ORANG hampir melupakan hutan Kalimantan Timur yang penuh rotan
bergayutan. Malah petani rotan sendiri sudah memalingkan
kapaknya, ikut ramai-ramai menebang kayu. Maklum beberapa waktu
yang lampau pasaran kayu sedang meledak. Namun bersamaan dengan
harga kayu yang tidak menentu lagi, rimba rotan mulai dilirik
kembali. Hasil hutan yang satu ini, hasil utama Kal-Tim dan
menyangkut mata pencaharian banyak orang sejak lama, sedikit
demi sedikit mulai memperoleh pasarannya kembali. Baru
perdagangan antar pulau, memang, tapi lumayan. Umumnya dilempar
ke Surabaya dan Ujung Pandang, melalui pelabuhan Samarinda dan
Tanah Grogot. Melalui Tanah Grogot setiap bulan sekitar 200 ton
rotan dikapalkan. Memanfaatkan jalan darat yang menembus jantung
pulau Kalimantan, sekitar 10 ton rotan diangkut ke Banjarmasin
setiap bulan.
Ternyata itu perdagangan yang menarik. Dari yang sedikit dikirim
ke Banjarmasin, ternyata rotan akan memiliki masa depan bentuk
perdagangan yang tidak seperti biasanya. Orang Banjar telah
menganyamnya menjadi tikar rotan alias lampit. Ini tidak
main-main, karena ternyata yang pesan orang-orang di Jepang
sana. Memperhatikan kemungkinan ekspor tikar rotan yang baik,
orang-orang Kal-Tim sendiri menjadi iri hati. Melalui Dinas
Perindustrian Kal-Tim kini sedang dijajaki kemungkinan menganyam
tikar sendiri dan kemudian mengekspornya langsung.
INSA
Samarinda sendiri punya seorang pengusaha rotan yang kebetulan
punya hubungan dengan seorang importir rotan di Jepang. Husein,
itu nama pengusaha pribumi di sana, sudah mendapat pesanan agar
memulai mengekspor tikar rotan. Tahap pertama, seperti
dijelaskan oleh Sitompul, dari Dinas Perindustrian setempat,
baiklah diekspor 50 lembar dulu. Tahap berikutnya mudah-mudahan
akan terus meningkat.
Namanya juga dagang -- ada saja kesulitannya. Yang kelihatan
sekarang ini, baru soal pengangkutannya ke Jepang. Yang sudah.
karena jumlahnya toh cuma 50 lembar, ekspor itu bisa dititipkan
melalui kapal pengangkut kayu bundar (logs) milik Attaka. Ini
juga karena hubungan famili antara eksportir dengan penyewa
kapal. Juga karena restu Administratur Pelabuhan Dinas
Perindustrian, Kantor Perdagangan dan Bea Cukai. Tapi fihak
lain, organisasi pengusaha pelayaran (INSA), tidak setuju dengan
cara pengangkutan demikian. Mereka menyarankan agar pengangkutan
tikar rotan itu memakai kapal dagang biasa saja. Sebab kapal
pengangkut kayu sudah jelas tugasnya: mengangkut kayu dan tidak
bisa dititipi macam-macam barang.
Sitompul, yang bertugas membina hasil perindustrian rakyat,
terpaksa mengerutkan keningnya. Berat beban si pengusaha jika
mereka harus mengadakan kapal tersendiri, "kecuali kalau nanti
jumlahnya sudah besar, tidak seperti sekarang yang baru 50
lembar", kata pejabat ini. Bukan itu saja. Tanpa nebeng
pengapalan kapal kayu, berarti jenis ekspor baru seperti tikar
rotan itu harus melalui jalur yang panjang. Untuk diketahui:
pengiriman barang ke luar negeri dengan kapal dagang biasa,
harus melalui pelabuhan transit Surabaya dengan resiko tambah
biaya angkut. Dalam keadaan begini, tampaknya kapal Attaka juga
mulai rewel. Kapal ini enggan mengangkut titipan Husein, bila
tidak licukupi dengan segala macam syarat yang dibebankan oleh
Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Izin khusus, begitulah
Tampaknya ekspor tikar rotan masih harus melalui jalan panjang
lebih dulu, sebelum memasuki pasaran yang sebenarnya. Namun
Husein sendiri, yang didukung oleh Dinas Perindustrian setempat,
tampak juga ngotot untuk melanjutkan usahanya. Kepalang Dinas
Perindustrian telah menyediakan alat pembelah rotan yang
berharga Rp 7 juta, agar produksi lampit Kal-Tim ini memenuhi
standar ekspor. Pengrajin suku Dayak di Barong Tongkok juga
sudah bekerja keras memenuhi pesanan. Dengan sedikit tambahan
kepandaian, Sitompul yakin, hasil tangan pengrajin suku Dayak
ini dapat merebut pasaran luas di Jepang. Ambisi pun dipupuk:
menggeser pasaran tikar rotan di Jepang yang selama ini
dimonopoli eks Taiwan. Mudah-mudahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini