Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ketemu om Liem di pasar pagi

Sudwikatmono, 55, pertama kali bertemu dengan liem sioe liong di pasar pagi. mereka mendirikan perusahaan bersama satu demi satu hingga kini ia menjadi seorang pengusaha terkemuka.

4 Februari 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIAPA yang menyangka, anak ketujuh dari seorang ulu-ulu (mantri pengairan) dari Desa Wuryantoro, Solo, ini akhirnya akan menjadi pengusaha besar. Penampilannya kini sangat menyakinkan. Selain stelan safari kegemarannya -- dia lebih sering menggunakan warna putih dan abu-abu -- rambutnya selalu tersisir rapi. Ditambah sepatu Bally hitam mengkilap, plus cincin bermata merah delima melingkar di jarinya. Tidak hanya sebagai pengusaha terkemuka, tapi juga penyandang gelar pria berbusana terbaik. Dialah Sudwikatmono, 55 tahun, yang di masa kecilnya tak pernah bercita-cita sebagai pengusaha. Dahulu, selepas dari SMA, Dwi -- demikian panghilan akrabnya -- pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi UGM. Tapi tidak sampai selesai. Nalurinya mengatakan, dia lebih cocok jadi tentara. Mka, setelah membaca iklan di salah satu surat kabar, ia melamar di ketentaraan. Sayang, orangtua Dwi tak setuju. Selain sudah ada lima saudaranya yang menjadi tentara, "Orangtua saya tidak merelakan anak lelaki bungsunya menjadi tentara juga," kata ayah empat anak ini. Dwi patuh. Ia lalu melamar sebagai pengawai sipil Angkatan Laut di Jakarta. Tapi hanya delapan bulan, karena gaji yang diperolehnya untuk membayar kos pun tidak mencukupi. Dwi lalu pindah ke Usindo, perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan. Mula-mula sebagai juru tulis, tapi kariernya terus menanjak. Bahkan setelah naik pangkat menjadi Kepala Bagian Ekspor Impor, Dwi sempat dibiayai Usindo untuk menangguk ilmu di Lembaga Administrasi Negara. Alhamdulillah, bukan cuma ijazah dari LAN, tapi ia juga sekaligus berhasil menggaet Sulastri, teman kuliahnya, yang kini selalu setia mendapinginya. Masih tidak puas, Dwi meloncat ke Tanjungpriok. Ia menyabet apa saja yang bisa mendatangkan keuntungan dari sana, mulai dari karung hingga semen. "Keuntungannya bisa sampai 100%, lho," katanya bangga. Dan sepertinya kebanyakan pialang kala itu, daerah operasi Dwi sampai juga ke Pasar Pagi. Di sinilah dia ketemu Om Liem Swei Liong, yang selalu siap menerima hasil bisnis Dwi. Dan kerja sama dengan si Om terus berlanjut. Mereka mendirikan perusahaan bersama, satu demi satu. Hingga kini, lelaki yang telah menunaikan ibadat haji tetap menjaga hubungan lama. Kantornya pun hanya beda tingkat dengan Om Liem.BK

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum