Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kisah Peci Hitam Ulujami

Kredit diterima dari gubernur dki jakarta dan lp3es. keresahan timbul dengan kenaikan beledu, karena penjualan dimonopoli oleh satu penyalur.

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI sebuah kisah klasik, menimpa para pengrajin peci di Ulujami, Kebayoran Lama, Jakarta. Di akhir tahun lalu, para pengrajin itu resah. Kabarnya mereka dipermainkan oleh penyalur tunggal beledu (bahan baku peci). Pada awal tahun ini, cerita itu rupanya berkembang. Penyalur tunggal yang dulu sekaligus menampung hasil produksi peci Ulujami, dengan bergabungnya para pengrajin dalam satu usaha bersama, konon produksi pecinya sendiri terancam. Itulah, mengapa ia lantas menaikkan harga beledu. Bahkan, kata orang, menghalangi para pengrajin yang hendak langsung membeli kepada mportir beledu. Kisahnya bermula dari pertengahan 1978. Bachruddin, pemuda warga Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami, pulang dari penataran LP3ES di Magelang, berniat menyatukan para pengrajin, agar mereka terhindar dari tengkulak. Maka, dengan modal Rp 200 ribu dari LP3ES, ia mulai memancing minat para pengrajin. Uang itu dibelikan bahan penolong saten, benang, plastik, kertas koran, karton dan lain-lain. Lantas dijual kepada para pengrajin. Keuntungan yang diperoleh dari barang-barang itu dikembalikan kcpada para pembeli (pengrajin itu) berdasar persentasi banyaknya pembelian mereka. Dari cara itulah lahir Usaha Bersama Pengrajin Peci Ulujami, beranggotakan 20 orang, April 1978 itu juga. Kini, dari sekitar 150 pengrajin, telah tergabung dalam usaha bersama itu 120 orang -- meski menurut pengamatan anak muda itu yang aktif hanya sekitar 60. Naik Seenaknya Usaha bersama itu berkembang. Rata-rata bisa dihasilkan 25 kodi peci halus, 50 kodi sedang dan 75 kodi kasar per hari. Tak jelas berapa hasil produksi mereka sebelum ada usaha itu. Yang jelas kepercayaan orang kepada mereka tumbuh. Misalnya, Juli 1979, lewat SK Gubernur DKI Jakarta, mereka memperoleh kredit Rp 10,5 juta untuk jangka 6 bulan. (Kredit itu telah mereka lunasi pada waktunya, akhir tahun lalu). Januari tahun ini kembali kredit dari Pemda DKI sebesar Rp 5 juta turun. Kabarnya hari-hari mendatang ini pemda akan menambah jumlah kredit. Pelunasan kredit ternyata tak berarti semua pengrajin beres usahanya. Contohnya, pinjaman dari LP3ES sebesar Rp 700 ribu, yang seharusnya sudah lunas akhir tahun lalu, terpaksa belum dilunasi. 120 pengrajin yang tergabung itu dibagi dalam 14 kelompok. Nah, ketua kelompoklah yang ternyata terlebih dahulu melunasi kredit bebeapa anggotanya yang belum bisa melunasi sendiri. Jumat minggu lalu, sesudah sembahyang, dilontarkan pertanyaan: Apakah mereka setuju kalau kredit ditangung secara pribadi saja? Jawaban macam-macam. Banyak juga yang tak setuju, karena "takut kalau tidak bisa bayar." Tapi yang menjadi pokok keresallan ialah Haji Makmun -- penyalur tunggal beledu itu. Sejak 11 Februari haji itu menghentikan penjualan beledu kepada pengrajin Ulujami. Biasanya, ini pertanda harga akan naik. Kata Chaidir, salah orang pengrajin: "Naiknya seenaknya saja. Kita terpaksa beli karena tak ada yang lain." Usaha bukannya tak ada. Mas'ud, salah seorang pengurusnya mencoba langsung membeli ke importir. Mendapat jawaban: "Untuk Jakarta sudah ada agen tunggal Haji Makmun," katanya menirukan si importir Walhasil, praktis dalam bulan lalu, entah sampai kapan, tak ada produksi peci Ulujami (kecuali produksi sejumlah pengrajin bawahan H. Makmun). Tentunya ini sangat menyusahkan mereka, yang keuntungannya sangat pas. Berapa itu, tak dikatakan. Yang jelas, para pekerja yang membantu seorang pengrajin (rata-rata ada 3 orang bagi setiap pengrajin) selama ini upahnya hanya berkisar antara Rp 400 sampai Rp 600 sehari. Benar, rokok dan makan dijamin. Tapi mereka harus kerja 10 jam per hari. "Yah, mampu kita cuma segitu. Mau dinaikkan, kalau saya rugi bagaimana," kata H. Ishak. Ir. Martono Soemodinoto dari Dinas Perindustrian DKI punya cerita lain. "Mereka seperti anak kecil. Habis diberi modal minta lagi. Mbok, ya, jangan cengeng. Harga beledu naik sedikit, sudah teriak," katanya kepada TEMPO. Adapun soal monopoli H. Makmun itu, dinilainya sebagai wajar. " Lebih baik ada barang biar dimonopoli sekalipun daripada tak ada." H, Makmun ternyata tak mengaku sebagai agen tunggal. Memang, di luar banyak penjual beledu -- dengan kualitas di bawah yang dijual H. Makmun. Kabarnya, pengrajin peci dari Gresik pun mengambil beledu dari Makmun di Tanah Abang itu. "Saya ini justru mau membantu. Keluhan orang-orang Ulujami itu tak baik, seolah tak ada barang," katanya. Usaha bersama itu -- sejak September 1979 usaha itu tidak lagi diurus Pesantren Ulujami. Kini tergabung dalam Koperasi Serba Usaha Kelurahan Ulujami -- mereka hanya melihat satu alternatif: modal besar, untuk membeli bahan baku. Berapa kira-kira, disebutkan jumlah sekitar Rp 100 juta. Ditambah lagi dengan pasaran peci lesu sejak akhir tahun lalu, masalah ini memang beban bagi para pengrajin. Yang dikhawatirkan Bachruddin -- seperti diceritakannya kepada LP3ES -- andai para pengrajin yang berpendidikan hanya SD itu lantas menjual tanah mereka, satu-satunya kekayaan. Artinya, harapan memiliki modal, justru tlisa semakin membuat runyamnya mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus