SEORANG pengusaha non-pribumi yang ikut penataran P4 di Hotel
Indonesia Sheraton pekan lalu kontan menjawab ajakan Menteri
Perindustrian A.R. Soehoed. "Saya bersedia membantu industri
bordir di Tasikmalaya," katanya. Dia, menurut sumber TEMPO,
langsung menyebutkan sejumlah uang sebagai sumbangan permulaan.
Menteri Soehoed yang memberi ceramah dalam penataran itu, pada
23 Februari lalu baru saja meresmikan P.T. Kanebo Tomen
Synthetic Mills (KTSM) di Bandung menjadi 'bapak angkat'
industri bordir di Tasikmalaya. Dan KTSM, patungan swasta asing
Tomen-Toyomenka (70%) dengan pemerintah R.I. (30%) adalah swasta
Jepang pertama yang menjadi bapak angkat.
Kontrak yang ditandatangani oleh Dinas Perindustrian, P.T. KTSM
dan KUD Unit Bordir Kecamatan Kawalu itu berlaku untuk 1 tahun.
Untuk tahap pertama KTSM siap menyalurkan kepada KUD itu 14.592
yard kain tetoroncotton (TC), bahan baku penting industri
bordir. Di pasaran Tasikmalaya harga satu yard TC-tersebut pekan
lalu Rp 490. Tapi kepada anggota KUD diberikan harga ekstra Rp
465,35 per yard. Itupun boleh dicicil dalam tenggang waktu 12
minggu setelah pengambilan. Dan pembayaran boleh langsung ke
BNI 1946 Cabang Tasikmalaya.
Namun kaitan dengan dunia bank ini pula yang agaknya masih
membuat para pengrajin bordir bingung. Ny. Nunu, 41 tahun,
sekretaris KUD unit Bordir Kecamatan Kawulu menunjuk pada
keharusan adanya garansi bank. Untuk 14.592 yard TC tadi, harus
disertai jaminan senilai Rp 6,7 juta lebih di bank. Sedang uang
koperasi saja, menurut Nunu, ada sekitar Rp 3 juta. "Itupun
bukan uang diam seperti garansi bank, tapi beredar di kalangan
anggota," katanya.
Kartosuwiryo
Bisa dibayangkan banyak di antara 140 pengusaha bordir, yang
umumnya dikerjakan kaum wanita itu akan mengalami kesulitan
mengikuti prosedur begitu. Menurut Menteri Soehoed, yang
mengerti kesulitan tersebut, jaminan itu bisa diperlunak kalau
saja ada jaminan kepercayaan dari kaum alim ulama dan tokoh
masyarakat setempat. Tapi menurut Nunu, rekomendasi seperti itu
tak mudah mereka berikan. Lagi pula, "mereka kan tak banyak
mengetahui seluk-beluk perbankan," kata Nunu.
Hubungan para pengusaha bordir dengan pemilik modal biasanya
berlangsung atas dasar kepercayaan. Sampai sekarang para
pemilik modal yang umumnya non-pribumi itu memang menguasai
pemasaran hasil bordir Kecamatan Kawalu. Haji Zarkasi, Ketua KUD
Unit Bordir Kecamatan Kawalu beranggapan para pengusaha
non-pribumi itu menyediakan segalanya. "Dari mulai kebutuhan
bahan baku sampai urusan naik haji," katanya.
Ketergantungan terhadap modal non-pribumi di sana ada
sejarahnya. Para pengusaha bordir itu umumnya pernah menjadi
buruh bordir di Jakarta, di perusahaan milik non-pri. Itu
terjadi ketika mereka mengungsi di zaman Kartosuwiryo masih
mengacau daerah Jawa Barat. Setelah aman, dengan memiliki
tambahan keahlian dan bekal modal dari majikannya, mereka
kembali ke kampung Cukang di Desa Kersamenak dan kampung
Saguling di Desa Cilamajang, keduanya di Kecamatan Kawalu,
Kabupaten Tasikmalaya. Termasuk Ketua KUD H. Zarkasi, pemilik
perusahaan bordir Ciwulan.
Sekalipun simpanan koperasi cuma Rp 3 juta, tapi uang yang
beredar di kawasan industri bordir itu menurut pihak KUD,
meliputi hampir Rp 500 juta. Kedua kampung itu pula setiap bulan
rata-rata menghabiskan 220 ribu yard TC, bahan shifon 103 yard,
Paris sekitar 100 yard dan bahan Georgettc sepanjang 37 ribu
yard. Masih ada lagi, seperti macam-macam jenis benang, kelosan
kayu, jarum mesin sampai kancing cecet yang ratusan lusin.
Mereka secara terpisah memang tergolong industri kecil. Salah
satu yang paling maju, seperti perusahaan bordir Motekar punya
Ny. Cucun, paling banter menghasilkan 10 kodi sebulan. "Bordir
ini memang rumit. Soal kualitas harus diutamakan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini