BULAN madu itu terasa begitu singkat. Hanya beberapa waktu menikmati harga gula yang manis, kini petani tebu harus kembali mengunyah pahitnya batang-batang tebu yang mereka hasilkan. Masa manis petani tebu bermula ketika pada 1998 pemerintah melepaskan monopoli impor gula yang dulu dikangkangi Badan Urusan Logistik (Bulog).
Sejak saat itu, harga gula domestik benar-benar manis, bertengger di level Rp 3.600 per kilogram. Namun, manisnya harga itu hanya berlangsung hingga Februari 1999. Soalnya, setelah itu, harga gula terus menyelam sampai ke kisaran harga sekarang sebesar Rp 3.100 sekilonya. Apa yang membuat harga gula anjlok? Para petani menyalahkan dipangkasnya bea masuk impor dari semula 95 persen menjadi hanya 20-25 persen.
Kebijakan itu tak pelak membuat harga gula impor menjadi lebih murah ketimbang gula lokal. Akibatnya, gampang ditebak, gula impor membanjiri pasar dalam negeri. Dan gula lokal menjadi kapiran di negeri sendiri. Situasi kian memburuk lantaran para tengkulak membonceng keadaan dengan menekan harga sehingga harga si manis semakin nyungsep.
Tak aneh, salah satu tuntutan petani untuk memperbaiki harga adalah meminta agar pemerintah menaikkan kembali bea masuk impor. Selain itu, mereka meminta supaya proses bongkar-muat gula dipindahkan dari Jawa Timur. "Kalau tetap ngotot dan ketahuan, apalagi peringatan kami tidak digubris, maaf saja bila kapal itu kami bakar, dan saya siap ditangkap," ujar Moch. Arum Sabil, Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat (APTR) XI Jawa Timur, dengan mimik amat serius.
Para petani itu juga meminta agar distribusi gula impor tak dilakukan pada masa giling tebu. Tak sekadar menuntut, mereka juga menggelar protes dengan cara menolak menjual tebu ke pabrik gula. Hal itu membuat beberapa pabrik gula di lingkungan Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) X dan XI belingsatan karena masa giling menjadi lebih pendek. Bahkan, mereka nyaris tak berproduksi sama sekali karena kekurangan pasokan bahan baku.
Namun, pemerintah berkilah bahwa anjloknya harga gula bukan semata lantaran rendahnya bea masuk impor. Ada juga faktor ketidakefisienan pabrik gula dan petani tebu sendiri. Handri Suwasono, pejabat Dinas Perkebunan Jawa Timur, misalnya, menunjuk kondisi mesin di pabrik yang kebanyakan sudah tua dan kualitas tebu yang kurang bagus karena bibitnya jelek. Akibatnya, biaya produksi gula membengkak dan membuatnya tak mampu bersaing dengan gula impor. Untuk mengatasinya, mau tak mau, pabrik harus meremajakan mesin dan para petani mesti mengganti bibit dengan yang kualitasnya lebih bagus.
Handri tak sendirian. Pejabat di tingkat pusat seperti Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi juga menunjuk rendahnya daya saing industri gula nasional sebagai penyebab banjirnya gula impor. Lebih spesifik, Rini menyebut soal rendemen (hasil perasan tebu yang menjadi gula) yang rendah. "Di dunia, rendemen itu rata-rata mencapai 14 persen, tapi di kita cuma 6 persen," kata Rini. Riyanto B. Yosokumoro menambahi kritik Rini. Menurut dia, mestinya satu pabrik gula berada di tengah perkebunan gula, sehingga begitu tebu dipotong bisa segera diproses ke pabrik. Sebab, bila tertahan lama, tebu itu bisa mengering. "Tapi yang terjadi sekarang," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri itu, "banyak pabrik gula yang mengambil gula dari sana-sini."
Nah, giliran Nurmahmudi Ismail yang membantah argumen Rini dan Riyanto. Menurut mantan Menteri Kehutanan dan Perkebunan itu, anjloknya harga gula dan kesengsaraan petani tebu merupakan buah kebijakan pemerintah yang selama puluhan tahun tak berpihak kepada petani. Di masa Orde Baru, produksi gula?sama seperti beras dan bahan pokok lain nya?dikontrol oleh Bulog. Tujuannya adalah menjamin ketersediaan dengan harga yang murah.
Untuk menyeimbangkan harga produksi yang terlalu murah, pemerintah kemudian memberikan subsidi. Tapi belakangan terbukti, subsidi itu tidak tepat sasaran. Subsidi makin tak populer dengan datangnya era pasar bebas. Karena itu, subsidi kemudian dicabut, tapi kerusakan sudah terjadi. Harga sudah telanjur rendah, sedangkan petani sudah ogah-ogahan menanam tebu. Mereka beralih ke tanaman lain yang masa tanamnya lebih pendek dan hasilnya lebih baik. Akibatnya, banyak kebun tebu dan pabrik tak lagi dirawat sebagaimana mestinya. Tak aneh bila efisiensi dan produktivitas gula menurun drastis. Pada 1930-an, Indonesia pernah menjadi eksportir gula terbesar kedua di dunia, setelah Kuba. Tapi, pada 1998, kita berubah menjadi importir gula terbesar kedua di dunia, setelah Rusia.
Kendati begitu, Nurmahmudi tak percaya kualitas rendemen tebu sudah begitu jelek. Sebab, selama ini, yang menentukan kualitas rendemen itu adalah pabrik gula dan mereka melakukannya secara tidak transparan. Selama ini, dalam sistem pertanian tebu, ada pembagian 35 persen untuk pabrik gula sebagai ongkos giling dan 65 persen untuk petani. Jadi, kalau dilaporkan rendemennya itu 6 persen dari 200 ton tebu, ada 12 ton gula yang bisa dihasilkan. Dari 12 ton itu, 65 persen untuk petani dan 35 persen untuk pabrik gula. Nah, di kalangan petani dan karyawan pabrik gula, banyak cerita bahwa setelah pembagian itu masih ada yang namanya "gula tak bertuan". Jadi, ada dugaan rendemen itu sebetulnya lebih dari 6 persen, tapi yang diakui cuma 6 persen oleh pabrik gula.
Untuk memperbaiki nasib petani, menurut Nurmahmudi, pemerintah harus kembali memberlakukan bea masuk impor gula. Ia mencontohkan Amerika yang masih mengenakan bea masuk 195 persen dan beberapa negara Eropa yang menetapkan bea masuk 240 persen. Bahkan, Thailand yang tergolong eksportir pun masih menetapkan bea masuk yang cukup tinggi: 104 persen.
Selain itu, ada lagi alasan yang mendukung perlunya penerapan bea masuk impor. Nurmahmudi curiga ada sindikat internasional yang melakukan dumping harga ke Indonesia. Ia menunjuk harga gula impor ke Indonesia yang cuma sekitar US$ 290 per ton. Padahal, harga rata-rata paling murah di pasar inter-nasional adalah US$ 402 per ton. Ia menduga harga dumping itu diberikan karena adanya kelebihan 25 juta ton gula di pasar internasional. Kasarnya, ketimbang dibuang, lebih baik kelebihan itu dijual meski harganya supermurah.
Lalu, berapa tarif bea masuk impor gula yang adil? Mulyanto, Direktur Institute for Science and Technology Studies, menyebut angka 65 persen. Dengan angka itu, kepentingan petani dan pabrik gula bisa dilindungi, sementara konsumen juga tak terlalu dirugikan oleh harga gula yang terlalu tinggi. Namun, Mulyanto tegas mengatakan bahwa penerapan bea masuk itu bukan untuk memanjakan petani dan pabrik. Penetapan bea masuk itu dimaksudkan untuk memberi petani kesempatan mengganti bibit tebu. Juga agar pabrik gula melakukan efisiensi dengan memangkas jumlah karyawan, memodernisasi mesin, dan membenahi manajemen agar lebih transparan.
Nugroho Dewanto, Rian Suryalibrata, Abdi Purmono (Jember), Dwidjo U. Maksum (Kediri)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini