SUDAH sering pejabat daerah dilarang memungut pajak tambahan
baik secara resmi maupun tidak. Paling akhir larangan itu
tersimpul dalam Paket 4 pril yang bertujuan mendorong ekspor
non-minyak. Kini, setahun sesudan Paket itu berlaku, penyakit
lama kambuh lagi. Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI)
terutarna sekali merasakanya.
Sebelum April 1976, seringkali terjadi pajak tambahan itu
berlaku resmi di daerah, tapi tak resmi di mata pemerintah
pusat. Ada pula, tentu saja pungutan di daerah yang tak resmi di
minta Gubernur. Pihak pengusaha kayu menyebutnya sebagai
pungutan liar atau uang siluman.
Di Riau, Gubernur Arifin Ahmad malah sudah mengeluarkan paket
khusus, selain menyebar-luaskan Paket 1 April untuk melarang
segala macam pungutan liar di bidang ekspor. Namun, paket khusus
itu tidak selalu dipatuhi. Ketua KADIN Riau, R.A. Karim,
menaksir pungutan liar itu mencapai 15%, dari hasil ekspor
kayu. "Kami punya bukti cukup dan bukan cuma isyu", kata Karim
pada koresponden TEMPO Rida K. Liamsi. "Bukti ini baru akan
dibeberkan kalau pihak berwajib memintanya". Karim adalah juga
Direktur PT Meranti, salah satu dari 20 perusahaan yang bersisa
memegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Riau. Kalau Riau
mengekspor kayu seharga US$ 34 juta tahun lalu, pungutan 15%,
itu jatuh ke mana?
Di Kalimantan Selatan, pihak MPI menaksir uang siluman mencapai
Rp 100 bagi tiap M3 kayu yang melewati Sungai Barito.
Sebagaimana di Riau, MPI Kalimantm Selatan pun kini mengeluh.
Banjarmasin mencatat ekspor kayunya 70.000 M3 sebulan.
Tertolong
Amhang Barito sejak selesai dikeruk Nopember yang lalu,
memungkinkan lebih banyak ekspor kayu. Siluman pun makin galak
dengan terbukanya Ambang Barito ini. Walaupun mengeluh karena
siluman, para pengusaha kini banyak tertolong. Kapal khusus,
umpamanya, kini tidak perlu lagi diombang-ambing ombak sementara
memuat kayu. Tempat pemuatan kayu kini yang berada dekat Ambang
Barito sungguh aman dari gelombang. Berkurang risiko kayu
hanyut. Jarak dari tempat penebangan sampai ke pemuatan kapal
pun makin dekat. Setiap kapal menghemat waktu rata-rata 8 jam.
Tapi Ambang Barito tampaknya minta dikeruk secara berkala.
Menjelang ia terbuka, biaya pengerukannya mencapai Rp 4 milyar
lebih. Selama 6 bulan terakhir lumpur mengendap lagi. Kapal
Sulawesi II bekerja lagi baru-baru ini mengeruk 360.000 M3
lumpur. Habis lagi biaya Rp 7 juta. Biaya itu mungkin bisa
gampang diperoleh, komentar satu pengusaha, "bila hasil siluman
sebulan saja diserahkan pada Administrasi Pelabuhan (Adpel)".
Adpel Banjarmasin pernah menantang MPI supaya melapor saja
terus-terang. Tapi pimpinan MPI Kalimantan Selatan mencegah
konfrontasi, mengingat siluman tidak mungkin dihapus sekaligus.
Kebetulan ada prakarsa setempat membentuk semacam forum, bernama
Banjarmasin Meeting Club, di mana para pengusaha dan pejabat
bisa berbicara. Pihak MPI rupanya mengharap masalah siluman itu
secara perlahan bisa dikurangi melalui BMC itu.
Kembali ke Riau, para pengusaha mulai berfikir bagaimana caranya
menertibkan pungutan liar. Ada gagasan, umpamanya, supaya MPI
Riau sendiri memungut pajak dari anggotanya maksimal 5% dan
kemudian menyalurkan dana pada pihak yang memerlukan "sumbangan"
ini atau itu. Cara begini dipraktekkan MPI di Sumatera Selatan.
Ketua MPI Riau, Arief Munandar, yang juga jadi Direktur PT
Chandra Dirgantara berpendapat, perlu ada "ketentuan pungutan"
dalam "batas yang masih terpikul" oleh pengusaha. Pungutan
sampai 15% rupanya tak terpikul.
Sekwilwa Riau, Syarifuddin Lubis tangan kanan Cubernur Arifin,
mengatakan para pengusaha tidak pernah mau melapor. "Jadi,
bagaimana mau diawasi ada atau tidaknya pungutan?" Sekwilda
Lubis bertanya. Para pengusaha tentunya berharap, bahwa dengan
bercerita kepada pers, mereka sudah kasih isyarat: mengapa
"kura-kura dalam perahu"?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini