SETELAH menawarkan bantuan lebih dari US $ 100 juta untuk
pembangunan PLTA Saguling (Ja-Bar) dan PLTA Mrica (Ja-Teng), ada
lagi bantuan dari Uni Soviet: Proyek pabrik alumina di pulau
Bintan, Riau yang diharapkan menjadi penunjang Asahan. Biaya
investasinya diperkirakan lebih AS $ 300 juta. Kapasitas
produksinya 600-700 ribu ton alumina setahun. Jadi lebih dari
cukup untuk memberi makan pabrik aluminium Kuala Tanjung yang
mencernakan 400-500 ribu ton alumina untuk menghasilkan 200-225
ribu ton aluminium setahun. Sisanya bisa dipasarkan ke Uni
Soviet. Dengan bantuan itu, pabrik pemurnian bauksit pulau
Bintan diharapkan mulai berproduksi tahun 1981-1982. Berarti
produksinya segera dapat ditampung oleh pabrik peleburan alumina
Kuala Tanjung, Asahan. Begitu keputusan Dewan Stabilisasi
Ekonomi (DSE) bulan lalu.
Di atas kertas, satu masalah bagi Proyek Asahan sudah
terpecahkan. Yakni bahan baku yang bernama alumina itu, hasil
pemurnian bijih bauksit. Memang betul, pabrik peleburan alumina
Jepang (Japan Aluminium Smelters) sudah lama menjadi langganan
bauksit pulau Bintan yang dikelola oleh PT Aneka Tambang. Malah
boleh dikata, bangkit kembalinya industri peleburan aluminium
Jepang sesudah PD-II antara lain di dongkrak oleh bauksit Bintan
itu. Di tahun 1968 trio Jepang dalam J.A.S itu: Showa
Denko-Sumitomo-Nippon Light Metal pernah melakukan survey
mencari bauksit kadar rendah untuk mendirikan pabrik alumina di
Bintan. Makanya, seiring dengan perundingan proyek Asahan, fihak
Aneka Tambang kembali mencoba mendekati J.A.S untuk membiayai
proyek Bintan itu. Sayangnya usaha menarik modal dari J.A.S itu
gagal dengan alasan resesi ekonomi. Tapi menurut sumber TEMPO,
kurangnya minat trio Jepang itu membangun proyek Bintan, karena
dengan dorongan MITI pengusaha-pengusaha Jepang itu telah teken
kontrak dengan pemerintah Brazil untuk membangun proyek
aluminium yang lengkap seharga US $ 2 milyar di lembah Amazon.
Tentu saja maksud menarik J.A.S salah satu pemegang saham di
Asahan supaya ada rangsangan bagi Kuala Tanjung untuk
mengkonsumir alumina hasil bumi Indonesia pula. Sebab garansi
untuk itu konon tidak ada dalam kontrak perjanjian pembangunan
Proyek Asahan. Malah pabrik Kuala Tanjung di Kuala Tanjung
dibolehkan mengimpor bahan baku dari luar negeri "selama
Indonesia belum bisa memproduksi alumina secara bersaing" (TEM
PO, 4 Oktober 1975).
Kecolongan
Jadi masalahnya sekarang adalah bagaimana alumina Bintan kelak
dapat "bersaing" dengan alumina negara lain. Atau mencari
pasaran baru apabila pabrik di Kuala Tanjung tidak mau
menampungnya. Sanggupkah Uni Soviet memborong seluruh alumina
hasil pulau Bintan, dan bukan sekedar kelebihan produksi yang
tidak terserap oleh KualaTanjung? Selain tidak ada garansi bahwa
Kuala Tanjung akan mengkonsumir alumina produksi dalam negeri
juga tidak ada sanksi bagi Jepang kalau Jepang tidak mau
mengimpor aluminium produksi Sumatera. Padahal sebaliknya,
pabrik aluminium yang hanya 5% sahamnya milik pemerintah RI,
diwajibkan mengekspor hampir 100% produksi aluminiumnya ke
Jepang.
Kendati demikian, proyek Bintan ini dapat dianggap sebagai
langkah pertama bagi Indonesia untuk memperbaiki harga bauksit
Indonesia. Selama ini pasaran bauksit Indonesia terutama
ditujukan ke Jepang, di samping sebagian kecil ke Kanada,
berdasarkan kontrak jangka panjang. Tapi produksi dan pasaran
aluminium di dunia saat ini masih didominir oleh Amerika Utara.
Meski seluruh produksi aluminium Jepang lebih sedikit dari
Amerika Serikat dan Kanada, tapi harga di Jepang lebih tinggi
sekitar 50% dari pada aluminium Amerika yang berharga sekitar US
$ 0,40 per pound. Sebabnya antara lain karena
perusahaan-perusahaan multi-nasional Amerika dan Kanada sudah
menguasai sejumlah besar bauksit di Dunia Ketiga. Tehnologinya
pun jauh lebih maju dan harga listrik di Amerika lebih murah
dari pada Jepang.
Sementara itu, MITI telah merencanakan untuk menaikkan produksi
aluminium Jepang 3 x lipat menjadi 3,1 juta ton di tahun 1985.
Tahun lalu. pabrik-pabrik peleburan aluminium Jepang memprodusir
sekitar 1 juta ton aluminium. Dan kenaikan itu akan diproduksi
di dalam negeri sebanyak 1,8 juta ton.Sedang sisanya, 1,3 juta
ton lagi dari pabrik-pabrik di luar negeri yang bermodal Jepang.
Dengan ditekennya rencana pembangunan pabrik Kuala Tanjung di
Indonesia dan pabrik di lembah Amazon, Brazil, maka ancar-ancar
produksi 1,3 juta ton di luar negeri praktis sudah tercapai.
Tinggal sekarang menaikkan produksi pabrik-pabrik Jepang di
kandang sendiri.
Meski begitu, aluminim mau pun alumina tidak cuma dihasilkan
oleh Amerika, Jepang atau Kanada. Ia juga diproduksi oleh lebih
20 negara. Juga Uni Soviet. Dengan tingkat produksi aluminiumnya
sebanyak 1,19 juta ton ('70) Uni Soviet menduduki anak tangga
kedua sesudah AS. Tapi kepentingan Uni Soviet sama juga seperti
Jepang atau konsumen lainnya yang menginginkan harga alumina
serendah mungkin.Karena itu mungkin sudah saatnya Indonesia
memikirkan untuk mengajak produsen-produsen bauksit lainnya
seperti Yugo, Turki, Iran dan Brazil untuk memperkuat benteng
para produsen bauksit. Dengan demikian Bintan tidak sekedar
menjadi sumber bauksit murah bagi Jepang dan Amerika.Atau Uni
Soviet.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini