MATA pelajaran Bahasa Indonesia mungkin tidak menarik. Buktinya, dari hasil Ebtanas SMTA baru-baru ini, nilai rata-rata bidang studi ini terburuk kedua setelah Ilmu Pengetahuan lam. Nilai yang rendah ini diakui sendiri oleh Anwar Jasin, sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah. "Saya juga heran, kok, pukul rata nilai Bahasa Indonesia malah lebih rendah daripada Bahasa Inggris," katanya, Selasa pekan lalu. Rosmid Rosa, 45, staf pengajar jurusan Bahasa Indonesia Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) IKIP Jakarta, juga heran. Rosmid ikut menyortir pendaftaran sistem penerimaan mahasiswa baru di UI sejak Senin pekan lalu. Dan Senin pekan ini ia mengaku Jarang menemukan lulusan SMA dengan nilai Ebtanas Bahasa Indonesia lebih dari 5. "Kebanyakan berkisar antara 3 dan 4,5," katanya kepada TEMPO. Padahal, bidang studi ini sudah diberikan sejak SD. Tambahan lagi, komunikasi di sekolah 'kan sudah menggunakan bahasa Indonesia. Dan, dalam pergaulan sehari-hari hampir selalu bahasa Indonesia yang dipakai: membaca majalah, membaca pengumuman, mendengarkan radio, menonton televisi. Apa yang salah? Seorang dosen di FPBS IKIP Jakarta, Ahmad Subroto, menunjuk pada bidang studi ini yang di SMA lebih dari 50% berupa pengetahuan bahasa. Ahmad, 64, menilai, "Bila terlalu berat ke tata bahasa, akan membuat siswa sekadar menghafal pelajaran." Tujuan sebenarnya pelajaran ini, katanya, akan larut. Dan karena itu, ia menduga, siswa jadi tak tertarik pada bidang studi bahasa Indonesia, lalu mengabaikannya. Akibatnya, nilai Ebtanasnya jatuh. Padahal, dalam Kurikulum 1975 - peserta Ebtanas SMA tahun ini masih produk kurikulum itu - tujuan pelajaran bahasa Indonesia sudah jelas. Antara lain, dengan bidang studi ini siswa diharapkan mampu berbicara, menyimak, membaca, menulis dengan bahasa yang baik. Kemampuan-kemampuan itu dibentuk lewat pokok bahasan, rnisalnya, tata kalimat, gaya bahasa, kosa kata, kesusastraan, diskusi, mengarang. Sampai di sini tampaknya semua beres. Apalagi ditambah dengan ketentuan bahwa bidang studi ini termasuk pelajaran wajib, karena itu nilai minimal harus 6. Yang kemudian banyak dikeluhkan para guru, dalam Kurikulum 1975 terlalu banyak materi pelajaran yang harus diberikan, hingga waktu yang disediakan tidak cukup. Tentu saja termasuk pelajaran Bahasa Indonesia. Maidar Arsjad, dosen di FPBS IKIP Jakarta, punya bukti-bukti. Ia tiga tahun lalu menyebarkan angket kepada guru bahasa Indonesia SMA di DKI Jakarta. Ternyata, tak semua guru mengajarkan Kurikulum 1975 secara lengkap. Dan, ini, pelajaran mengaranglah yang kemudian dikalahkan. Sebagian besar guru hanya memberikan pelajaran mengarang dua kali dalam-satu semester. Bahkan, sekitar 10% responden mengaku tak pernah memberikan pelaaran mengarang. Padahal, menurut Ahmad Subroto, rekan Maidar, pelajaran ini baru menarik bila banyak diberikan pelajaran keterampilan bahasa. Dan ini efektif lewat pelajaran mengarang. Bertolak dari karangan siswa itulah materi pelajaran yang lain bisa dibahas. Misalnya, struktur kalimat, gaya bahasa, cara menutup atau menarik kesimpulan karangan. Sebab, pelajaran pengetahuan bahasa bila guru tak pandai-pandai membawakannya--memang jadi pelajaran yang kering dan membosankan. Akibatnya, siswa cenderung baru belajar menjelang ulangan atau ujian. Karena itu, pelajaran ini mudah terlupakan. Seorang guru bahasa Indonesia di SMTA kejuruan di Bandung mengakui hal ini. Akibatnya, "Murid-murid saya Ebtanasnya jatuh, terutama dalam soal meletakkan tanda baca pada karangan surat." Tapi para guru tak sepenuhnya keliru. Sejak zaman dulu, dalam tes atau ujian atau Ebtanas, bentuk soal Bahasa Indonesia cenderung menguji hanya pengetahuan bahasa, bukan kemampuan berbahasa. Baca saja soal-soal Ebtanas Bahasa Indonesia SMA yang lalu. Yang dipersoalkan, misalnya, apa itu metatesis (pergeseran fonem), lalu bedanya ejaan Suwandi dan ejaan Van Ophuysen. Lalu, dalam sastranya, ditanyakan arti aliran-aliran, misalnya ekspresionlsme. Anwar Jasin, sekretaris Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah itu, pun dengan rendah hati mengakui, jangan-jangan soal-soal Ebtanasnyalah yang kurang pas. Guru Bahasa Indonesia SMTA kejuruan di Bandung itu, misalnya, heran. Dari dulu tujuan kurikulum antara lain membuat siswa terampil menyatakan pikiran dengan bahasa yang baik. "Murid-murid saya," katanya, "bisa sangat baik bertukar pikiran dalam sebuah diskusi Tapi kemampuan ini 'kan tak diebtanaskan." Yang juga tak diujikan yaitu mengarang. Padahal, seperti dikatakan Ahmad Subroto, tak ada artinya seseorang hafal segala macam jenis gaya bahasa, hafal aliran-aliran dalam sastra, hafal bagaimana struktur kalimat yang betul, bila tak bisa memanfaatkan pengetahuannya itu. Maka, Ahmad Subroto menduga, seandainya keterampilan berbahasa, baik lisan maupun tulisan, diujikan, mungkin nilai Ebtanas Bahasa Indonesia tak seburuk sekaran. Dan kemampuan ini sah dinilai, katanya. "Sebab inilah yang digunakan dalam komunikasi kegiatan hidup sehari-hari," kata Ahmad kepada TEMPO. Ahmad agaknya tak berlebihan. Tiap tahun sejumlah siswa SMTA mengikuti Lomba Karya Ilmu Pengetahuan, baik yang diselenggarakan Departemen P & K maupun LIPI, dan boleh dibilang karya tulis mereka urut dan benar. Lalu beberapa sekolah memiliki majalah sekolah yang dikelola oleh para siswa sendiri. Bahkan, di Padang, sebuah harian mengeluarkan edisi khusus koran sekolah yang muncul tiap Selasa. Sebagian besar isi koran ini datang dari para siswa SMTP dan SMTA (lihat: Media). Maka, menarik menunggu pengumuman hasil Ebtanas SMTP pekan ini. Seandainya hasilnya sama dengan Ebtanas SMTA, mungkin soal-soal Ebtanas memang kurang pas, atau metode pengajaran perlu diubah - setidaknya untuk bidang studi Bahasa Indonesia. Bambang Bujono Laporan Yusroni Henridewanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini