Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Soal Impor 1 Juta Ton Beras, Faisal Basri Ingatkan Pengalaman Buruk pada 2018

Ekonom senior Faisal Basri menyoroti rencana pemerintah mengimpor satu juta ton beras pada tahun ini. Faisal mengingatkan pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan pada tahun 2018.

16 Maret 2021 | 10.52 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Faisal Basri. TEMPO/Jati Mahatmaji

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyoroti rencana pemerintah mengimpor satu juta ton beras pada tahun ini. Faisal mengingatkan pemerintah agar tidak mengulangi kesalahan pada tahun 2018.

"Tahun ini pengalaman buruk 2018 berpotensi kembali terulang," ujar Faisal dalam laman pribadinya faisalbasri.com, Senin, 15 Maret 2021.

Kala itu, dengan tingkat produksi yang bisa dikatakan tidak buruk, Faisal melihat lonjakan impor sepanjang tahun 2018 mengakibatkan stok yang dikuasai oleh pemerintah untuk PSO/CBP naik hampir 4 juta ton sedangkan penyalurannya anjlok dari 2,7 juta ton menjadi 1,9 juta ton. Akibatnya, stok beras melonjak lebih dua kali lipat dari 0,9 juta ton pada akhir 2017 menjadi 2 juta ton pada akhir 2018.

Bulog pun, menurut dia, kewalahan mengelola stok sebanyak itu. Bahkan, hingga kini Bulog masih memiliki stok beras impor ratusan ribu ton sisa pengadaan tahun 2018.

"Kualitas beras yang dikelolanya merosot, bahkan ada yang menjadi tidak layak konsumsi. Ongkos “uang mati” pun tentu saja meningkat. Yang lebih mendasar lagi, kemampuan Bulog menyerap beras dari petani menjadi terbatas," tutur dia.

Meskipun kala itu memang butuh impor untuk stabilisasi harga menjelang pemilu, namun Faisal menilai jumlahnya melebihi kebutuhan. Tak ayal, harga gabah kering di tingkat petani sempat merosot ke titik terendah dalam 9 bulan terakhir.

Ia mengatakan penyebab lain dari penurunan harga adalah waktu pelaksanaan impor yang ganjil, yakni impor relatif tinggi ketika masa panen atau tatkala terjadi surplus dan sangat sedikit ketika sedang mengalami defisit, alias konsumsi lebih besar dari produksi.

Faisal khawatir kondisi serupa akan terjadi lagi pada tahun ini. "Pengumuman impor beras sebanyak 1 juta ton secara langsung memengaruhi psikologi pasar yang cenderung menurunkan harga jual di tingkat petani. Apalagi petani sedang menyongsong masa panen raya (April-Mei)," tutur dia.

Sebelum pengumuman impor saja, kata dia, harga gabah di tingkat petani sudah cenderung tertekan. Sekalipun harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani pada Januari 2021 naik 3 persen dibandingkan Desember 2020, namun masih lebih rendah dibandingkan Januari tahun lalu (year-on-year) atau turun sebesar 6,7 persen.

"Untuk harga gabah kering giling (GKG) lebih parah lagi, yaitu turun 0,73 persen dibandingkan bulan sebelumnya (Desember 2020) dan turun tajam sebesar 8,28 persen dibandingkan Januari 2020," tuturnya.

Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi mengatakan impor beras 1 juta ton di 2021 tidak akan menghancurkan harga di tingkat petani. Dia memastikan bahwa kebijakan itu bertujuan menjaga stok dan menstabilkan harga beras.

"Ini (impor) bagian dari strategi memastikan harga stabil. Percayalah tidak ada niat pemerintah untuk hancurkan harga petani terutama saat sedang panen raya," kata Mendag dalam konferensi pers virtual, Senin, 15 Maret 2021.

Pemerintah, kata dia, memerlukan iron stock atau cadangan untuk memastikan pasokan terus terjaga. Menurutnya, sebagai cadangan, beras impor tersebut tak akan digelontorkan ke pasar saat periode panen raya, melainkan ketika ada kebutuhan mendesak seperti bansos ataupun operasi pasar untuk stabilisasi harga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus