Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Pemilu: Widjojo Dan Inflasi

Harga kebutuhan hidup dapat dikendalikan. Karenanya inflasi selama 1976/1977 hanya 12%. Tapi perkembangan deposito cenderung merosot yang berpengaruh pada dana kredit.

7 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA alasan bagi Prof. Widjojo Nitisastro untuk menarik napas lega sesudah pemilu ini. Angka-angka Indeks. Biaya Hidup keluaran BPS sejak beberapa bulan lalu tak perlu membuat gundah hati para pengatur ekonomi itu. Selama Maret yang lalu, IBH menunjukkan bahwa inflasi selama tahun fiskal 1976/1977 hanya 12%: satu tingkat terendah yang bisa dicapai selama ini. Itupun terutama berkat harga bahan makanan pada periode yang sama ber hasil ditekan hingga hanya naik dengan F 11%. Sekalipun harga beberapa bahan kebutuhan pdkok seperti gula dan minyak goreng agak melonjak akhir-akhir ini, tapi harga beras bisa dikendalikan dengan baik. Harga beras yang pada awal 1976 masih berkisar sekitar Rp 155 sekilo, kini bisa dibeli dengan harga sekitar Rp 135 sekilo. Impor besarbesaran yang dilakukan Bulog, agaknya berhasil mengimbangi kekurangan produksi beras dalam negeri yang diakibatkan paceklik panjang tahun 1976. Di samping dikendalikannya harga bahan makanan, maka inflasi yang rendah selama enam bulan terakhir ini juga dimungkinkan berkat adanya kredit perbankan yang agak ketat. Tingkat pertambahan kredit bank selama 1976 menunjukkan tendensi yang terus menerus merosot. Dari pertambahan sebesar 9% selama kwartal pertama 1976 kenaikan pada kwartal terakhir merosot menjadi 5%. Selama kwartal pertama tahun ini, kredit bank hanya naik dengan 1%. Dari segi penawaran, memang pertambahan dana yang tersedia di bank kurang begitu menggembirakan selama 1976. Dana kredit yang tersedia di bank-bank di Jakarta selama waktu itu naik dengan 35. Padahal setahun sebelumnya pertambahan dana tersebut masih sekitar 54%. Selama kwartal pertama 1976, pertambahan dana masih bertambah dengan 24. Tapi pada kwartal terakhir hanya naik dengan 1%. Drastis Karena separoh dana kredi ini berupa deposito berjangka, maka perkembangan dana ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan deposito berjangka. Dan justru perkembangan deposito berjangka ini menunjukkan tendensi yang terus merosot. Tiga bulan terakhir ini jumlah deposito berjangka hanya naik dengan 2%, padahal pada kwartal-kwartal sebelumnya deposito berjangka selalu meningkat di atas 10%. Merosotnya kenaikan deposito secara drastis ini disebabkan karena pemerintah menurunkan bunga deposito pada awal tahun ini. Bunga untuk deposito satu tahun diturunkan dari 15, setahun menjadi 12% setahun, dan untuk deposito dua tahun bunganya turun dari 24% menjadi 18%. Selama ini deposito termasuk Tabanas merupakan simpanan yang aman bagi pemilik uang. Begitu besar daya tariknya hingga banyak yang mengkhawatirkan bahwa bursa Saham yang direncanakan pemerintah itu tak akan berkembang. Masyarakat akan lebih suka menyimpan uangnya dalam bentuk deposito dari pada menggunakannya untuk membeli saham di Pasar Modal. Karena itu untuk mengembangkan Pasar Modal, daya tarik deposito mesti dikurangi. Ini berarti bahwa dalam masa mendatang dapat diharapkan pemerintah akan menurunkan suku bunga deposito secara bertahap. Resesi Mini Apakah penurunan bunga deposito disertai dengan penurunan bunga kredit? Ternyata tidak. Sebab tiga bulan sejak bunga deposito diturunkan, pemerintah nampaknya belum berminat untuk menurunkan suku bunga kredit. Nampaknya ini satu tindakan pemerintah yang disengaja untuk menstabilkan ekonomi menjelang Pemilihan Umum dengan menimbulkan satu mini resesi dengan sedikit korban di sektor bisnis. Yang menjadi pertanyaan adalah: Apakah suku bunga kredit pada tingkat sekarang ini akan bisa dipertahankan? Dengan bunga yang berkisar antara 18% dan 24% setahun, maka bunga kredit rupiah irasa terlalu tinggi oleh kebanyakan sektor industri. Hal ini makin terasa apabila bunga kredit dalam valuta asing berkisar antara 6 dan 7% setahun dus sepertiga bunga kredit rupiah. Bagi industri, pinjam kredit dalam valuta asing jauh lebih murah dari pada cari kredit rupiah. Kalau keadaan seperti ini berlangsung terus, maka kredit valuta asing yang dipinjarm perusahaanperusahaan di sini akan bertambah dan akan menyaingi dengan keras tawaran kredit rupiah yang ditawarkan bank-bank nasional. Untuk bersaing, maka ak ada alternatif bagi bank-bank nasional kecuali harus ikut juga menurunkan bunga kredit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus