Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosok

Akrab dengan gunung (maksud) hatinya memeluk gunung

George adrian de neve, 67 th. sejak kecil sudah akrab dengan gunung dan hutan-hutan lebat di kalimantan. dianggap sebagai spesialis gunung krakatau. (tk)

27 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK 1952 ia sudah meramalkan, suatu saat Gunung Colo di Sulawesi Tengah akan meletus dengan hebat. Waktu itu ia sudah menyebutkan tanda-tanda, sekaligus bentuk dan akibat letusan itu. Dan ketika gunung itu meletus sejak akhir Juli lalu semua ramalan itu tepat adanya. Si peramal tentu saja bukan dukun. Tapi Prof. George Adriaan de Neve memang tahu persis semua tingkah sampai ke "lubuk hati" semua gunung di Indonesia. Karena itu tanpa ragu-ragu ia pun meramalkan, Gunung Krakatau -- yang letusan dahsyatnya tepat seratus tahun lalu diperingati dalam mingu ini -- akan meletus lagi tahun 1990. "Meskipun tidak sedahsyat seabad yang lalu," kata de Neve. Bahkan, laki-laki kelahiran Banjarmasin 67 tahun yang lalu itu, dianggap para ahli sebagai spesialis Krakatau. Gunung di Selat Sunda yang diselidikinya sejak 1950 itu memang merupakan bagian terpenting dari seluruh telaahnya tentang gunung. Tak hanya berkali-kali mendatangi gunung itu, tapi juga sampai sekarang tak kurang dari 8.000 buah artikel tentang Krakatau ada dalam koleksinya. "Sayang saya baru membaca dan memahami sekitar 7.000 artikel, karena kesulitan bahasa," ungkap ahli gunung berapi yang menguasai tujuh bahasa asing itu. Jauh sebelum peringatan seabad Krakatau meletus, de Neve, yang merupakan perintis berdirinya Direktorat Vulkanologi, mulai menyusun artikel panjang mengenai gunung itu. Semula tulisan itu akan dibacakan dalam simposium yang diadakan minggu ini. Tapi karena belum selesai, ia merencanakan akan menerbitkannya tahun depan. Putra Edward Adriaan, seorang arsitek yang bekerja di PU Banjarmasin ini, sejak kecil memang sudah akrab dengan gunung dan hutan-hutan lebat Kalimantan. Begitu menamatkan MULO di Banjarmasin, cita-citanya sudah bulat: ingin menjadi ahli gunung berapi. Karena itu ia memilih sekolah di HBS Kwitang, Jakarta. Kawan akrabnya di sekolah ini, antara lain Alex Kawilarang yang kemudian menjadi Panglima Divisi Siliwani dan berjasa dalam karier de Neve. Tamat HBS 1934, de Neve ingin melanjutkan sekolah ke Universitas Leiden, jurusan geologi. "Keadaan belum mengizinkan waktu itu," ujar de Neve. Akhirnya ia mendaftar di jurusan arsitektur sipil di Technische 'Hooghe School (THS) -- sekarang ITB. Belum dua tahun kuliah di sini, kesempatan ke Leiden datang. "Saya tinggalkan THS. Ayah telah bersusah-payah mengumpulkan uang untuk bisa menyekolahkan saya ke Leiden," tuturnya. Pada tahun pertama kuliah di Universitas Leiden, "tugas saya membantu mahasiswa senior, sebagai tukang angkat barang-barang dan batu-batuan hasil penelitian mereka di lapangan," de Neve mengenangkan. Tahun kedua, sudah ditugasi meneliti gunung, dan ia memperoleh tugas di Jerman, Italia, Prancis, dan Spanyol. Tugas penelitian itu semakin berat menginjak tingkat sarjana muda. "Sebelum terjun ke lapangan harus menguasai bahasa setempat dalam waktu paling lama tiga bulan. Kalau tak berhasil, jangan harap bisa praktek lapangan," ujar de Neve. Karena itulah, de Neve menguasai bahasa Jerman, Prancis, Italia, Spanyol, dan Ingris, selain bahasa Belanda yang sudah ia kuasai sejak kecil. Gelar doktorandus diraihnya 1940. Tetapi ia tak bisa segera pulang ke Indonesia, "waktu itu perang di mana-mana, saya sulit kembali." Sarjana geologi ini akhirnya bekerja sebagai asisten di laboratorium perusahaan minyak Belanda di Delft. Kemudian pindah ke pertambangan batu bara, di kota yang sama. De Neve kembali ke Indonesia secara tak direncanakan. Waktu itu, 1944, ia menjadi sukarelawan Perang Dunia II dan dikirim ke Brisbane (Australia) dengan kapal perang yang penuh amunisi. Hampir mencapai Australia, masih di tengah laut, "diumumkan perang telah selesai, dan kapal mendarat di Jakarta," kenang de Neve. "Akhirnya saya bertekad untuk tidak kembali ke Belanda, kebetulan akhir 1945 saya bebas dari tugas sebagai sukarelawan." Dari Jakarta, de Neve memutuskan kembali ke Bandung dan memilih jadi warga negara Indonesia. Keluarganya waktu itu sudah kembali ke Belanda. Keputusan memilih warga negara Indonesia hanya beberapa saat setelah proklamasi kemerdekaan RI. "Saya lahir di Indonesia, wajar kalau saya memilih warga negara Indonesia," kata de Neve yang kedua orangtuanya berkebangsaan Belanda. Di Bandung, ia bekerja di laboratorium palaeontologi dan museum geologi Vulkanologisch Onderzoek, cikal-bakal Direktorat Vulkanologi. Setelah tiga tahun bekerja, ia mengawini Dolly Coldenhoff, gadis Belanda kelahiran Pontianak yang ia pacari sejak di THS. Sekarang, keluarga ini telah dikaruniai tiga putra: Edven, 32 tahun, seorang analis komputer di Belgia Gilles, 28 tahun, baru saja lulus Akademi Teknik Nasional Bandung dan Mizan, 27 tahun, mahasiswa tingkat akhir jurusan seni rupa ITB. Ketika W.A. Petroeschevsky, seorang berkebangsaan Belanda, dipensiunkan tahun l950 dari Vulkanologisch Onderzoek, pemerintah menunjuk de Neve sebagai penggantinya. Dialah warga negara Indonesia pertama yang memimpin lembaga yang kemudian namanya diindonesiakan menjadi Dinas Gunung Berapi. Segera ia dihadapkan pada masalah kekurangan sarana untuk membuat peta gunung berapi di Indonesia. Untuk membuat foto udara bukan pekerjaan yang mudah di tahun 1950-an itu, karena pesawat terbang masih langka. Beruntunglah ada Alex Kawilarang, teman akrab di HBS Kwitang, yang saat itu Panglima Divisi Siliwangi. Dengan memberi sepucuk surat dari Alex "saya memperoleh fasilitas pesawat terbang untuk survei gunung berapi dari udara," kenangnya. Penerbangan pertama langsung meneliti Gunung Krakatau, 4 Agustus 1950 berputar-putar sampai setengah jam. Inilah penerbangan yang bersejarah, "merupakan civil mission pertama bagi angkatan udara dan juga penelitian udara pertama bagi Dinas Gunung Berapi," kata de Neve. Gunung Krakatau juga memberi kenangan lain. Bersama lima peneliti de Neve hampir dikubur hidup-hidup di gunung ini. Waktu itu, 1951, ia lupa bulannya, de Neve tertarik meneliti Anak Krakatau, yang saat itu tingginya baru 72 meter dari permukaan laut. Rombongan peneliti mendirikan kemah di kaki gunung di pantai, lalu mendaki puncak gunung. Beberapa peralatan, seperti theodolit, dipasang. Di puncak gunung itu, Markasan, seorang juru ukur senior, melihat jarum theodolit boussole berputar. Itu berarti, terjadi daya tarik magnet dari perut bumi dalam kadar bir sehingga mengacaukan jarum. Markas dan memberitahukan hal itu kepada de Neve dan mereka menduga pasti ada letusan. "Demagnetisasi terjadi karena batu yang semula membeku, meleleh akibat panas dari perut bumi," tutur de Neve. Rombongan peneliti ini bergegas menuruni gunung yang curam dan berpasir itu. Sampai di pantai, Markasan membalikkan perahu kayu yang dipakai tadi. Keenam peneliti bersembunyi di balik Derahu. Hanya berselang dua menit, letusan terdengar, disusul hujan kerikil dan abu. "Beruntung bahwa letusan itu tak lama, langit kembali cerah dan gunung tak batuk lagi," ujar de Neve. Kenangan itu justru membuat de Neve semakin mencintai Krakatau. Sarjana geologi keturunan Belanda ini sama sekali tak yakin, kalau Krakatau hanya meletus tiga kali, sebagaimana ditulis para ahli sekarang ini yakni, masing-masing tahun 1680, 1883, dan letusan yang melahirkan Anak Krakatau, 1927. Ia pernah mengikuti simposium di London tahun 1979 yang membicarakan meletusnya Gunung Santorim di Yunani tahun 1470 sebelum Masehi. Dalam simposium ini tampil ahli dari Amerika, Ninkovich yang secara kebetulan menampilkan penelitiannya tentang pengeboran dasar laut sampai kedalaman sepuluh meter di Selat Sunda, tahun 1965. Ninkovich menemukan 12 lapisan abu yang sudah membatu, berasal dari letusan gunung api. Diduga lapisan terbawah berumur 994.000 tahun. Ahli Amerika ini tak menyebutkan kemungkinan gunung mana, namun de Neve menduga, "kemungkinan dari Gunung Krakatau, melihat lokasi pengeboran dasar laut itu." Paling tidak, menurut de Neve, Krakatau meletus 12 kali. Hanya tiga letusan terakhir yang bisa ditemukan catatan sejarahnya. Waktu meneliti Gunung Merapi, Ja-Teng (1953), de Neve sempat ditemani Bung Hatta dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Gunung Colo yang baru-baru ini meletus, dijelajahi de Neve tahun 1952. Sebut saja sebuah gunung di Indonesia berapi atau tidak, de Neve segera ingat secara persis letaknya. Pada 1956 Bung Hatta memanggilnya untuk mengajar di Universitas Andalas, Padang. Di sinilah ia diangkat sebagai guru besar dalam ilmu geologi, 1957. Dua tahun setelah itu, pindah ke Universitas Sumatera Utara. Rektor Universitas Padjadjaran Bandung ketika itu, Prof. Iwa Koesoema Soemantri meminta de Neve kembali ke Bandung (1961), membuka jurusan geologi. "Karena yang meminta kawan baik saya, maka saya penuhi," katanya. Sampai sekarang profesor ini menetap di Bandung. Secara resmi, G.A. de Neve, berhenti mengajar di Unpad tahun 1968. Ia kembali aktif di Dinas Gunung Berapi yang ganti nama jadi Direktorat Vulkanologi. Pensiun 1981, tetapi "Direktorat Vulkanologi masih memberi kesempatan kepada saya untuk melanjutkan pengabdian," ujar lelaki kekar yang suka rendang dan gudeg itu. Kini setiap pagi, ia berkantor di Direktorat Vulkanologi. Jarak kantor dengan rumahnya sekitar satu kilometer, ditempuhnya dengan berjalan kaki. Terlalu ringan untuk seorang penjelajah gunung. Lagi pula, "saya tak punya kendaraan pribadi," katanya. Rumahnya di Jalan Taman Cibeunying Selatan, penuh dengan buku. Karya ilmiahnya sendiri ada 420 tentang gunung berapi. Semua itu ia tumpuk di antara 3.000 buku mengenai perminyakan, gunung api dan sumber daya mineral yang ia kumpulkan sejak di Leiden. Ahli gunung berapi ini mencintai musik. Ada biola buatan tahun 1792 di rumahnya, masih dirawat dan sesekali digeseknya. Bunyinya, "seperti naik turunnya kandungan silikat di kawak anak Krakatau," ujarnya dengan tertawa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus