Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Ancaman 1 X 24 Jam

Presiden dan sejumlah menteri serempak menolak kenaikan harga LPG nonsubsidi. Pertamina mensubsidi kelas menengah-atas dan industri Rp 5,3 triliun.

13 Januari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Belum genap sepekan mengawali tahun baru, sudah ada dua kerepotan menghampiri Bisma. Pengelola agen gas CV Paramitha Utama di Yogyakarta ini harus menanggung rugi akibat kebijakan harga elpiji (LPG = liquefied petroleum gas) yang dibuat PT Pertamina. Pada awal tahun, perusahaan 100 persen milik negara ini menaikkan harga elpiji Rp 3.959 per kilogram untuk tabung ukuran 12 kilogram.

Namun kebijakan harga baru itu cuma bertahan lima hari. Pertamina mengubah besaran kenaikan menjadi hanya Rp 1.000 per kilogram pada 6 Januari. Masalahnya, Bisma telanjur memesan 400 tabung. Separuhnya sudah dikirim ke gudangnya. Dengan harga baru, setiap tabung mesti ditebus Rp 120 ribu-sebelumnya hanya Rp 70 ribu. Karena itu, ia pasti akan tekor lantaran, setelah revisi, harga satu tabung gas ukuran 12 kilogram di Yogyakarta hanya dijual di kisaran Rp 91 ribu.

Sejumlah agen di Malang mengalami nasib serupa. "Kerugiannya lumayan besar," kata Ketua DPC Himpunan Swasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Malang Rizal Pahlevi, Rabu pekan lalu. "Rata-rata tiap agen rugi Rp 10 juta."

Kerugian para agen dan pengecer itu tak terhindarkan karena sejak mula Pertamina menolak memberi kompensasi. "Tidak ada pengembalian uang untuk agen. Ini adalah risiko bisnis," kata Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya, Senin pekan lalu. Banyak yang mengeluh dan protes, tapi tak sedikit pula yang pasrah. "Itu sudah risiko kami," ujar Prayitno, Direktur PT Gading Mas Indah, di Malang. Ia setiap hari menjual 450 tabung elpiji 12 kilogram.

Tanda-tanda munculnya risiko itu mulai dibaca para petinggi Pertamina pada Jumat dua pekan lalu, ketika tiba-tiba datang undangan rapat pada hari berikutnya di kantor Wakil Presiden Boediono. Mereka maklum, kenaikan harga elpiji yang baru diberlakukan tiga hari sebelumnya mendapat respons negatif dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Penolakan juga gencar disampaikan oleh Edhie Baskoro Yudhoyono bersama pemimpin Partai Demokrat lainnya, disertai tudingan bahwa perusahaan milik negara itu hanya memikirkan mengejar untung tanpa mempedulikan nasib banyak orang di kelas bawah.

Keriuhan politik pun merebak karena berbagai komentar dari partai lain tak kalah ramai. Sebagian justru menyerang balik dan mencurigai kekompakan kubu Demokrat tak lebih dari sekadar manuver untuk mengambil simpati publik. "Tidak mungkin pemerintah tak tahu rencana kenaikan itu. Ini pencitraan saja," kata Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sohibul Iman.

Para petinggi Pertamina dan beberapa menteri juga mengaku masygul terhadap reaksi Presiden dan Partai Demokrat. Tapi, sebagai perusahaan yang sepenuhnya dikuasai negara, tak banyak pilihan bagi direksi Pertamina. Dalam rapat tiga jam di kantor Wakil Presiden yang dimulai pukul 14.00 pada Sabtu itu, mereka diminta kembali menjelaskan duduk soal dan alasan kenaikan harga sampai 68 persen.

Di situlah Pertamina mencoba berlindung di balik Badan Pemeriksa Keuangan. Lembaga ini mengaudit kinerja dan implementasi kebijakan energi nasional, terutama pendistribusian elpiji pada 2011 dan 2012. Laporan pemeriksaan itu diterima pada 5 Februari tahun lalu, berisi empat lembar kesimpulan dan 16 poin rekomendasi. Berbeda dengan kemasan 3 kilogram, elpiji 12 kilogram dan 50 kilogram adalah produk nonsubsidi. Dua tabung elpiji ini banyak dipakai kelas menengah ke atas dan industri.

Itu sebabnya, dalam aturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2009, penetapan harganya menjadi hak Pertamina. Perusahaan hanya diwajibkan melaporkan setiap kenaikan itu kepada pemerintah melalui Menteri Energi. Tapi, sejak Oktober 2009 sampai akhir tahun lalu, harga elpiji 12 kilogram belum pernah naik. Adapun untuk ukuran 50 kilogram terakhir naik pada 7 Juni 2012 sebesar Rp 2.000 per kilogram.

Padahal, dari tahun ke tahun, harga bahan baku gas cair yang sebagian besar masih harus diimpor ini terus merangkak naik. Dengan harga beli menggunakan patokan CP Aramco, menurut audit BPK, harga jual eceran Pertamina untuk elpiji 12 kilogram pada 2011 hanya Rp 4.947, sementara biaya penyediaan dan distribusinya sudah ada di angka Rp 8.761 setiap kilogram. Artinya, Pertamina tekor Rp 3.814 per kilogram.

Penjualan pada 2012 lebih parah karena kerugiannya mencapai Rp 4.910 tiap kilogram. Harga jual kemasan 50 kilogram masih lebih baik, meskipun tetap merugi. Dalam hitungan BPK, selama periode 2011-Oktober 2012, total kerugian bisnis Pertamina dalam penyaluran elpiji 12 kilogram dan 50 kilogram sudah mencapai Rp 7,73 triliun.

Mengingat konsumen elpiji nonsubsidi bukan rakyat kecil, BPK mengatakan, "Kebijakan penetapan harga yang terlalu rendah mengindikasikan secara tidak langsung adanya 'subsidi' untuk sektor usaha restoran dan industri dari Pertamina." Kalau situasi ini dibiarkan, kantong Pertamina bakal jebol. Risiko lain yang lebih nyata adalah terhambatnya pengembangan usaha pengadaan gas ini di hulu dan menurunnya kualitas perawatan infrastruktur dan tabung gas yang beredar di masyarakat. "Ini yang bisa berbahaya," kata salah satu pejabat BPK.

Pertamina bukannya tak pernah berusaha menaikkan harga. Badan Pemeriksa mencatat, selama Juni 2011-Agustus 2012 saja, sudah delapan kali perusahaan itu berkirim surat ke Menteri Koordinator Perekonomian, Menteri BUMN, Menteri ESDM, dan Menteri Keuangan untuk mengusulkan kenaikan. Tapi selama itu tak pernah ada respons resmi, apalagi persetujuan.

Setelah hasil pemeriksaan BPK diterima, Pertamina merasa kembali mendapat dukungan. Pada poin kelima dari 16 butir rekomendasinya, lembaga auditor negara itu terang menyatakan agar Pertamina menaikkan harga elpiji tabung 12 kilogram sesuai dengan harga perolehan untuk mengurangi kerugian. Namun kenaikan itu harus tetap mempertimbangkan harga patokan elpiji, daya beli konsumen dalam negeri, kesinambungan penyediaan dan pendistribusian, serta harus dilaporkan ke Menteri ESDM.

Berdasarkan rekomendasi BPK, dua pekan kemudian, Pertamina pun mengirim surat ke Menteri Energi, mengusulkan kenaikan harga elpiji 12 kilogram dalam dua tahap, yakni Rp 2.500 per kilogram pada Maret 2013 dan disusul Rp 1.500 pada September 2013. Mereka juga sudah menggelar rapat dengan semua menteri terkait di kantor Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada 30 Juli.

Namun berulang kali Menteri Energi Jero Wacik tegas menolak usulan itu. Situasi berubah dalam rapat umum pemegang saham pada 23 Desember lalu. "Kali ini tidak ada yang menolak kenaikan ketika RUPS membahas rencana kerja," kata sumber di Pertamina. "Jadi, kami bingung juga sewaktu semua pejabat itu tiba-tiba bilang tak tahu dan tak ada koordinasi."

Soal koordinasi inilah yang disoroti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Melalui akun Twitter @SBYudhoyono, Presiden mengatakan, "Kebijakan yang membawa dampak luas ini tidak dikoordinasi dengan baik dan persiapannya juga kurang. Ini seharusnya tidak boleh terjadi." Ahad, 5 Januari dinihari itu, Presiden tengah berada di Jawa Timur menghadiri peringatan empat tahun meninggalnya mantan presiden Abdurrahman Wahid dan acara ulang tahun Gerakan Pemuda Ansor ke-80.

Masih lewat Twitter, Presiden mengatakan, "Saya tahu BPK menyatakan ada kerugian Pertamina sekitar Rp 7 triliun, tetapi solusinya tidak otomatis menaikkan harga 60 persen. Kenaikan harga yang terlalu pesat akan meningkatkan harga barang dan jasa. Pada akhirnya rakyat kurang mampulah yang akan terbebani."

Tak hanya mengirim pesan lewat Twitter, Presiden langsung menggelar rapat bersama Wakil Presiden dan sejumlah menteri di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Ahad siang. Di sana para pejabat sama-sama cuci tangan dan mengatakan kurang mendapat informasi dari Pertamina. Menteri ESDM Jero Wacik malah mengaku baru mendapat laporan kenaikan harga itu. "Saya baru terima suratnya tadi. Karena itu keputusan korporat, aturannya seperti itu. Semestinya Pertamina kan ada pemerintahnya juga," kata Jero mengeluh.

Hatta Rajasa pun mengatakan, meski ada surat Pertamina tertanggal 30 Desember 2013 tentang hal ini, ia baru mendengar informasi dan rencana kenaikan harga itu sehari setelahnya melalui saluran telepon. "Kenaikan ini lewat RUPS sebagai aksi korporasi. Tapi rencana itu pernah ada Oktober-November tahun lalu dan dianggap tidak tepat waktunya."

Sebagai Menteri Negara BUMN yang mewakili pemerintah dalam RUPS Pertamina, Dahlan Iskan mengatakan siap disalahkan atas kejadian yang dianggap kurang koordinasi tersebut. "Pokoknya semua saya yang salah," kata Dahlan sambil mengangkat dua tangannya seusai rapat terbatas dengan Presiden di Halim. Dalam rapat itu pula Presiden memerintahkan agar kenaikan harga tersebut direvisi dalam 1 x 24 jam setelah para menterinya berkonsultasi dengan BPK.

Hari berikutnya, rapat koordinasi digelar di kantor Hadi Poernomo, dihadiri Hatta Rajasa dan beberapa menteri lain serta Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan. Ketua BPK kembali mengungkapkan hasil pemeriksaan dan rekomendasi lembaganya sambil menegaskan bahwa besaran kenaikan harga itu sepenuhnya menjadi hak Pertamina.

Kompromi pun terjadi. Pertamina akhirnya setuju mengoreksi besaran kenaikan harga itu menjadi hanya Rp 1.000 per kilogram. Dengan begitu, perusahaan ini masih akan merugi US$ 0,51 miliar dari bisnis elpiji 12 kilogram, atau setara dengan Rp 5,3 triliun. "Itu kerugian kami kalau menggunakan hitungan kurs APBN yang Rp 10.500 per US$. Kalau kurs Rp 12.500, ruginya di akhir tahun diproyeksikan sekitar Rp 6,4 triliun," kata Karen.

Pada Senin itu juga Karen menyodorkan rencana rugi-laba dan angka target baru Pertamina yang sudah disesuaikan agar disetujui pemerintah dalam RUPS sirkuler. Ia tak mau disalahkan lagi di kemudian hari.

Y. Tomi Aryanto, Ananda Putri, Pribadi Wicaksono (Yogyakarta), Eko Widianto (Malang)


Harga elpiji tabung 12 kilogram 2014 (per kilogram)

  • Harga pokokRp 10.800
  • Harga jual
  • Sebelum naikRp 5.850
  • Setelah naikRp 6.850
  • KerugianRp 3.950
  • Proyeksi total kerugian PT Pertamina
  • U$$ 0,51 miliar atau Rp 5,3 triliun (kurs Rp 10.300)

    Harga elpiji di beberapa negara (per kilogram)

  • FilipinaRp 20.765
  • IndiaRp 17.055
  • ThailandRp 7.893
  • MalaysiaRp 7.032
  • IndonesiaRp 6.850

    Rencana dan Proyeksi Kebutuhan dan Pemenuhan Pasokan LPG

    Demand201020112012201320142015
    PSO 3.001.5283.522.0003.606.1053.732.3193.862.9513.998.155
    Non-PSO1.261.2801.162.7191.095.1431.037.488987.049937.696
    TOTAL4.262.8084.684.7194.701.2484.769.8074.850.0004.935.851
    Supply
    Total domestik2.480.0002.906.4132.855.1772.055.1772.055.1772.055.177
    Total impor1.782.8081.778.3061.846.0712.714.6302.794.8232.880.674
    Grand total4.262.8084.684.7194.701.2484.769.8074.850.0004.935.851
    % Impor42%38%39%57%58%58%
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus