SEORANG bertopi helm turun dari kendaraan menyambut kedatangan
kami. Gerak-geriknya gesit, pakaiannya sederhana dan bersepatu
bot sebagaimana layaknya seorang pekerja kasar. Dengan gancang
ia duduk di balik kemudi, mengantar tamunya ke Wisma Tamu Kayan
River Timber Products--sebuah P.T. milik keluarga Soriano dari
Filipino yang mengusahakan hutan di kabupaten Bulungan, sebelah
utara Kalimantan Timur.
Wisma itu sekomplek dengan kantor administrasi, bengkel, gudang,
sekolah praktek perkayuan, rumah sakit dan perumahan pegawai.
Juga nampak sebuah lapangan bola-basket, olahraga paling populer
di Filipina. Kondisi Wisma lumayan. Selain kamarnya dilengkapi
alat pengatur udara, terdapat pula bar. Air, listrik dan
telekomunikasi bukan masalah. Selintas lalu terasa suasana
kampus bercampur kenyamanan sebuah hotel. Mara II, pangkalan
KRTP beroperasi ini, dapat pula memenuhi kebutuhan pangan
sehari-hari. Beras, ternak, sayur-mayur dan buah-buahan ditanam
disekitar kamp. Yang membuat suasana agak terasa keras dan
kurang komplit adalah absennya anggota keluarga para pekerja
yang 1.700 orang itu. Lengkingan tangis seorang anak dan
kelembutan belaian sang isteri atau pacar, hampir terlupakan.
Sebagai gantinya paling-paling alunan lagu The Carpenters dan
Ray Coniff. Para pekerja harus menerima status "bujangan",
paling tidak selama di sana.
"Beginilah hidup kami sehari-hari", ujar tuan-rumah yang bertopi
helm tadi. Dia tak lain adalah Resident Manager KRTP, Renato F.
Morelos, 43 tahun. Pergaulannya dengan para bawahan terasa
santai. Adalah Morelos yang memimpin pengusahaan hutan sejak
berdirinya di tahun 1970 sampai sekarang. Dan telah meliputi
nilai investasi sebesar $AS 2 juta. Selama 5 tahun dia
terombang ambing dalam pasang-surutnya pasaran kayu dunia. Tapi
nampaknya bagi Morelos masa kerja itu tidak seberapa lama.
Mungkin dia ukur dengan usia sebuah pohon jinjing yang baru
dapat digarap setelah masa 8 sampai 10 tahun. Atau baru 1/7 dari
panen sebuah meranti yang makan waktu 35 tahun. Lebih-lebih jika
diingat, rencana konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang
diperuntukkan KRTP semula meliputi 1,2 juta Ha. Maka dengan
kapasitas penggarapan KRTP seluas 600 Ha per bulan atau 7.200 Ha
per tahun, pekerjaan tersebut tidak kurang akan menelan waktu
selama 166 tahun. Bukan main.
Kayu Ulin
Hari itu kami tiba di kamp Mara II menjelang siang hari. Tanpa
membuang waktu, kami diajak naik perahu tempel (motorboat) ke
hulu sungai Kayan, dan daerah operasi kayu KRTP, Keburao.
Di sini terdapat sebuah pabrik penggergajian kayu atau lazim
disebut "sawmill" Terletak di atas areal 2 Ha, pabrik ini
merupakan realisasi dari ketentuan Pemerintah yang mengharuskan
pengusaha HPH mendirikan pabrik penggergajian. Sawmill KRTP ini
rampung dan mulai bekerja sejak April 1975 yang lalu. Biayanya
$AS 3 juta. Kapasitas produksinya 170.000 m3 per tahun.Menurut
keterangan pimpinan Granada Public Relations, Sayono, pendirian
pabrik tersebut 3 tahun lebih cepat dari ketentuan. Dan
nampaknya ia merupakan yang pertama dan satu-satunya dari
lebih-kurang 20 pemegang konsesi HPH yang areal operasinya di
atas 200.000 ha di rimba Kalimantan.
Pabrik ini sangat menarik. Dapurnya terdiri dari mesin-mesin
mutakhir buatan Jepang. Bangunannya unik dan memberi inspirasi.
Dari lantai sampai atap yang terbuat dari kayu ulin. Siku-siku
kerangka dan tiang pokok dari bangunan terjalin dalam bentuk
arsitektur yang kokoh dan indah. "Bahannya semua dari daerah
ini", kata Morelos, "Murah". Berapa? "Satu meter pesegi bangunan
cuma 6 ribu rupiah", katanya. Kayu ulin terkenal kuat menahan
gerogotan serangga. Musuhnya tentu saja api dan ... air kencing.
Papan larangan merokok dan kalau buang air kecil harap
"jauh-jauh di sana" sengaja dipampang di sudut-sudut yang mudah
terlihat. Di sini terdapat 150 pekerja, sebagian besar tenaga
terampil rendahan dari pemuda-pemuda asal Jawa, Sulawesi dan
Kalimantan sendiri. Di sini pula kami berjumpa dengan dua pemuda
lulusan Akademi Ilmu Kehutanan Bandung: Muflihin Gozali, 25
tahun dan Sumanang, 29 tahun. Mereka menjalankan kerja-belajar,
khusus untuk pengelolahan perusahaan. "Beda betul antara teori
dan praktek", kata Gozali.
Main Babat
Untuk tingkat itu terdapat 8 orang. Selebihnya sekitar 1400
orang terdiri dari pelbagai tenaga trampil menengah,rendah
sampai pesuruh. Tapi tidak luput dari pendidikan di pusat
latihan. "Dari pemotongan hutan sampai pembibitan tanaman harus
mereka pelajari", kata seorang staf KRTP. Ini pula yang menjadi
kebanggaan KRTP yang menamakan pengusahaan industri hutan secara
integral. Bukan asal hit and run--asal main babat lalu pergi.
Penanaman kembali secara ilmiah termasuk program untuk
memelihara kelestarian lingkungan dan kelanjutan usaha hutan itu
sendiri. Begitulah maunya pihak KRTP. Tapi sejauh mana hal itu
telah berkembang, entahlah.
Di tempat pemotongan hutan, medannya masih rimba dan alamiah.
Langkah pertama KRTP membuat jaringan jalan. Lebih kurang
sepanjang 30 km telah mereka buka. Jalan yang lebarnya 7 meter
itu turun naik berliku-liku.Konon biayanya $AS 16 sampai 20 ribu
per kilometernya. Tergantung pada kondisinya, apakah harus
meratakan bukit atau cuma memadatkan tanah lalu digiling. Tapi
yang pasti jalan itu harus dapat menahan muatan sampai 60 ton.
Pemotongan harus menurut ketentuan Pemerintah pula. Tapi teknik
menebang, memotong, mengerek dan mengangkutnya merupakan
ketrampilan sendiri. Menaiki puncak pohon dengan bekal sebuah
gergaji motor lalu memotongnya, masih dimonopoli pekerja
Filipino. Tumbangnya pohon harus diatur pula. Sebab arah
jatuhnya sebuah pokok pohon yang berdiameter 60 cm misalnya,
hampir selalu membawa akibat sampingan. Pohon-pohon di
sekitarnya ikut tertimpa menjadi korban. Sedang biaya penanaman
kembali per hektar tidak kurang memakan 250 dollar.
Dari Mandor
Yang belum dipenuhi KRTP adalah rencana pembangunan pabrik
kertas. "Ini berdasarkan perhitungan ekonomis", kata William
Goninez, Direktur Operasi KRTP. "Pabrik kertas menelan 300 juta
dollar AS atau 100 kali lebih mahal dari pembangunan sebuah
pabrik penggergajian". Pabrik kertas seperti yang kami saksikan
di Bislig, Filipina. Lebih bersifat padat-modal. Sedang pabrik
penggergajian lebih padat karya. Kalau pertimbangan yang kedua
lebih menguntungkan bagi pihak Indonesia, tidak lain adalah
penyerapan tenaga kerja. Tak kurang dari itu adalah pengalihan
ketrampilan dan teknologi.
Tapi di mata awam pengusahaan hutang bukan soal kapital dan
teknik melulu. Watak orang-orang hutan modern (Sekalipun tak
jelas bagaimana nasibnya orang-orang hutan asli dan
binatang-binatang lainnya) seperti Morelos misalnya perlu
ditanamkan ke dalam diri pemuda-pemuda kita. Morelos merangkak
dari bawah -- dari mandor. Berkat latihan dan pengalaman ia
akhirnya diberi jabatan Resident Manager.
Pengusahaan hutan yang langgeng memakan waktu dari generasi ke
generasi. Kalimantan Timur yang luasnya satu setengah kali dari
pulau Jawa plus Madura dengan penduduk hanya 850.000, masih
bonansa bagi Republik ini. Kedatangan kami di sana dibarengi
pula oleh kunjungan serombongan calon pembeli dari Jepang. Hadir
juga dua orang staf dari City Bank, masing-masing dari Manila
dan Jakarta. Orang Jepang menaksir kwalitas kayu di tempat,
sementara kedua orang Bank itu menjajagi kegiatan KRTP.
Hari-hari ini harga kayu mendadak bangkit setelah mengalami
kelesuan pada tahun 1975. Dari 28 dollar per kubik (meranti)
melonjak sampai 50 dollar. Lebih-lebih kabarnya suplai hardwood
dari negara-negara Afrika ke Eropa makin berkurang. Mereka
membutuhkan bahan tersebut untuk diproses di dalam negeri.
Mereka juga memaksa pengusahaan hutan asing mendirikan pabrik
penggergajian di daerah penggarapan. Siapa tahu sebentar lagi
pasar Eropa mengerling produk Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini