INSINYUR Subagio Wirjoatmodjo banyak senyum belakangan ini. Maklum saja, Direktur Keuangan Astra itu baru menang tender proyek Sistem Data Stasiun Bumi Mikro (SDSBM) yang bernilai 40 milyar rupiah. Kontrak kerjanya baru ditandatangani dengan Perumtel Sabtu pekan lalu. Dalam kontrak itu disebutkan bahwa seluruh pembangunan sarana akan dilakukan oleh partner swta, yaitu PT Citra SariMakmur (CSM). Lalu Perumtel akan menerima perangkat itu sebagai hibah, setelah 10 tahun. Selain itu, Perumtel juga akan mengantungi seperempat penerimaan CSM, dari hasil sewa SBM-nya. Sewa itu sendiri lumayan besarnya. "Kami rencanakan bernilai 2.000 dolar AS sebulan. untuk setiap SBM," kata Subagio, yang juga Direktur Utama CSM, kepada Tommy Tamtomo dari T1MPO. Ia tak mau menyebutkan berapa banyak langganan yang akan dijaringnya. Namun, sebuah sumber menyebutkan, jumlah langganan yang sedang diintip sekitar 1.500. Mereka umumnya adalah kalangan pengusaha minyak dan perbankan. Mengapa mereka? Dengan menyewa SBM ini, komunikasi dapat dilakukan dari mana saja di wilayah yang diliput satelit Palapa -- artinya seluruh wilayah ASEAN ditambah PNG dan negara-negara Indocina. Walhasil, seperti dikatakan Dirut Perumtel Cacuk Sudarijanto, "Para pengusaha yang selama ini belum terjangkau jaringan Perumtel dapat memanfaatkan SBM untuk keperluan telekomunikasinya." Apalagi komunikasi SBM ini kelak akan digabung dengan jaringan telepon Perumtel. Ini berarti, para penyewa SBM bagaikan memiliki telepon mobil yang dapat digunakan di seluruh wilayah Indonesia. Tak peduli apakah itu di tengah rimba Irian Jaya, lepas pantai Sumatera, ataupun tambak udang di pesisir utara Pulau Jawa. Hanya saja, perangkat SBM tak semungil telepon mobil Ericsson ataupun PT Inti. SBM itu berupa antena parabola berdiameter sekitar 1,8 m, yang dilengkapi pesawat pemancar/penerima gelombang mikro. Bila dilipat-lipat, semuanya dapat dimasukkan ke dalam tiga buah kopor ukuran normal. Sangat praktis untuk daerah terpencil. Kendati kecil, perangkat ini dapat digunakan untuk telepon, teleks, ataupun komunikasi data dengan komputer. Kecepatan pengiriman datanya bisa mencapai 56 kbps, alias 1.300 kali lebih cepat dari teleks biasa. Dan penyewa SBM tak harus jagoan telekomunikasi. "Kami yang menyediakan perawatan dan tenaga operatornya," kata Yani Bustanil Arifin, direktur merangkap pemegang saham CSM. Tenaga andalan CSM adalah Ir. Benny Nasution, pakar Palapa yang pergi dari Perumtel dan terjun ke dunia swasta. Selain itu, CSM menggunakan perangkat buatan Scientific Atlanta (SA), perusahaan elektronik di AS. Produk SA agaknya dianggap yang paling piawai untuk telekomunikasi dengan SBM. "PT CSM menang karena produknya kami anggap paling unggul," kata Cacuk. CSM yang merupakan patungan antara Subagio. Yani Bustanil Arifin, dan Chandra Basuki. memang berhasil mengalahkan empat pesaingnya: konon tiga di antaranya adalah patungan Hughes dengan PT Indosat. Mandala Cakra (Humpuss group) dengan Alcatel, dan kelompok Hasyim Djojohadiku sumo. Sebagai pemenang tender, CSM juga baru membuat Stasiun Bumi Utama (SBU) yang mirip SBU Perumtel di Cibinong. SBU ini akan dioperasikan oleh Perumtel -- akan mengatur lalu lintas telekomunikasi antar SBM yang melalui transponder Palapa. Selam itu, SBU yang berantena besar ini dibutuhkan agar komunikasi antar-SBM berjalan lancar. SBM alias VSAT (Vety Small Apertre Terminat) bukanlah ide baru. Dulu Perumtel merancang agar SBM bisa dipasang di tiap kecamatan. Tapi dana tak menunjang. Walhasil, swasta pun ditengok. "Biar saja ini dijalankan swasta dahulu," kata Cacuk. "Nanti dari keuntungannya kita pakai untuk memasang SBM di tiap kecamatan," tambahnya sambil tersenyum. Rupanya Subagio tak tersenyum sendirian.Bambang Harymuri & Linda Djalil (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini