Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten, terus berbenah. PT Angkasa Pura II (Persero), badan usaha milik negara yang mengelola infrastruktur tersebut, menyiapkan wahana baru. Perusahaan mengagendakan peluncuran kawa-san Halal Park di plaza Terminal 3 bandara. “Untuk tahap pertama akan dibuka pekan ini,” kata Vice President Corporate Communications Angkasa Pura II Yado Yarismano, Selasa, 21 Mei lalu.
Yado menjelaskan, area Halal Park seluas 8.000 meter persegi itu tidak hanya menyediakan makanan dan minuman halal, tapi juga menghadirkan retail halal. Sebanyak 40 penyewa bergabung dari berbagai bidang usaha, seperti makanan dan minuman, retail, fashion, produk kecantikan, serta perbankan syariah, pegadaian, dan zakat.
Menurut Direktur Utama Angkasa Pura II Muhammad Awaluddin, Halal Park di Terminal 3 Soekarno-Hatta menawarkan pengalaman berbeda bagi pelancong dan pengunjung bandara. “Bukan sekadar tempat berbelanja, tapi juga tempat menyampaikan Islam melalui alunan musik.”
Halal Park adalah cikal-bakal Halal Life-style District yang akan dibangun di bandara terbesar di Indonesia tersebut. Kawa-san itu meliputi area perkantoran, retail dan produk gaya hidup halal, ruang serbaguna, serta hotel bintang tiga dan empat. “Targetnya, seluruh proyek tuntas pada 2021,” Awaluddin menambahkan. Semua wahana baru tersebut dibangun untuk mendukung Indonesia sebagai tujuan utama wisata halal di dunia.
Pemerintah tengah gencar mengembangkan destinasi halal di Tanah Air. Sebab, menurut Ketua Tim Percepatan Pengembangan Pariwisata Halal Kementerian Pariwisata Anang Sutono, ceruk bisnis ini masih sangat lebar. Berdasarkan studi Mastercard-CrescentRating Global Muslim Travel Index 2016, jumlah total perjalanan wisatawan muslim pada 2015 mencapai 117 juta. CrescentRating adalah lembaga pemeringkat dan riset pariwisata halal asal Singapura.
Angka itu diperkirakan terus tumbuh hingga mencapai 168 juta orang pada 2020, bahkan bisa tembus 200 juta lebih pada 2026. Mereka bergerak dari satu negara ke negara lain. “Bayangkan, jika Indonesia bisa kebagian 10 persen saja, sudah besar sekali,” ucap Anang. Tahun lalu, Indonesia hanya kecipratan sekitar 3,5 juta pelancong muslim.
Angka itu belum termasuk turis muslim domestik yang potensinya juga sangat tinggi. Pemerintah menargetkan total perjalanan pelancong muslim dalam negeri mencapai 275 juta kali dalam satu tahun. Artinya, satu orang bisa melakukan dua kali, bahkan sepuluh kali perjalanan.
Yang menarik, total nilai pengeluaran wisatawan muslim tergolong besar, yakni lebih dari US$ 200 miliar (Rp 2.800 triliun lebih) dalam setahun. Anang menyebutkan pengeluaran turis muslim asal Timur Tengah cenderung lebih besar, bisa di atas US$ 2.000 (Rp 28 juta lebih) per kunjungan per orang. Dan, yang menggiurkan, selain besarnya pengeluaran, tipikal mereka adalah selalu membawa keluarga. “Dengan potensi yang besar itu, kalau kita tidak percaya diri, tidak menyiapkan layanan yang ramah muslim, pasar yang besar tersebut akan dikeroyok banyak negara lain,” tutur Anang.
Pemerintah makin percaya diri terutama setelah Global Muslim Travel Index (GMTI) mengumumkan peringkat Indonesia yang terus menanjak. Pada 2015, negara berpenduduk mayoritas muslim ini masih berada di peringkat keenam dalam daftar destinasi pariwisata halal di dunia. Tapi, tahun ini, posisi Indonesia melonjak menjadi nomor satu. Indonesia bersama Malaysia memperoleh skor sama, yakni 78. Malaysia juga menyandang peringkat pertama pada 2018.
Kali ini Indonesia menawarkan sepuluh daerah eksotis sebagai tujuan turis muslim. Salah satunya Lombok di Nusa Tenggara Barat, yang mempelopori konsep pariwisata halal di Tanah Air. Pemerintah Nusa Tenggara Barat merintisnya sejak 2014 dengan aktif mengikuti berbagai acara turisme halal dunia.
Pada Desember 2016, Lombok menyabet tiga penghargaan sekaligus dalam International Travel Week Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Dalam acara ini, Indonesia meraih 12 dari total 16 penghargaan yang dibagikan.
Destinasi lain yang juga ramah terhadap wisatawan muslim adalah Aceh. Bumi Rencong ditetapkan sebagai peraih peringkat kedua dalam Destinasi Wisata Halal Indonesia 2019, setelah Lombok. Pengumuman disampaikan oleh CEO CrescentRating dan HalalTrip, Fazal Bahardeen, di gedung Kementerian Pariwisata, awal April lalu.
Pemeringkatan ini menggunakan standar Indonesia Muslim Travel Index, yang mengadopsi standar GMTI, yakni meliputi- akses, komunikasi, lingkungan, dan pelayanan (access, communication, environment, and service). Setiap kriteria tersebut memiliki tiga komponen penting yang menentukan terpilihnya sebuah daerah menjadi tujuan wisata halal nasional dan internasional.
Aceh dan Lombok terpilih bersama tiga daerah lain yang juga menjadi andalan pemerintah Indonesia, yaitu Riau (peringkat ketiga), DKI Jakarta (peringkat keempat), dan Padang (peringkat kelima). Pemerintah juga menetapkan lima daerah unggulan lain sebagai destinasi rekreasi halal, yakni Bandung, Daerah Istimewa Yogyakarta, Semarang dan sekitarnya di Jawa Tengah, Malang di Jawa Timur, serta Sulawesi Selatan.
Suasana Pantai Tanjung Bias, salah satu destinasi wisata kuliner halal di Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat./ANTARA/Ahmad Subaidi
Lombok menjadi kiblat bagi tujuan wisata halal nasional. Daerah ini lebih maju karena didukung Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pariwisata Halal, yang ditetapkan pada 21 Juni 2016. Lombok adalah satu dari empat destinasi super-prioritas yang ditetapkan Kementerian Pariwisata, selain Danau Toba, Borobudur, dan Labuan Bajo. “Kami menjadi rujukan Indonesia Muslim Travel,” ujar Kepala Dinas Pariwisata Nusa Tenggara Barat Lalu Mohamad Faozal.
PARIWISATA halal hanyalah label alias brand dalam industri pariwisata, bukan bentuk penerapan syariah Islam. “Hati-hati, jangan dicampuradukkan,” Anang Sutono mewanti-wanti. Ia pun memberikan definisi yang lebih sederhana. Pariwisata halal, dia menerangkan, adalah pelayanan tambahan atas fasilitas, aksesibilitas, dan daya tarik untuk memenuhi kebutuhan pelancong muslim.
Ia menyebutkan wisatawan muslim yang jumlahnya besar itu adalah pasar. Mereka punya kebutuhan dan keinginan yang harus dipenuhi dalam setiap perjalanan. “Traveler muslim saat bepergian berpikir, apakah bisa wudu dengan gampang di hotel, tidak perlu menaikkan kaki ke wastafel.” Itulah salah satu kebutuhan turis muslim, yakni hotel yang menyediakan keran air untuk wudu.
Dalam urusan makanan, turis asing muslim membutuhkan informasi bahwa hidangan di restoran A halal, sementara di restoran B nonhalal. Ini berbeda dengan wisatawan domestik muslim, yang tak pernah sekali pun menanyakan soal label halal ketika masuk ke sebuah rumah makan Padang.
Wakil Ketua Umum Organisasi Badan Pimpinan Pusat Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Maulana Yusran meyakinkan bahwa pariwisata halal tidak mengubah konsep turisme yang sekarang berjalan. Konsep ini memberikan pelayanan tambahan sesuai dengan kebutuhan pasar pelancong muslim. Ia mencontohkan, negara lain menggunakan label “Moslem Friendly”, sementara Indonesia memakai “Halal Tourism”. “Tapi intinya sama, brand-ing, bukan mengubah konsep menjadi syariah.”
Maulana memastikan pelaku industri perhotelan dan restoran mendukung upaya pemasaran ini untuk mengejar target pasar yang lebih besar. Bagi pebisnis sektor ini, tak perlu investasi tambahan yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan turis muslim. Menurut dia, menyediakan petunjuk arah kiblat, informasi waktu salat, sajadah, bahkan Al-Quran tidak akan membuat anggaran membengkak. Penyediaan tempat ibadah pun, kata dia, tak perlu dengan mendirikan bangunan baru. Ruang kosong yang bersih dan rapi bisa digunakan sebagai musala.
Untuk menjamin makanan halal, ia menambahkan, hotel yang menyediakan makanan nonhalal memang harus berinvestasi lagi. Pebisnis harus memisahkan tempat penyimpanan bahan makanan dan dapurnya. Begitu pula di hulu, sumber bahan baku makanan harus dipastikan berasal dari tempat yang bersertifikat halal.
Tapi, Maulana melanjutkan, saat ini banyak hotel dan restoran yang hanya menyediakan masakan halal. Sebab, pasar terbesar dalam negeri, yakni masyarakat Indonesia, sebagian besar muslim. “Jadi ini pilihan. Bebas mau memilih segmen pasar yang mana yang dibidik. Yang pasti ini potensi bisnis,” ujarnya.
Pilihan pada industri halal inilah yang ditetapkan pemerintah. Maka Presiden Joko Widodo meresmikan Halal Park di kompleks Gelora Bung Karno, Jakarta, 16 April lalu. Jokowi menerangkan, pembukaan Halal Park ini merupakan awal dari rencana pemerintah membangun distrik halal di sejumlah daerah. Di Gelora Bung Karno, pemerintah berencana membangun distrik halal seluas 21 ribu meter persegi dengan nilai investasi bangunan sekitar Rp 250 miliar.
Jokowi memaparkan, Halal Park merupakan realisasi keinginan pemerintah mengangkat industri halal ke tingkat regional hingga global. Pemerintah telah membahasnya beberapa kali di Istana. Halal Park memadukan sumber daya pemerintah, badan usaha milik negara, serta pelaku bisnis halal, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi. “Kita angkat industri halal Indonesia sebagai ladang kreativitas dan produktivitas generasi muda serta sumber kesejahteraan umat.”
Jokowi menargetkan pembangunan distrik halal rampung dalam dua tahun. Pekerjaan ini, dia berujar, tidak seperti membalikkan telapak tangan.
Bertopang pada Sepuluh Pertama
RETNO SULISTYOWATI, FRISKI RIANA, JONIANSYAH HARDJONO (TANGERANG), SUPRIYANTO KHAFID (LOMBOK)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo