CERITA tentang lonjakan (boom) ekspor Indonesia masih terus
berlanjut hingga memasukitahun 1980 ini. Angka.mgka final
tentang neraca pembayaran Indonesia belum tersedia. Tapi angka
sementara memberi indikasi adalah tahun ini merupakan tahun yang
cukup baik sesudah 1979 bagi perdagangan luar negeri Indonesia.
Terjadi surplus dalam tahun anggaran 1979/190 yang baru selesai
akhir Maret lalu. Ini berarti Indonesia untuk pertama kalinya
lebih banyak menjual barang dan jasa daripada membelinya dari
luar. Adalah kenaikan harga komoditi yang cukup tajam di luar
negeri akhir-akhir ini memungkinkan terjadinya lonjakan itu.
Selama dua bulan pertama tahun ini, devisa dari ekspor
non-minyak sudah mencapai US$ 990 juta 730% lebih banyak dari
dua bulan pertama tahun lalu. Sebagian besar kenaikan ini
berasal dari ekspor kayu yang dalam masa yang sama naik dengan
sekitar US$ 130 juta. Harga kayu di luar negeri antara masa
tersebut memang naik 30%.
Kenaikan harga yang sama juga tercatat untuk beberapa komoditi
utama lain seperti karet dan kopi, tapi pertambahan devisa yang
berasal dari ekspor kedua komoditi tersebut, ternyata lebih
kecil dari tingkat kenaikan harganya. Ini merupakan indikasi
adanya kemandekan pertambahan volume ekspor komoditi tersebut.
Karet merupakan komoditi yang paling sensitif terhadap gejolak
resesi di negara industri.
Permintaan karet kini lesu karena masih adanya resesi yang
dihadapi industri mobil di AS, Jepang dan Eropa Barat. Dalam
satu bulan kemarin ini, harga karet di New York turun 2,2%. di
Eropa Barat turun 1%, dan di Tokyo bahkan anjlog sampai 9%.
Harga kopi Indonesia akhir-akhir ini melonjak keras di
Singapura, tapi ini merupakan akibat spekulasi beberapa pedagang
yang mengkhawatirkan gagalnya panen kopi di Brazil pada musim
dingin Agustus nanti. Bulan lalu dalam seminggu harga kopi di
Singapura tiba-tiba melonjak 60%, tapi di New York hanya naik 3%.
Harga kopi itu sendiri terus merosot sejak pertengahan tahun
lalu.
Hanya minyak akan tetap menjamin penghasilan devisa sekalipun
masih terjadi resesi di negara industri. Kenaikan harga US$ 2
per barrel 20 Mei lalu akan menambah penerimaan devisa sekitar
US$ 860 juta pada tingkat volume ekspor seperti sekarang ini Ini
akan merupakan tambahan penghasilan di atas US$ 8,6 milyar yang
diperoleh dari minyak pada 1979. Dengan harga patokan US$ 32 per
barrel, sebagaimana diputuskan sidang OPEC di Aljir pekan lalu,
bisa dipastikan tambahan penghasilan itu alan membesar.
Di samping minyak, ekspor gas alam cair (LN) makin menduduki
templt terkemuka akhir-akhir ini. Tahun lalu kspor LNG
Indonesia mencapai US$ 1,1 milyar, menggeser kedudukan karet dan
kopi sebagai bahan ekspor utama. Ekspor LNG ini baru berasal
dari kapasitas sebagian lapangan Arun di Aceh dan Badak di
Kalimantan Timur. Kapasitas produksi kedua terminal ini sedang
ditingkatkan, dan hanya soal waktu saja kalau LNG akan juga
menggeser kedudukan kayu yang tahun lalu menghasilkan US$ 1,7
milyar.
LNG Indonesia nampaknya menjadi rebutan para konsumen di AS dan
Jepang. Ini kesempatan bagi Indonesia untuk memperoleh harga
sebaik-baiknya.
Impor selama 1979 menunjukkan angka vang stabil tiap kuartal,
kecuali untuk kuartal 4. Ketika itu impor melonjak dengan US$
550 juta menjadi US$ 2 milyar. Ini disebabkan adanya impor
"lain-lain" sejumlah US$ 410 juta pada November, suatu jumlah
yang luar biasa. Sebab biasanya impor jenis ini sedikit
jumlahnya tiap bulan. Selama 1978 bahkan hanya US$ 178 juta.
Tidak jelas apa yang dimasukkan dalam impor yang memakai pos
"lain-lain" itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini