Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Co-Founder Carbon Ethics, Jessica Novia mengatakan setiap tahun Indonesia kehilangan tutupan lahan hutan bakau atau mangrove seluas 52 ribu hektare. Degradasi tersebut ekuivalen dengan luas Kota New York, Amerika Serikat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bila dihitung selama ini degradasi mangrove menyumbang 190 juta ton karbon dioksida ekuivalen atau emisi karbon,” ujar Jessica dalam webinar Change.org, Rabu, 3 November 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Luas tutupan lahan mangrove terus menyusut dari tahun ke tahun. Dalam 30 tahun, Indonesia kehilangan 900 ribu hektare mangrove dari semula 4,2 juta hektare menjadi hanya 3,3 juta hektare.
Padahal Indonesia merupakan negara dengan kawasan hutan mangrove terbesar di dunia. Luas mangrove di Tanah Air setara dengan 25 persen total hutan bakau secara global.
Jessica melanjutkan, mangrove memiliki peran penting untuk mempercepat penurunan emisi karbon. Mangrove termasuk salah satu ekosistem yang mempunyai daya serap karbon paling tinggi selain lamun dan terumbu karang.
Keberadaannya juga merupakan peran utama dalam mendukung ekosistem karbon biru yang bisa sepuluh kali lebih banyak menyimpan karbon ketimbang hutan di daratan. Berbagai pihak, kata Jessica, telah menyadari pentingnya karbon biru dengan melakukan rehabilitasi mangrove.
Pemerintah, misalnya, telah mendorong penanaman 600 ribu hektare mangrove sampai 2024. Jessica mengatakan target tersebut cukup ambisius dan harus dibarengi dengan komitmen yang konsisten. Ia khawatir penanaman mangrove menjadi seremoni belaka bila tidak diikuti dengan pengawasan masa tumbuh tanaman selama 1-2 tahun.
“Dua tahun pertama itu penting untuk make sure bahwa (tanaman) itu tumbuh. Semoga pengawalannya berjalan sehingga mangrove bisa menyerap emisi secara maksimal,” tutur Jessice.
Koordinator Restorasi Pengelolaan Ekosistem Laut dan Pesisir Direktorat Pendayagunaan Pesisir dan Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Hery Daulay mengatakan degradasi wilayah mangrove terjadi karena pelbagai faktor. Salah satunya lantaran pembukaan lahan tambak baru.
Hery mengklaim pemerintah sudah menjajaki upaya-upaya untuk mencegah pembukaan lahan tambak melalui sosialisasi kepada masyarakat. Masyarakat, kata dia, perlu diberi alternatif mata pancaharian seiring dengan progam rehabilitasi kawasan mangrove.
“Ini yang harus diberikan dispensasi bagaimana masyarakat tidak melakukan pembukaan tambak baru dan bagaimana valuasi ekonominya, diberikan mata pencaharian alternatif dari menanam mangrove,” ujar Hery.
Manajer Senior Iklim WRI Indonesa Arief Wijaya menyatakan selain berperan terhadap penurunan emisi karbon, mangrove memiliki nilai ekonomi yang besar. Dari sisi pariwisata, kawasan konservasi mangrove memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah.
Dia mencontohkan wilayah konservasi di Muara Angke, Jakarta Utara. Ekosistem mangrove di daerah tersebut setiap tahunnya menghasilkan pendapatan Rp 31,7 juta per hektare atau setara dengan Rp 3 miliar dari total luas lahan.
Karena itu, keberadaan mangrove dapat membantu mendorong pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19. “Penguatan kebijakan pengelolaan hutan mangrove dengan penekanan peraturan konservasi atau moratorium hutan dapat memberikan peluang untuk membantu pemulihan ketahanan pasca-Covid19 dalam sektor laut dan pesisir,” tuturnya.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.