SEJAK 1952 ia sudah meramalkan, suatu saat Gunung Colo di
Sulawesi Tengah akan meletus dengan hebat. Waktu itu ia sudah
menyebutkan tanda-tanda, sekaligus bentuk dan akibat letusan
itu. Dan ketika gunung itu meletus sejak akhir Juli lalu semua
ramalan itu tepat adanya.
Si peramal tentu saja bukan dukun. Tapi Prof. George Adriaan de
Neve memang tahu persis semua tingkah sampai ke "lubuk hati"
semua gunung di Indonesia. Karena itu tanpa ragu-ragu ia pun
meramalkan, Gunung Krakatau -- yang letusan dahsyatnya tepat
seratus tahun lalu diperingati dalam mingu ini -- akan meletus
lagi tahun 1990. "Meskipun tidak sedahsyat seabad yang lalu,"
kata de Neve.
Bahkan, laki-laki kelahiran Banjarmasin 67 tahun yang lalu itu,
dianggap para ahli sebagai spesialis Krakatau. Gunung di Selat
Sunda yang diselidikinya sejak 1950 itu memang merupakan bagian
terpenting dari seluruh telaahnya tentang gunung. Tak hanya
berkali-kali mendatangi gunung itu, tapi juga sampai sekarang
tak kurang dari 8.000 buah artikel tentang Krakatau ada dalam
koleksinya. "Sayang saya baru membaca dan memahami sekitar 7.000
artikel, karena kesulitan bahasa," ungkap ahli gunung berapi
yang menguasai tujuh bahasa asing itu.
Jauh sebelum peringatan seabad Krakatau meletus, de Neve, yang
merupakan perintis berdirinya Direktorat Vulkanologi, mulai
menyusun artikel panjang mengenai gunung itu. Semula tulisan itu
akan dibacakan dalam simposium yang diadakan minggu ini. Tapi
karena belum selesai, ia merencanakan akan menerbitkannya tahun
depan.
Putra Edward Adriaan, seorang arsitek yang bekerja di PU
Banjarmasin ini, sejak kecil memang sudah akrab dengan gunung
dan hutan-hutan lebat Kalimantan. Begitu menamatkan MULO di
Banjarmasin, cita-citanya sudah bulat: ingin menjadi ahli
gunung berapi. Karena itu ia memilih sekolah di HBS Kwitang,
Jakarta. Kawan akrabnya di sekolah ini, antara lain Alex
Kawilarang yang kemudian menjadi Panglima Divisi Siliwani dan
berjasa dalam karier de Neve.
Tamat HBS 1934, de Neve ingin melanjutkan sekolah ke Universitas
Leiden, jurusan geologi. "Keadaan belum mengizinkan waktu itu,"
ujar de Neve. Akhirnya ia mendaftar di jurusan arsitektur sipil
di Technische 'Hooghe School (THS) -- sekarang ITB. Belum dua
tahun kuliah di sini, kesempatan ke Leiden datang. "Saya
tinggalkan THS. Ayah telah bersusah-payah mengumpulkan uang
untuk bisa menyekolahkan saya ke Leiden," tuturnya.
Pada tahun pertama kuliah di Universitas Leiden, "tugas saya
membantu mahasiswa senior, sebagai tukang angkat barang-barang
dan batu-batuan hasil penelitian mereka di lapangan," de Neve
mengenangkan. Tahun kedua, sudah ditugasi meneliti gunung, dan
ia memperoleh tugas di Jerman, Italia, Prancis, dan Spanyol.
Tugas penelitian itu semakin berat menginjak tingkat sarjana
muda. "Sebelum terjun ke lapangan harus menguasai bahasa
setempat dalam waktu paling lama tiga bulan. Kalau tak berhasil,
jangan harap bisa praktek lapangan," ujar de Neve. Karena
itulah, de Neve menguasai bahasa Jerman, Prancis, Italia,
Spanyol, dan Ingris, selain bahasa Belanda yang sudah ia kuasai
sejak kecil.
Gelar doktorandus diraihnya 1940. Tetapi ia tak bisa segera
pulang ke Indonesia, "waktu itu perang di mana-mana, saya sulit
kembali." Sarjana geologi ini akhirnya bekerja sebagai asisten
di laboratorium perusahaan minyak Belanda di Delft. Kemudian
pindah ke pertambangan batu bara, di kota yang sama.
De Neve kembali ke Indonesia secara tak direncanakan. Waktu itu,
1944, ia menjadi sukarelawan Perang Dunia II dan dikirim ke
Brisbane (Australia) dengan kapal perang yang penuh amunisi.
Hampir mencapai Australia, masih di tengah laut, "diumumkan
perang telah selesai, dan kapal mendarat di Jakarta," kenang de
Neve. "Akhirnya saya bertekad untuk tidak kembali ke Belanda,
kebetulan akhir 1945 saya bebas dari tugas sebagai sukarelawan."
Dari Jakarta, de Neve memutuskan kembali ke Bandung dan memilih
jadi warga negara Indonesia. Keluarganya waktu itu sudah kembali
ke Belanda. Keputusan memilih warga negara Indonesia hanya
beberapa saat setelah proklamasi kemerdekaan RI. "Saya lahir di
Indonesia, wajar kalau saya memilih warga negara Indonesia,"
kata de Neve yang kedua orangtuanya berkebangsaan Belanda.
Di Bandung, ia bekerja di laboratorium palaeontologi dan museum
geologi Vulkanologisch Onderzoek, cikal-bakal Direktorat
Vulkanologi. Setelah tiga tahun bekerja, ia mengawini Dolly
Coldenhoff, gadis Belanda kelahiran Pontianak yang ia pacari
sejak di THS. Sekarang, keluarga ini telah dikaruniai tiga
putra: Edven, 32 tahun, seorang analis komputer di Belgia
Gilles, 28 tahun, baru saja lulus Akademi Teknik Nasional
Bandung dan Mizan, 27 tahun, mahasiswa tingkat akhir jurusan
seni rupa ITB.
Ketika W.A. Petroeschevsky, seorang berkebangsaan Belanda,
dipensiunkan tahun l950 dari Vulkanologisch Onderzoek,
pemerintah menunjuk de Neve sebagai penggantinya. Dialah warga
negara Indonesia pertama yang memimpin lembaga yang kemudian
namanya diindonesiakan menjadi Dinas Gunung Berapi.
Segera ia dihadapkan pada masalah kekurangan sarana untuk
membuat peta gunung berapi di Indonesia. Untuk membuat foto
udara bukan pekerjaan yang mudah di tahun 1950-an itu, karena
pesawat terbang masih langka. Beruntunglah ada Alex Kawilarang,
teman akrab di HBS Kwitang, yang saat itu Panglima Divisi
Siliwangi. Dengan memberi sepucuk surat dari Alex "saya
memperoleh fasilitas pesawat terbang untuk survei gunung berapi
dari udara," kenangnya.
Penerbangan pertama langsung meneliti Gunung Krakatau, 4 Agustus
1950 berputar-putar sampai setengah jam. Inilah penerbangan yang
bersejarah, "merupakan civil mission pertama bagi angkatan udara
dan juga penelitian udara pertama bagi Dinas Gunung Berapi,"
kata de Neve.
Gunung Krakatau juga memberi kenangan lain. Bersama lima
peneliti de Neve hampir dikubur hidup-hidup di gunung ini. Waktu
itu, 1951, ia lupa bulannya, de Neve tertarik meneliti Anak
Krakatau, yang saat itu tingginya baru 72 meter dari permukaan
laut. Rombongan peneliti mendirikan kemah di kaki gunung di
pantai, lalu mendaki puncak gunung. Beberapa peralatan, seperti
theodolit, dipasang.
Di puncak gunung itu, Markasan, seorang juru ukur senior,
melihat jarum theodolit boussole berputar. Itu berarti,
terjadi daya tarik magnet dari perut bumi dalam kadar bir
sehingga mengacaukan jarum. Markas dan memberitahukan hal itu
kepada de Neve dan mereka menduga pasti ada letusan.
"Demagnetisasi terjadi karena batu yang semula membeku, meleleh
akibat panas dari perut bumi," tutur de Neve.
Rombongan peneliti ini bergegas menuruni gunung yang curam dan
berpasir itu. Sampai di pantai, Markasan membalikkan perahu kayu
yang dipakai tadi. Keenam peneliti bersembunyi di balik Derahu.
Hanya berselang dua menit, letusan terdengar, disusul hujan
kerikil dan abu. "Beruntung bahwa letusan itu tak lama, langit
kembali cerah dan gunung tak batuk lagi," ujar de Neve.
Kenangan itu justru membuat de Neve semakin mencintai Krakatau.
Sarjana geologi keturunan Belanda ini sama sekali tak yakin,
kalau Krakatau hanya meletus tiga kali, sebagaimana ditulis para
ahli sekarang ini yakni, masing-masing tahun 1680, 1883, dan
letusan yang melahirkan Anak Krakatau, 1927.
Ia pernah mengikuti simposium di London tahun 1979 yang
membicarakan meletusnya Gunung Santorim di Yunani tahun 1470
sebelum Masehi. Dalam simposium ini tampil ahli dari Amerika,
Ninkovich yang secara kebetulan menampilkan penelitiannya
tentang pengeboran dasar laut sampai kedalaman sepuluh meter di
Selat Sunda, tahun 1965. Ninkovich menemukan 12 lapisan abu yang
sudah membatu, berasal dari letusan gunung api. Diduga lapisan
terbawah berumur 994.000 tahun. Ahli Amerika ini tak menyebutkan
kemungkinan gunung mana, namun de Neve menduga, "kemungkinan
dari Gunung Krakatau, melihat lokasi pengeboran dasar laut itu."
Paling tidak, menurut de Neve, Krakatau meletus 12 kali. Hanya
tiga letusan terakhir yang bisa ditemukan catatan sejarahnya.
Waktu meneliti Gunung Merapi, Ja-Teng (1953), de Neve sempat
ditemani Bung Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Gunung
Colo yang baru-baru ini meletus, dijelajahi de Neve tahun 1952.
Sebut saja sebuah gunung di Indonesia berapi atau tidak, de Neve
segera ingat secara persis letaknya.
Pada 1956 Bung Hatta memanggilnya untuk mengajar di Universitas
Andalas, Padang. Di sinilah ia diangkat sebagai guru besar dalam
ilmu geologi, 1957. Dua tahun setelah itu, pindah ke Universitas
Sumatera Utara. Rektor Universitas Padjadjaran Bandung ketika
itu, Prof. Iwa Koesoema Soemantri meminta de Neve kembali ke
Bandung (1961), membuka jurusan geologi. "Karena yang meminta
kawan baik saya, maka saya penuhi," katanya. Sampai sekarang
profesor ini menetap di Bandung.
Secara resmi, G.A. de Neve, berhenti mengajar di Unpad tahun
1968. Ia kembali aktif di Dinas Gunung Berapi yang ganti nama
jadi Direktorat Vulkanologi. Pensiun 1981, tetapi "Direktorat
Vulkanologi masih memberi kesempatan kepada saya untuk
melanjutkan pengabdian," ujar lelaki kekar yang suka rendang
dan gudeg itu. Kini setiap pagi, ia berkantor di Direktorat
Vulkanologi. Jarak kantor dengan rumahnya sekitar satu
kilometer, ditempuhnya dengan berjalan kaki. Terlalu ringan
untuk seorang penjelajah gunung. Lagi pula, "saya tak punya
kendaraan pribadi," katanya.
Rumahnya di Jalan Taman Cibeunying Selatan, penuh dengan buku.
Karya ilmiahnya sendiri ada 420 tentang gunung berapi. Semua itu
ia tumpuk di antara 3.000 buku mengenai perminyakan, gunung api
dan sumber daya mineral yang ia kumpulkan sejak di Leiden.
Ahli gunung berapi ini mencintai musik. Ada biola buatan tahun
1792 di rumahnya, masih dirawat dan sesekali digeseknya.
Bunyinya, "seperti naik turunnya kandungan silikat di kawak anak
Krakatau," ujarnya dengan tertawa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini