Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Siluman Itu Kian Galak

Pungutan liar di bidang ekspor kayu di Riau & Kalimantan menjadi-jadi. Masyarakat Perkayuan Indonesia sudah memberi isyarat tentang pungutan itu melalui pers, tapi pihak berwenang pura-pura tak tahu.

30 April 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH sering pejabat daerah dilarang memungut pajak tambahan baik secara resmi maupun tidak. Paling akhir larangan itu tersimpul dalam Paket 4 pril yang bertujuan mendorong ekspor non-minyak. Kini, setahun sesudan Paket itu berlaku, penyakit lama kambuh lagi. Masyarakat Perkayuan Indonesia (MPI) terutarna sekali merasakanya. Sebelum April 1976, seringkali terjadi pajak tambahan itu berlaku resmi di daerah, tapi tak resmi di mata pemerintah pusat. Ada pula, tentu saja pungutan di daerah yang tak resmi di minta Gubernur. Pihak pengusaha kayu menyebutnya sebagai pungutan liar atau uang siluman. Di Riau, Gubernur Arifin Ahmad malah sudah mengeluarkan paket khusus, selain menyebar-luaskan Paket 1 April untuk melarang segala macam pungutan liar di bidang ekspor. Namun, paket khusus itu tidak selalu dipatuhi. Ketua KADIN Riau, R.A. Karim, menaksir pungutan liar itu mencapai 15%, dari hasil ekspor kayu. "Kami punya bukti cukup dan bukan cuma isyu", kata Karim pada koresponden TEMPO Rida K. Liamsi. "Bukti ini baru akan dibeberkan kalau pihak berwajib memintanya". Karim adalah juga Direktur PT Meranti, salah satu dari 20 perusahaan yang bersisa memegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Riau. Kalau Riau mengekspor kayu seharga US$ 34 juta tahun lalu, pungutan 15%, itu jatuh ke mana? Di Kalimantan Selatan, pihak MPI menaksir uang siluman mencapai Rp 100 bagi tiap M3 kayu yang melewati Sungai Barito. Sebagaimana di Riau, MPI Kalimantm Selatan pun kini mengeluh. Banjarmasin mencatat ekspor kayunya 70.000 M3 sebulan. Tertolong Amhang Barito sejak selesai dikeruk Nopember yang lalu, memungkinkan lebih banyak ekspor kayu. Siluman pun makin galak dengan terbukanya Ambang Barito ini. Walaupun mengeluh karena siluman, para pengusaha kini banyak tertolong. Kapal khusus, umpamanya, kini tidak perlu lagi diombang-ambing ombak sementara memuat kayu. Tempat pemuatan kayu kini yang berada dekat Ambang Barito sungguh aman dari gelombang. Berkurang risiko kayu hanyut. Jarak dari tempat penebangan sampai ke pemuatan kapal pun makin dekat. Setiap kapal menghemat waktu rata-rata 8 jam. Tapi Ambang Barito tampaknya minta dikeruk secara berkala. Menjelang ia terbuka, biaya pengerukannya mencapai Rp 4 milyar lebih. Selama 6 bulan terakhir lumpur mengendap lagi. Kapal Sulawesi II bekerja lagi baru-baru ini mengeruk 360.000 M3 lumpur. Habis lagi biaya Rp 7 juta. Biaya itu mungkin bisa gampang diperoleh, komentar satu pengusaha, "bila hasil siluman sebulan saja diserahkan pada Administrasi Pelabuhan (Adpel)". Adpel Banjarmasin pernah menantang MPI supaya melapor saja terus-terang. Tapi pimpinan MPI Kalimantan Selatan mencegah konfrontasi, mengingat siluman tidak mungkin dihapus sekaligus. Kebetulan ada prakarsa setempat membentuk semacam forum, bernama Banjarmasin Meeting Club, di mana para pengusaha dan pejabat bisa berbicara. Pihak MPI rupanya mengharap masalah siluman itu secara perlahan bisa dikurangi melalui BMC itu. Kembali ke Riau, para pengusaha mulai berfikir bagaimana caranya menertibkan pungutan liar. Ada gagasan, umpamanya, supaya MPI Riau sendiri memungut pajak dari anggotanya maksimal 5% dan kemudian menyalurkan dana pada pihak yang memerlukan "sumbangan" ini atau itu. Cara begini dipraktekkan MPI di Sumatera Selatan. Ketua MPI Riau, Arief Munandar, yang juga jadi Direktur PT Chandra Dirgantara berpendapat, perlu ada "ketentuan pungutan" dalam "batas yang masih terpikul" oleh pengusaha. Pungutan sampai 15% rupanya tak terpikul. Sekwilwa Riau, Syarifuddin Lubis tangan kanan Cubernur Arifin, mengatakan para pengusaha tidak pernah mau melapor. "Jadi, bagaimana mau diawasi ada atau tidaknya pungutan?" Sekwilda Lubis bertanya. Para pengusaha tentunya berharap, bahwa dengan bercerita kepada pers, mereka sudah kasih isyarat: mengapa "kura-kura dalam perahu"?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus