SUATU keputusan yang cukup membingungkan, sebenarnya. Sesudah
bersidang tiga hari di Aljir, ibukota Aljazair, organisasi
negara-negara pengekspor minyak (OPEC) pekan lalu keluar dengan
sesuatu yang mirip solidaritas, tapi juga bukan seia-sekata. Di
satu pihak 12 anggota setuju harga patokan minyak ditentukan
sebesar US$ 32 per barrel, mulai berlaku per 1 Juli. Tapi di
lain pihak Arab Saudi, produsen harga patokan Arabian Light
Crude, keberatan untuk menaikkan di atas US$ 28 per barrel.
"Saya tak akan menaikkan harga minyak saya," kata Menteri
Perminyakan Arab Saudi Sheik Zaki Yamani sehabis sidang. Kalau
Arab Saudi, produsen 9,5 juta barrel minyak sehari, sudah bicara
begitu, tak ada satu negara OPEC pun yang bisa menggugat. Tapi
ada juga yang melihat hasil Aljir menggembirakan bagi OPEC.
Termasuk Menteri Pertambangan dan Energi Indonesia Subroto. "Ini
merupakan langkah ke arah penyatuan kembali harga-harga,"
katanya.
Memang dibandingkan dengan sidang OPEC di Karakas, ibukota
Venezuela akhir tahun lalu, harga "pengertian" yang dicapai di
Aljir pekan lalu merupakan satu langkah penyatuan kembali.
Sekalipun sulit diharapkan bahwa Arab Saudi, yang beberapa waktu
sebelum sidang OPEC sudah menaikkan harga patokan dengan US$ 2
per barrel, tiba-tiba akan membuat kejutan.
Tak Digubris
Yamani tetap tak melihat manfaat untuk menaikkan harga. Pasaran,
begitulah alasannya, agak mengendur belakangan ini. Sekalipun
begitu toh sidang mencapai persetujuan untuk menetapkan harga
maksimum minyak US$ 37 per barrel sampai September mendatang.
Secara teknis, setiap anggota OPEC boleh menaikkan harga
minyaknya dengan US$ 5 per barrel di atas harga patokan yang
baru.
Namun ini juga merupakan keputusan yang kurang ada artinya.
Setelah kenaikan harga minyak yang beruntun, ditambah masih
adanya resesi di negaranegara industri dan surplus persediaan
minyak dunia, belakangan ini tak ada negara OPEC yang berani
mengambil risiko menaikkanharga minyaknya. Kccuali Aljazdir. la
mengerek harga setinggi US$ 38,21 untuk setiap barrel ekspor
minyak.
Menurut Belkacem Nabi, Menteri Energi Aljazair yang menjadi
Ketua OPEC, harga minyak itu sebenarnya adalah US$ 35,21 per
barrel. Dan yang US$ 3 per barrel adalah pungutan untuk biaya
eksplorasi. Unsur biaya eksplorasi tersebut tidak terkena dalam
kesepakatan harga maksimum US$ 37 per barrel. Artinya, Aljazair
bisa saja menaikkan harga minyaknya sampai maksimum US$ 37 tiap
barrel, plus US$ 3 untuk biaya eksplorasi, menjadi US$ 40
sebarrel.
Akan halnya Iran, Menteri Perminyakan Ali Akbar Moinfar
dikabarkan merasa "cukup puas" dengan keputusan sidang yang
kembali menetapkan "solidaritas OPEC", katanya. Dan Iran
diperkirakan akan tetap menjual harga patokan minyak mereka
dengan US$ 35 per barrel. Tapi harap dicatat dengan harga yang
setinggi itu Iran pernah ditolak sebentar oleh konsumen di
Jepang.
Belum tentu juga negara-negara lain akan menjual minyaknya
sejalan dengan keputusan di Aljir itu, disertai tambahan harga
karena perbedaan mutu dan jarak (differetials) antara US$ 1
sampai US$ 5 per barrel. Itu sebabnya untuk menjaga stabilitas
harga, Ali Moinfar mengusulkan agar produksi OPEC dipertahankan
pada tingkat 1978, yakni 26,5 juta barrel tiap hari. Itu berarti
produksi Arab Saudi perlu dikurangi dengan 1 juta barrel tiap
hari dari tingkatnya yang sekarang 9,5 juta barrel sehari.
Bisa dipastikan usul baik itu tak akan dianut. Sebelum sidang
Menteri Yamani pernah bilang, Arab Saudi bersedia menekan
produksi asal saja para anggota lain suka mengerem harga. Suatu
hal yang ternyata tak digubris oleh sidang.
Indonesia, yang kini mengekspor satU juta barrel lebih setiap
hari, diduga dalam hari-hari ini akan menyesuaikan harga patokan
Minas Crude tidak lebih rendah dari harga patokan yang disetujui
sidang. Dengan kata lain, minimal bertambah dengan US$ 1,50 per
barrel untuk Minas. Artinya ini suatu tambahan penghasilan lagi
di luar APBN 1980/1981, yang memroyeksikan kenaikan harga minyak
Indonesia tak akan melampaui US$ 30 per barrel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini