Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Manajemen telah menemukan solusi agar pabrik tersebut kembali produktif.
Pabrik ini akan beroperasi dengan memaksimalkan penggunaan pasir besi.
Bahan baku lokal dapat menghemat biaya produksi dan menurunkan impor iron ore.
JAKARTA – Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, Silmy Karim, bertekad menyulut kembali api di pabrik tanur tiup tinggi atau blast furnace. Dia menargetkan fasilitas pengolah bijih besi ini bisa dipakai kembali pada kuartal ketiga 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Silmy mengatakan manajemen telah menemukan solusi agar pabrik tersebut kembali produktif. Salah satunya dengan mengganti teknologi proyek ini. “Proses pembuatan baja di blast furnace yang dulu masih menggunakan gas dan listrik, sehingga tidak efisien. Ini yang akan kita ubah pakai teknologi BOF (basic oxygen furnace),” kata Silmy kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Blast furnace Krakatau Steel juga nantinya beroperasi dengan memaksimalkan penggunaan pasir besi. Menurut Silmy, bahan baku lokal dapat menghemat biaya produksi dan menurunkan impor iron ore.
Teknologi tersebut, menurut Silmy, akan dihadirkan melalui kerja sama dengan mitra strategis. Krakatau Steel telah memiliki dua calon kolega untuk mengoperasikan pabrik blast furnace. “Satu calon sudah menandatangani memorandum of agreement,” kata dia. Atas alasan perjanjian kerahasiaan, dia tidak membuka identitas kedua perusahaan tersebut.
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim. ANTARA/Asep Fathulrahman
Silmy menyatakan, dalam kerja sama pengoperasian ini, Krakatau Steel tidak akan mengeluarkan investasi lagi. Perjanjian di antara kedua perusahaan akan dievaluasi dalam jangka waktu tertentu. “Nantinya akan berbentuk joint venture, tapi di awalnya joint operation dulu.”
Saat beroperasi nanti, pabrik blast furnace dapat memproduksi 1,2-1,5 juta ton hot metal dan pig iron per tahun. Emiten berkode KRAS ini akan mengembangkan kapasitas produksinya menjadi 2,5-3 juta ton secara bertahap.
Pabrik blast furnace dibangkitkan kembali setelah ditutup pada Desember 2019. Kepada Tempo, Silmy saat itu menyatakan bahwa biaya operasional fasilitas produksi yang menggunakan gas ini terlalu tinggi. Ketika diinisiasi pada 2008, proyek ini dirancang menggunakan estimasi harga gas sebesar US$ 4,5 MMBTU. Namun, saat pabrik beroperasi pada Desember 2018, harga gas industri melonjak sekitar dua kali lipat.
Pemerintah sempat berupaya membantu dengan membuat Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Khusus untuk industri baja dan sejumlah industri lainnya, harga gas dipatok tak boleh melebihi US$ 6 per MMBTU. Namun angkanya masih lebih tinggi dari perencanaan awal.
Komisaris independen PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Roy Maningkas. Antara/Royke Sinaga
Sebelum pabrik ditutup, komisaris independen Krakatau Steel, Roy Maningkas, mengendus risiko pabrik tak efisien. Dia sempat meminta pelaksanaan uji coba pabrik dilakukan selama enam bulan, bukan hanya tiga bulan seperti keputusan direksi.
Pasalnya, Roy mencatat harga pokok produksi baja besar yang memanjang dan tebal (slab) buatan pabrik tersebut lebih mahal US$ 82 per ton dibanding harga pasar. Dengan target produksi minimal 1,1 juta ton per tahun, perusahaan berpotensi merugi Rp 1,3 triliun per tahun. Untuk menghindari kerugian tersebut, diperlukan modifikasi pabrik yang setidaknya membutuhkan tambahan dana US$ 60-70 juta.
Namun usul tersebut tak digubris direksi. Usul Roy kepada Kementerian BUMN pun tidak membuahkan hasil. Roy akhirnya memutuskan mengundurkan diri pada Juli 2019.
Pengelolaan blast furnace Krakatau Steel juga sempat menjadi perhatian Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Juli 2019. Anggota BPK, Achsanul Qosasi, pernah merekomendasi penghentian proyek itu karena proses produksi di fasilitas tersebut tidak efisien.
Berkaca pada perjalanan pengoperasian pabrik blast furnace, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra P.G. Tallatov, menyebutkan manajemen Krakatau Steel perlu ekstra hati-hati sebelum mengoperasikan kembali fasilitas tersebut. Kajian ulang untuk melihat kelayakan proyek tak bisa dihindari. “Dengan penyesuaian asumsi dan target dalam studi kelayakan, harus dipastikan apakah melanjutkan proyek tersebut masih bisa menguntungkan,” katanya.
VINDRY FLORENTIN | MAJALAH TEMPO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo