Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Muhammad Olga tak menyangka anak pertamanya lahir ketika pandemi masih menyelimuti Tanah Air. Anak laki-laki dari pria asal Tangerang itu lahir sehari sebelum peringatan setahun pandemi Corona masuk ke Indonesia. Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lahirnya anak pertama itu membuat keluarga Olga mesti semakin mengencangkan ikat pinggang. Musababnya, selama pagebluk ini, pendapatan keluarganya pun merosot hingga sekitar 50 persen. "Harus semakin ngerem yang enggak penting," ujar pria 29 tahun itu kepada Tempo, Rabu, 3 Maret 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di masa pandemi ini, ia mengatakan istrinya yang berprofesi sebagai guru itu mesti mengalami pemangkasan gaji hingga hampir separuhnya. Pesanan dokumentasi acara pernikahan yang biasa menjadi sumber pemasukan tambahannya pun sepi lantaran adanya pembatasan kegiatan masyarakat.
Di sisi lain, pengeluaran pria yang sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta ini justru bertambah. Sebelum anaknya lahir, Olga saban bulan harus keluar duit untuk pemeriksaan kandungan. Menjelang kelahiran anaknya, pemeriksaan itu semakin intens. Belum lagi kebutuhan vitamin dan kalsium untuk anak dan istrinya.
Ia pun sempat harus merogoh kocek lebih dalam tatkala istrinya dinyatakan positif Covid-19 dan harus dirawat. Dalam situasi tersebut, ia mengatakan salah satu bantalan keuangan keluarganya adalah bantuan subsidi upah yang dikirim pemerintah selama empat bulan pada akhir 2020.
Selama setahun Covid-19 merebak di Indonesia, memang tak hanya kesehatan tubuh masyarakat yang terancam, ketahanan ekonomi dari banyak penduduk terimbas. Badan Pusat Statistik mencatat Pada Agustus 2020 sebanyak 29,12 juta penduduk usia kerja terdampak Covid-19.
Rinciannya, 2,56 juta penduduk menjadi pengangguran; 0,76 juta penduduk menjadi bukan angkatan kerja; 1,77 juta penduduk sementara tidak bekerja; dan 24,03 juta penduduk bekerja dengan pengurangan jam kerja.
Pada periode yang sama, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tercatat sebesar 7,07 persen, naik 1,84 persen dibanding setahun sebelumnya. Sementara persentase pekerja setengah menganggur tercatat sebesar 10,19 persen, naik 3,77 persen dari setahun sebelumnya.
Alhasil, jumlah penduduk miskin Indonesia pun naik. pada September 2020 adalah sebanyak 27,55 juta orang. Jumlah tersebut meningkat 1,13 juta orang dibanding Maret 2020 dan melonjak 2,76 juta orang dibanding September 2019.
BPS menyebut sejumlah faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan selama periode Maret 2020 hingga September 2020 antara lain adalah pandemi berkelanjutan yang berdampak kepada perubahan perilaku dan aktivitas ekonomi penduduk.
Sejak awal pandemi hingga saat ini, pemerintah memang memberlakukan kebijakan pembatasan sosial, meskipun namanya berubah-ubah, mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB, PSBB Transisi, Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM, hingga PPKM Mikro.
Meskipun namanya berbeda-beda, pada pokoknya kebijakan pemerintah itu membatasi kegiatan perkantoran, membatasi jumlah penumpang transportasi umum, hingga pengunjung restoran dan pertokoan, hingga mengganti kegiatan belajar tatap muka dengan pendidikan jarak jauh. Pemerintah juga membatasi kunjungan bagi warga negara asing ke Indonesia.
Terbatasnya mobilitas masyarakat menyebabkan hampir semua sektor usaha terpukul. Sektor transportasi dan pergudangan tercatat mengalami kontraksi Produk Domestik Bruto terdalam di 2020, yaitu sebesar 15,04 persen dibanding tahun sebelumnya. Kontraksi juga dialami oleh industri pengolahan, perdagangan, reparasi kendaraan bermotor, konstruksi, hingga pertambangan dan penggalian.
Tercatat hanya tiga sektor yang memiliki pertumbuhan PDB positif di 2020, antara lain pertanian, kehutanan, dan perikanan; informasi dan komunikasi; serta jasa kesehatan dan kegiatan sosial.
Lesunya perekonomian juga tampak pada hampir semua komponen PDB pengeluaran. Kontraksi terdalam terjadi pada Komponen Ekspor Barang dan Jasa sebesar 7,70 persen, diikuti Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) 4,95 persen, dan Pengeluaran Konsumsi Lembaga Nonprofit yang Melayani Rumah Tangga (PK-LNPRT) 4,29 persen.
Komponen Pengeluaran Konsumsi Rumah Tangga (PK-RT) yang biasanya menjadi penyumbang utama perekonomian pun malah terkontraksi 2,63 persen pada tahun lalu. Akibatnya, ekonomi Indonesia pun tumbuh minus 2,07 persen.
satu-satunya komponen PDB pengeluaran yang tumbuh positif pada tahun lalu adalah konsumsi pemerintah yang tumbuh 1,94 persen dibanding 2019. Belanja pemerintah memang, diakui sejumlah pihak, menjadi satu-satunya tumpuan perekonomian pada tahun lalu.
Secara khusus, pemerintah mengalokasikan Rp 695,2 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional. Namun, ternyata hanya Rp 579,78 triliun atau 83,4 persen dari pagu anggaran tersebut yang bisa diserap hingga akhir 2020.
Dana PEN tersebut paling banyak digelontorkan untuk bidang perlindungan sosial yaitu sebanyak Rp 220,39 triliun. Beberapa program yang dijalankan antara lain program keluarga harapan, program sembako, bansos tunai, Kartu Prakerja, BLT dana desa, bantuan presiden produktif untuk pengusaha mikro, bantuan subsidi gaji, hingga diskon listrik.
Di samping perlindungan sosial, dana tersebut juga dibelanjakan untuk bidang kesehatan Rp 63,51 triliun, bidang sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah realisasinya Rp 66,59 triliun, bidang dukungan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Rp 112,44 triliun, bidang pembiayaan korporasi Rp 60,73 triliun, serta untuk insentif usaha Rp 56,12 triliun.
Meskipun tak menghindarkan Indonesia masuk ke lembah resesi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan program PEN mencegah kondisi masyarakat semakin memburuk.
“Apabila pemerintah tidak melakukan bansos (bantuan sosial), menurut estimasi Bank Dunia kenaikan kemiskinan mencapai 11,8 persen,” kata Sri Mulyani, dilansir dari Bisnis, Selasa, 23 Februari 2021.
Menurut dia, bantuan sosial membantu sampai 30 persen warga termiskin. Apabila tidak diperhatikan, konsumsi rumah tangga bisa turun mencapai 7 persen. Walau demikian, ia mengatakan turunnya konsumsi masyarakat tidak melulu karena daya belinya merosot.
Berdasarkan data pemerintah, masyarakat kelas menengah atas dengan jumlah tabungan di atas Rp 5 miliar cenderung menabung lebih banyak dibanding kelas menengah bawah selama pandemi ini. Sri Mulyani mengatakan mereka menahan belanja bukan karena pendapatan yang menurun, tapi lantaran tidak bisa melakukan aktivitas.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah lalu memutar otak untuk bisa memulihkan perekonomian di 2021. Tahun ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi berada di kisaran 4,5 persen-5,3 persen.
Tahun ini, pemerintah menyiapkan anggaran PEN sebesar Rp 699,43 triliun. Angka tersebut naik sebesar 21 persen dari realisasi sementara 2020 yang sebesar Rp 579,78 triliun.
Namun demikian, pemerintah menurunkan anggaran perlindungan sosial dari Rp 220,39 triliun di tahun lalu menjadi Rp 157,41 triliun di 2021. Sri Mulyani mengatakan pada tahun ini pemerintah akan berfokus kepada masyarakat kelompok 40 persen terbawah. Hal ini menyebabkan adanya program yang tidak dilanjutkan, antara lain bantuan subsidi upah untuk pegawai bergaji di bawah Rp 5 juta.
Di sisi lain, pemerintah menaikkan alokasi untuk anggaran kesehatan menjadi Rp 176,3 triliun dari tahun lalu Rp 63,51 triliun. Anggaran tersebut ditambah salah satunya untuk mendukung program vaksinasi sepanjang tahun ini. Ia menilai program ini penting untuk menjaga kesehatan publik, serta untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat agar berkegiatan lagi.
Melalui anggaran PEN tersebut, pemerintah juga meningkatkan dukungan untuk dunia usaha. "Untuk jump-start aktivitas ekonomi dan menjaga keberlangsungan sektor strategis," ujar dia. Dukungan ini juga diarahkan untuk menstimulasi permintaan masyarakat yang tertahan di masa pandemi, khususnya pada kelas menengah.
Anggaran yang disiapkan pemerintah antara lain Rp 122,44 triliun untuk program prioritas, Rp 184,83 triliun untuk dukungan UMKM dan korporasi, serta Rp 58,46 triliun untuk insentif usaha. Belakangan, pemerintah juga meluncurkan program PPnBM ditanggung pemerintah untuk kendaraan bermotor dan PPN ditanggung pemerintah untuk perumahan, yang masuk ke dalam insentif usaha.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance alias Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan anggaran yang disiapkan untuk pemulihan ekonomi nasional sudah cukup tinggi. Namun implementasi dan efektivitas menjadi persoalan berikutnya.
"Efektivitas jadi masalah. Pengaruhnya gimana, selama masih ketidakpastian, Covid-19 nya tinggi, maka efektivitas semakin rendah. Kalau tidak ada penanganan dari PEN, misal vaksin tidak memadai, maka efektivitas untuk ekonomi akan semakin rendah," ujar Tauhid dalam webinar, Ahad, 7 Februari 2021.
Tauhid mengatakan anggaran besar belum tentu mendorong konsumsi lebih baik selama situasi pandemi masih seperti saat ini. Hal ini tercitra dari data Bank Indonesia yang menunjukkan bahwa semakin tinggi pemasukan rumah tangga, semakin tinggi simpanan di perbankan.
Menurut Tauhid, ke depannya, sasaran dan mekanisme Pemulihan Ekonomi Nasional harus memiliki efek pengganda paling besar ke konsumsi. Besaran dan sasaran dari program PEN juga harus menjadi pertimbangan. Dengan demikian, PEN bisa efektif menggerakkan ekonomi kembali. "Lepas dari itu kita harus tangani Covid-19 lebih dulu."
Ihwal penanganan pandemi, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim trennya semakin baik. Hal tersebut dilihat dari tren angka kesembuhan yang meningkat hingga 85,88 persen dan tren angka kematian yang terus menurun hingga 2,71 persen.
Airlangga pun menyebut perekonomian Indonesia yang didominasi oleh konsumsi domestik menunjukkan tren yang meningkat. Aktivitas manufaktur masih berada pada level ekspansif 50,9 pada Februari 2021, sementara indeks kepercayaan konsumen juga terus membaik.
Selain itu, permintaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) terus meningkat. “Ini mencerminkan pulihnya tingkat kepercayaan publik. Di saat yang sama, realisasi investasi juga meningkat, mencerminkan persepsi positif investor,” imbuh Airlangga.
Indikator lainnya juga menunjukkan perbaikan, kata dia, seperti penguatan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, kenaikan harga komoditas, dan surplus neraca perdagangan yang mencapai US$ 21,74 miliar pada tahun 2020 atau tertinggi sejak tahun 2011.
Berdasarkan perkembangan tersebut, menurut Airlangga, pemulihan ekonomi Indonesia khususnya selama setahun pandemi Covid-19 ini sudah berada pada jalur yang tepat.