INI sebuah kisah klasik, menimpa para pengrajin peci di Ulujami,
Kebayoran Lama, Jakarta. Di akhir tahun lalu, para pengrajin itu
resah. Kabarnya mereka dipermainkan oleh penyalur tunggal beledu
(bahan baku peci).
Pada awal tahun ini, cerita itu rupanya berkembang. Penyalur
tunggal yang dulu sekaligus menampung hasil produksi peci
Ulujami, dengan bergabungnya para pengrajin dalam satu usaha
bersama, konon produksi pecinya sendiri terancam. Itulah,
mengapa ia lantas menaikkan harga beledu. Bahkan, kata orang,
menghalangi para pengrajin yang hendak langsung membeli kepada
mportir beledu.
Kisahnya bermula dari pertengahan 1978. Bachruddin, pemuda
warga Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami, pulang dari penataran
LP3ES di Magelang, berniat menyatukan para pengrajin, agar
mereka terhindar dari tengkulak.
Maka, dengan modal Rp 200 ribu dari LP3ES, ia mulai memancing
minat para pengrajin. Uang itu dibelikan bahan penolong saten,
benang, plastik, kertas koran, karton dan lain-lain. Lantas
dijual kepada para pengrajin. Keuntungan yang diperoleh dari
barang-barang itu dikembalikan kcpada para pembeli (pengrajin
itu) berdasar persentasi banyaknya pembelian mereka.
Dari cara itulah lahir Usaha Bersama Pengrajin Peci Ulujami,
beranggotakan 20 orang, April 1978 itu juga. Kini, dari sekitar
150 pengrajin, telah tergabung dalam usaha bersama itu 120 orang
-- meski menurut pengamatan anak muda itu yang aktif hanya
sekitar 60.
Naik Seenaknya
Usaha bersama itu berkembang. Rata-rata bisa dihasilkan 25 kodi
peci halus, 50 kodi sedang dan 75 kodi kasar per hari. Tak jelas
berapa hasil produksi mereka sebelum ada usaha itu. Yang jelas
kepercayaan orang kepada mereka tumbuh. Misalnya, Juli 1979,
lewat SK Gubernur DKI Jakarta, mereka memperoleh kredit Rp 10,5
juta untuk jangka 6 bulan. (Kredit itu telah mereka lunasi pada
waktunya, akhir tahun lalu). Januari tahun ini kembali kredit
dari Pemda DKI sebesar Rp 5 juta turun. Kabarnya hari-hari
mendatang ini pemda akan menambah jumlah kredit.
Pelunasan kredit ternyata tak berarti semua pengrajin beres
usahanya. Contohnya, pinjaman dari LP3ES sebesar Rp 700 ribu,
yang seharusnya sudah lunas akhir tahun lalu, terpaksa belum
dilunasi. 120 pengrajin yang tergabung itu dibagi dalam 14
kelompok. Nah, ketua kelompoklah yang ternyata terlebih dahulu
melunasi kredit bebeapa anggotanya yang belum bisa melunasi
sendiri. Jumat minggu lalu, sesudah sembahyang, dilontarkan
pertanyaan: Apakah mereka setuju kalau kredit ditangung secara
pribadi saja? Jawaban macam-macam. Banyak juga yang tak setuju,
karena "takut kalau tidak bisa bayar."
Tapi yang menjadi pokok keresallan ialah Haji Makmun -- penyalur
tunggal beledu itu. Sejak 11 Februari haji itu menghentikan
penjualan beledu kepada pengrajin Ulujami. Biasanya, ini
pertanda harga akan naik. Kata Chaidir, salah orang pengrajin:
"Naiknya seenaknya saja. Kita terpaksa beli karena tak ada
yang lain."
Usaha bukannya tak ada. Mas'ud, salah seorang pengurusnya
mencoba langsung membeli ke importir. Mendapat jawaban: "Untuk
Jakarta sudah ada agen tunggal Haji Makmun," katanya menirukan
si importir Walhasil, praktis dalam bulan lalu, entah sampai
kapan, tak ada produksi peci Ulujami (kecuali produksi sejumlah
pengrajin bawahan H. Makmun). Tentunya ini sangat menyusahkan
mereka, yang keuntungannya sangat pas. Berapa itu, tak
dikatakan. Yang jelas, para pekerja yang membantu seorang
pengrajin (rata-rata ada 3 orang bagi setiap pengrajin) selama
ini upahnya hanya berkisar antara Rp 400 sampai Rp 600 sehari.
Benar, rokok dan makan dijamin. Tapi mereka harus kerja 10 jam
per hari. "Yah, mampu kita cuma segitu. Mau dinaikkan, kalau
saya rugi bagaimana," kata H. Ishak.
Ir. Martono Soemodinoto dari Dinas Perindustrian DKI punya
cerita lain. "Mereka seperti anak kecil. Habis diberi modal
minta lagi. Mbok, ya, jangan cengeng. Harga beledu naik sedikit,
sudah teriak," katanya kepada TEMPO. Adapun soal monopoli H.
Makmun itu, dinilainya sebagai wajar. " Lebih baik ada barang
biar dimonopoli sekalipun daripada tak ada."
H, Makmun ternyata tak mengaku sebagai agen tunggal. Memang, di
luar banyak penjual beledu -- dengan kualitas di bawah yang
dijual H. Makmun. Kabarnya, pengrajin peci dari Gresik pun
mengambil beledu dari Makmun di Tanah Abang itu. "Saya ini
justru mau membantu. Keluhan orang-orang Ulujami itu tak baik,
seolah tak ada barang," katanya.
Usaha bersama itu -- sejak September 1979 usaha itu tidak lagi
diurus Pesantren Ulujami. Kini tergabung dalam Koperasi Serba
Usaha Kelurahan Ulujami -- mereka hanya melihat satu alternatif:
modal besar, untuk membeli bahan baku. Berapa kira-kira,
disebutkan jumlah sekitar Rp 100 juta.
Ditambah lagi dengan pasaran peci lesu sejak akhir tahun lalu,
masalah ini memang beban bagi para pengrajin. Yang dikhawatirkan
Bachruddin -- seperti diceritakannya kepada LP3ES -- andai para
pengrajin yang berpendidikan hanya SD itu lantas menjual tanah
mereka, satu-satunya kekayaan. Artinya, harapan memiliki modal,
justru tlisa semakin membuat runyamnya mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini