PENGUSAHA pengimpor gula seakan musuh bebuyutan bagi Moch. Arum Sabil. Mereka dianggap bertanggung jawab atas anjloknya harga gula yang selama ini menyengsarakan ribuan petani tebu. Hal itu terjadi karena ulah mereka mendatangkan gula secara besar-besaran sehingga membuat pasokan di dalam negeri melimpah. Akibatnya, harga gula kini mencapai titik terendah: Rp 3.100 per kilogram?menurun tajam dibandingkan dengan harga semula yang Rp 3.600 sekilonya.
Arum yang Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) XI itu makin mendongkol lantaran mengetahui adanya permainan importir untuk membanjiri pasar dengan mengakali peraturan. Caranya? Dengan memanfaatkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Tahun 2000 yang mengizinkan industri yang masih dalam tahap pengembangan untuk mengimpor bahan baku dengan bea masuk nol persen. Ia terang-terangan menyodorkan bukti tentang PT Yosilindo Aneka Coklat (YAC) dan PT Insan Makmur Sejati (IMS) yang telah mengimpor gula melebihi kapasitas.
Menurut Arum, YAC hanya mempunyai kapasitas produksi 100 ton tapi memiliki izin mengimpor gula putih (white sugar) sampai 125 ribu ton per tahun dengan bea masuk 0-5 persen. Sementara itu, IMS bisa mengantongi izin mendatangkan gula kasar (raw sugar) sebanyak 550 ribu ton setahunnya lantaran mengaku memiliki pabrik pengolahan di Lampung. Padahal, menurut Arum, kilang mereka itu belum beroperasi.
Nah, Arum menduga, kedua perusahaan itu telah menjual kembali gula impor tersebut ke pasar dalam negeri. Bila hal itu benar terjadi, pemilik kedua perusahaan tersebut akan menikmati keuntungan yang legit. "Soalnya, harga impor cuma Rp 2.100 sekilo," kata Arum, yang sebagian besar anggota asosiasi petani tebunya berdomisili di daerah Tapal Kuda, Jawa Timur, "tapi ia bisa menjual kembali dengan harga Rp 3.000 per kilogram."
YAC dan IMS ditengarai bisa leluasa mengantongi izin lantaran bermain mata dengan pejabat Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dan Sucofindo. Soalnya, dua instansi itulah yang berwenang memberikan izin dan mengawasi impor bahan baku berbea masuk rendah. Riyanto B. Yosokumoro mengakui pihaknya sudah mendapat laporan dan sedang mencari fakta tentang kasus tersebut. "Kami sedang mengecek ke BKPM," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Departemen Perindustrian dan Perdagangan itu, "berapa banyak yang diberi dan mengapa izin itu diberikan."
Hal di atas diakui Ketua BKPM Theo F. Toemion. Namun, berdasarkan penyelidikan di lapangan, kedua perusahaan pembuat makanan dan permen dari cokelat itu tak melanggar aturan. Untuk tahun 2001, misalnya, hingga Agustus ini keduanya sudah mengimpor 27.786 ton dari total kebutuhan 73.950 ton. Impor dilakukan bertahap. Yang sudah digunakan adalah 16 ribu ton, sehingga masih tersisa 11.786 ton. "Setelah kami cek, sisa itu masih disimpan di gudang mereka di Dadap," kata Theo. Artinya, kedua perusahaan itu terbukti tak menyalahgunakan gula impor yang mereka kuasai.
Untuk lebih memastikan, BKPM meminta bantuan Sucofindo untuk memverifikasi. Hasilnya, Sucofindo, yang datang ke gudang PT YAC, menemukan adanya stok gula sejumlah 11.786 ton, sebanyak gula yang belum mereka produksi. Karung gula tersebut bertuliskan "Ex Impor dari Thailand dan India." Dan di gudang IMS pun masih tersimpan 11 ribu ton double refine sugar yang belum digunakan. Adapun izin impor 540 ribu ton raw sugar diajukan oleh PT Kuruma Internusa Indonesia (KII), yang masih satu grup dengan YAC dan IMS. Tapi, karena pabriknya belum selesai dibangun, izin itu belum diberikan.
Bantahan serupa datang dari manajemen INSA Group, yang membawahkan YAC, IMS, dan KII. "Tepung gula yang kami impor itu tidak untuk diperdagangkan di dalam negeri, tapi untuk bahan baku produksi," kata Ochan Kurniasaputra, Asisten Manajer Umum INSA Group. Sedangkan pabrik milik KII di Lampung belum mengimpor karena memang belum beroperasi.
Nah, jadi siapa yang bermain dalam anjloknya harga gula?
ND, Rian, Dewi Rina Cahyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini