BARU-baru ini para mantan karyawan Inter Vista, perintis perusahaan periklanan modern Indonesia, mengadakan reuni. Tak dinyana, mantan karyawan Inter Vista yang terdaftar saja sudah mencapai 140 orang lebih. Ada yang lupa didaftar. Tetapi ada juga yang sengaja dan khusus untuk didaftar. Yang pernah mengamuk dan memccahkan kaca, yang melarikan uang perusahaan, yang sekarang punya nama buruk -- itulah beberapa kriteria bagi mereka yang tak masuk daftar. Singkatnya, masalah "bersih lingkungan" sengaja tak dijamah. Untung, saya masuk daftar. Artinya nama saya masih dianggap pantas untuk menyandang gelar mantan itu. Artinya pula, masih banyak yang sudi mengakui saya sebagai teman. Hanya sayang, saya tak bisa datang. Selama masa kerja saya yang pendek di Inter Vista, pada awal 1970-an, nama perusahaan ini sungguh berkibar. Pokoknya, bukan main bangga mengeluarkan kartu nama bertuliskan Inter Vista itu. Ditambah lagi dengan kebanggan akan pimpinan kami, Pak Nuradi -- pakar besar yang adalah pembaru periklanan Indonesia. Sekarang, 15 tahun sesudah masa jaya itu, Inter Vista semakin jarang terdengar. Nama-nama baru muncul. Ada yang bertahan, ada pula yang lalu tak terdengar lagi sama sekali. Kejadian itu memang tidak monopoli Indonesia. Di Amerika Serikat, Mary Welsh dan Jerry de la lamina, yang begitu berkibar-kibar namanya pada awal 1970-an, kini pun sudah merupakan thing of the past. Beberapa nama besar memang masih bertahan. Tapi kalau diteliti lebih jauh, namanya saja yang tak berubah, sedangkan struktur pemegang sahamnya sudah bermetamorfosa berkali-kali. Perubahan-perubahan itu pada dasarnya terjadi karena unsur ketidaksetiaan -- baik di pihak klien maupun di pihah perusahaan periklanan. Di Indonesia, kita sudah melihat banyak contoh tentang beberapa account exective, yang merasa kuat dengan beberapa klien tertentu, yang dianggapnya sebagai pocket account. Lalu, tiba-tiba ia keluar dan mengibarkan benderanya sendiri, dengan mengandalkan klien-klien yang sudah dlkantungmya itu. Di pihak klien begitu juga, ketidaksetiaan menggejala. Pan Am, misalnya, pernah dalam waktu setahun, dua kali memindahkan pengelolaan iklannya. Klien-klien besar menjadi semacam gypsy, yang selalu resah dan berpindah, dari satu perusahaan iklan ke perusahaan iklan lainnya. Tak perlu disangsikan lagi, evakuasi satu klien besar bisa membuat sebuah perusahaan periklanan gonjang-ganjing. Bisnis periklanan pada dasawarsa terakhir ini memang ditandai dengan ciri besar itu. Penyebabnya? Mungkin karena kita sekarang semakin berada dalam era quick fix, segala sesuatu ingin diperbaiki dalam waktu singkat. Dan ini terjadi di semua sektor. Bila seorang penulis naskah tak mampu menghasilkan naskah iklan yang disukai klien, ia akan segera dipecat dan digantikan oleh penulis lain yang lebih hot. Bila pemegang saham tak mampu memenuhi kewajibannya karena arus kas perusahaan periklanan sedang payah, sahamnya akan segera ditawarkan kepada orang lain yang koceknya lebih tebal. Demikian juga klien makin mudah memutuskan hubungan perusahaan periklanan, yang tak mampu mengejar sasaran pemasaran yang telah ditetapkan. Tempo permainan yang begitu cepat, agaknya, tak dapat ditahan lagi. Ia sudah menjadi sebuah kewajaran baru, yang harus diterima oleh mereka. Yang hidup dan bernapas dalam bisnis periklanan. Lalu, orang-orang yang tahan banting sajalah yang akan mampu terus bernapas. Mereka yang tahan banting itu agaknya menduduki dua kutub yang bertolak belakang, yaitu: yang sangat besar dan yang sangat kecil. Organisasi besar memang mempunyai struktur yang baik, untuk menahan gelombang. Organisasi kecil juga luwes untuk mengolah gerak, bila ombak besar melanda. Kalau perlu, ia merebahkan layar dan berlindung di balik pulau, sambil menjual muatannya untuk hidup sehari-hari. Tapi hal seperti itu tak dapat dilakukan oleh perusahaan-perusahaan yang tanggung. Mereka langsung terempas ke dinding karang, dan tewas. Di Amerika Serikat, bahkan di Indonesia, sudah makin banyak bank besar dan perusahaan besar terlibat dalam struktur persahaman sebuah perusahaan periklanan. Dari segi tata cara (code of conduct), ini merupakan hal yang bisa diperdebatkan sampai pagi. Tetapi sebagai realita ia makin sulit ditolak kehadirannya. Tanpa bank besar dan perusahaan besar yang senantiasa likuid mana mungkin sebuah perusahaan periklanan yang rawan mampu bertahan? Pada titik itulah, nurani kita menghadapi pertanyaan besar: sebuah hal yang logis, tetapi tidak benar. Tak mengapa, tak semua yang logis adalah benar, kok. Lalu, saya pun bertanya pada diri sendiri: apa yang telah saya lakukan untuk Inter Vista -- tempat saya pernah dibesarkan? Pertanyaan itu juga yang mungkin mengusik sebagian besar teman-teman saya, yang waktu itu menghadiri reuni.Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini