Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pasokan beras Bulog saat ini sudah mencapai 935 ribu ton.
Alur beras dari petani hingga ke konsumen ada sekitar tujuh lapis.
Data rantai pasok tersebut tidak dikuasai oleh pemerintah.
JAKARTA – Sekretaris Perusahaan Perum Bulog Awaludin Iqbal mengatakan saat ini perusahaan pelat merah itu tengah berfokus menyerap gabah petani. Menurut dia, realisasi penyerapan gabah hingga Selasa lalu sudah mencapai 146 ribu ton sejak pengadaan dilakukan tahun ini. Iqbal mengatakan pasokan beras Bulog saat ini bahkan sudah mencapai 935 ribu ton. “Dalam beberapa hari lagi sudah mencapai 1 juta ton,” ujar Iqbal kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jumlah tersebut bertolak belakang dengan informasi Kementerian Perdagangan, yang menyebutkan bahwa pasokan beras Bulog hanya 800 ribu ton. Jumlah itu masih harus dikurangi total beras turun mutu hasil impor pada 2018 yang tidak terpakai hingga hari ini. Total beras yang dianggap turun kualitasnya itu sebanyak 270-300 ribu ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan begitu, jika stok saat ini dikurangi sisa beras impor, jumlahnya bisa di bawah 500 ribu ton. Itu sebabnya sisa pasokan harus dipenuhi dari impor. Menurut ketentuan, stok beras di gudang Bulog harus mencapai 1-1,5 juta ton per tahun.
Iqbal melanjutkan, saat ini sisa beras impor tahun 2018 yang mengalami turun mutu sebanyak 106 ribu ton. “Stok turun mutu tersebut akan kami lakukan re-prosessing dan akan diuji lagi kualitasnya,” ujar Iqbal.
Anggota Ombudsman, Yeka Hendri Fatika, mengatakan, kalaupun Kementerian Perdagangan mencatat stok Bulog yang layak konsumsi kurang dari 500 ribu ton atau 20 persen dari kebutuhan rata-rata beras tiap bulan sebesar 2,5 juta ton, jumlah tersebut masih relatif aman. “Perlu diingat, stok beras yang ada saat ini bukan hanya di gudang Bulog, tapi ada juga di tempat lain,” kata Yeka.
Pada Februari 2021, Ombudsman mencatat stok beras di penggilingan masih ada sekitar 1 juta ton. Adapun stok di lumbung pangan sebanyak 6.300 ton, Pasar Induk Cipinang 30,6 ribu ton, rumah tangga 3,2 juta ton, serta tempat lain sebanyak 260,2 ribu ton. Bila diakumulasikan, jumlah stok beras yang ada saat ini sebanyak 6 juta ton.
Bila merujuk pada angka Badan Pusat Statistik (BPS), pada Januari hingga April, lahan panen padi di dalam negeri bisa menghasilkan 14,45 juta ton beras. Angka ini naik 26,8 persen atau 3 juta ton beras dibanding pada tahun sebelumnya. Dilihat dari indikator lain, stok beras di Jabodetabek tercatat sebanyak 3.300-3.500 ton per hari.
“Padahal normalnya hanya 3.000 ton per hari. Dari angka tersebut, Ombudsman tidak melihat adanya kelangkaan stok beras dalam negeri, bahkan menunjukkan indikasi panen raya,” ujar Yeka. Dari sisi stabilitas harga, Ombudsman melihat, dalam tiga tahun terakhir, pemerintah berhasil menjaga gejolak harga beras.
Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi sebelumnya mengatakan wacana impor beras 1 juta ton muncul karena alasan yang tidak dapat diprediksi, yaitu penyerapan gabah petani yang kurang maksimal akibat hujan. Menurut dia, serapan gabah kering hingga akhir Maret 2021 baru sebanyak 85 ribu ton, jauh dari perkiraan awal di angka 400-500 ribu ton.
Karena gabah petani basah dan tidak memenuhi tingkat kekeringan standar Bulog, perusahaan tersebut tidak dapat menyerap gabah yang dimaksudkan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kondisi ini menjadi lebih buruk ketika stok beras bulog tercatat kurang dari 500 ribu ton karena adanya beras turun mutu. Padahal seharusnya Bulog memiliki iron stock berkisar 1-1,5 juta ton per tahun.
Suasana di gudang Bulog, Kelapa Gading, Jakarta, 19 Maret 2021. Tempo/Tony Hartawan
“Jadi, kira-kira, stok akhir Bulog 800 ribu dikurangi 300 ribu, berarti stoknya mungkin tidak mencapai 500 ribu. Ini stok yang paling rendah dalam sejarah Bulog,” ujar Lutfi, pekan lalu.
Argumentasi tersebut dibantah oleh Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa. Menurut dia, petani tidak mungkin membiarkan gabah dari hasil sawahnya itu basah atau memiliki kadar air yang tinggi. “Itu alasan yang dibuat-buat dan tidak mungkin. Logikanya, bagaimana petani susah payah menanam selama empat bulan, lalu setelah panen, gabah dibiarkan memiliki kadar air tinggi?” ujar Dwi.
Menurut dia, petani sudah terbiasa menghadapi hal serupa setiap tahun, sehingga mereka akan berupaya semaksimal mungkin menurunkan kadar air pada gabah hingga di bawah 25 persen. Biasanya, kata Dwi, petani akan berusaha keras agar kadar air pada gabah berada pada angka 14-15 persen. Menurut dia, tidak akan ada masalah sama sekali apabila Bulog bisa menyerap gabah atau beras petani di atas 1 juta ton.
“Kalau misalnya Bulog meningkatkan serapannya dari target semula 1,4 juta ton beras, selesai sudah persoalan kita. Buat apa kita impor dari petani Thailand?” ujar Dwi. Menurut dia, keputusan impor sebaiknya ditetapkan pada Juli-Agustus mendatang untuk memprediksi angka potensi produksi yang lebih tepat.
Dwi mendorong pemerintah untuk membatalkan keputusan impor. Selain itu, ia meminta pemerintah meningkatkan serapan beras Bulog dari petani, dari 1,4 juta ton menjadi 2,5 juta ton. Kemudian ia meminta pemerintah meningkatkan harga pokok penjualan (HPP) gabah kering di tingkat petani (GKP) dari Rp 4.200 menjadi Rp 4.500 per kilogram.
Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Pahala Nainggolan, mengatakan data ketersediaan pasokan beras nasional menjadi persoalan utama setiap kali menentukan kebijakan impor. Menurut dia, alur beras petani ke tangan pedagang hingga akhirnya ke konsumen ada sekitar tujuh lapis. Sayangnya, data rantai pasok tersebut tidak dikuasai oleh pemerintah. “Untuk itu, pemerintah harus mengeksplorasi ini. Selama ini, data kepemilikan stok tidak dikontrol pemerintah. Kalau bisa, minta data stok sampai penggilingan. Data ini mempengaruhi semuanya,” kata dia.
GHOIDA | LARISSA HUDA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo