaksa menyamar sebagai awak
kapal -- badan dilumur oli, tanpa alas kaki, dan hanya pakai
celana pendek kumal. Kendati sudah membayar Rp 19 ribu untuk
pelayaran ke Banjarmasin, Herry masih harus membayar statusnya
sebagai penumpang gelap dengan penyamaran mengelikan itu.
Di kapal sekecil Bimas Jaya itu gempuran gelombang dengan
mudahnya memabukkan para penumpangnya dan mengirimkan mereka ke
alam mimpi selama perjalanan. Tidak demikian dengan penumpang
dek Tampomas I. Sekalipun sudah bayar Rp 27 ribu, dan tambahan
Rp 5.000 untuk memperoleh kapling di situ, kenyamanan mereka toh
sering terganggu oleh para penjaja koran dan makanan (saat akan
bertolak dari Priok), serta inang-inang penjual barang kelontong
(ketika lego jangkar di Tanjungpinang). Di geladak itulah, para
inang-inang yang berhasilmemanjat perut kapal dengan tangga
tali, menjajakan pelbagai barang "made in Singapore".
Tidak seperti penumpang yang memperoleh makanan diantar ke
kamar, para penumpang dek ini harus antre membawa tempat makanan
sendiri untuk mendapat jatah makan mereka. Dan siapa mengira
jika kapal yang sudah lazim digunakan untuk operasi copet itu,
pernah pula digunakan oleh seorang penumpang untuk memperkosa
seorang wanita. Di depan loket pasasi, foto oknum pemerkosa dan
dua pencopet itu dipasang besar-besar.
Apa pun dalihnya, kesemrawutan di Bimas Jaya dan Tampomas I itu
seolah mencerminkan kehidupan dunia pelayaran yang
compang-camping. Selain dililit ketidakbecusan menjual ruang
kapal yang menyebabkan biaya pengapalan jadi mahal, demikian
menurut Bank Dunia, pelbagai perusahaan pelayaran pada umumnya
dikelola "oleh orang-orang yang tidak berpengalaman". Sistem
pengaturan alokasi kapal pada suatu trayek, dan penetapan tarif
jasa muatan barang pun, kata sebuah sumber, ternyata tidak
diawasi oleh aparat perhubungan laut.
Buktinya, demikian sumber itu, trayek Jakarta-Belawan yang
seharusnya hanya boleh ditempati 19 kapal barang hari-hari ini
diperkirakan dijalani oleh 30 kapal. Suplai ruangan kapal di
trayek itu sekarang sudah mencapai 70 ribu ton, padahal muatan
di trayek itu paling banter hanya 35 ribu ton. Akibat kelebihan
suplai ruang itu sudah dirasakan pihak Pelni dan pelbagai
perusahaan pelayaran. Ongkos muatan barang sembilan kebutuhan
pokok yang tarif standarnya Rp 9.500, misalnya, telah anjlok
jadi Rp 3.000 per ton.
Di trayek Jakarta-Medan ini, perusahaan pelayaran itu harus pula
bersaing dengan angkutan darat yang cepat memberikan pelayanan
tanpa prosedur berbelit, sekalipun tarifnya Rp 100 ribu per ton.
Untuk muatan kapal, pemilik barang tak bisa secara langsung
memunggahkannya ke palka. Di sini barang harus melewati beberapa
pintu jasa pelayanan, dan harus dilengkapi dengan dokumen AVI
(Surat Pemberitahuan Muatan), yang harus pula dibubuhi sembilan
tanda tangan pejabat kepelabuhanan. "Untuk mengangkut ikan asin
saja perlu dokumen banyak," ujar Gutomo, Direktur Operasi
Pelni.
Kerunyaman dalam memperoleh muatan barang itu semakin bertambah
manakala puluhan industri kuat juga ikut memiliki kapal sendiri.
Jumlah kapal milik industri ini 113 buah (bobot mati 63 ribu
ton), atau 26% dari seluruh armada Regular Liner Service (RLS)
Nusantara yang berkekuatan total 436 kapal (560 ribu ton). Jika
sebelum itu pengiriman barang selalu diserahkan kepada para
pemilik kapal, kini mereka bisa melakukannya sendiri. Pelni,
yang kini hanya menempatkan 47 kapal (81 ribu ton, atau hanya
14,4% dari kekuatan RLS), sudah merasakan tekanan kapal industri
itu secara langsung. "Kalau soal perizinan tidak diatur, banyak
perusahaan pelayaran murni akan rontok," ujar Sudharno Mustafa.
Dalam situasi serba runyam itu, permintaan akan pengadaan kapal
bekas maupun baru lewat fasilitas sewa beli maupun angsuran ke
PT PANN ternyata masih besar juga. Sudah 73 kapal barang dan
penumpang dimasukkan dengan uluran lembaga keuangan nonbank yang
memetik bunga 10% untuk 17 perusahaan pelayaran di sini. "Resesi
ternyata tidak mempengaruhi permintaan akan pengadaan kapal,"
ujar Azril Nazahar, direktur utama PANN.
Bahkan perusahaan pelayaran semacam PT Pelayaran Persatuan
Nasional, Juli lalu masih berani meluncurkan kapal barangnya
yang berbobot mati 1.000 ton. Sekalipun menguntungkan, Gono
Tirtowidjojo, direktur perusahaan itu, tak suka melengkapi
armadanya yang kini berkekuatan enam kapal (10,3 ribu ton)
dengan kapal sewaan. "Bagi saya cara menyewa bukanlah usaha,
tapi calo," kata pengusaha berusia 60 tahun ini. Kalau tingkat
pengisian ruang kapalnya rata-rata 60%, "biaya pembuatan kapal
baru itu (Rp 800 juta) akan kembali dalam tempo 7-8 tahun,"
katanya.
Berapa sebenarnya kebutuhan kapal barang dan penumpang untuk
pelayaran Nusantara? Tak jelas benar. Kalangan pelayaran banyak
yang beranggapan bahwa suplai ruang kapal di banyak trayek kini
sudah berlebihan, sementara di trayek lain (Indonesia Timur)
masih kurang. "Diperlukan penataan kembali rencana perkapalan
Nusantara," ujar Sudharno. Dengan penataan itu, kata sebuah
sumber, peristiwa mubazirnya kapal penumpang semacam jetfoil,
"insya Allah, tidak akan terulang lagi." Bima Samudera I, kapal
bikinan Boeing Amerika yang diageni Pelni itu, ternyata dianggap
tidak ekonomis jika dioperasikan, karena memakan banyak bahan
bakar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini