Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sudah Mahal, Defisit Pula

Perguruan tinggi swasta menetapkan uang pungutan mahasiswa lebih tinggi dari negeri, dituduh menarik keuntungan. Kenyataannya selain anggaran rutin, diperlukan biaya penambahan gedung & peralatan. (eb)

4 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MINAT menjadi mahasiswa sepertinya memang besar. Bisa dilihat tiap menjelang tahun kuliah baru, lulusan selalu membanjiri perguruan tinggi. Sukur kalau diterima di perguruan tinggi negeri. Kalau tidak, swasta pun jadilah meski dengan biaya jauh lebih besar dibanding dengan yang di negerl. Di Universitas Trisakti, Jakarta misalnya, seorang calon mahasiswa fakultas eksakta paling tidak harus menyediakan 500 ribu. Di Universitas Indonesia untuk fakultas yang sama hanya dipungut SPP Rp 60 ribu plus Rp 30 ribu uang praktikum. Tak mengherankan kalau kemudian muncul dugaan-dugaan -- entah dari mana munculnya -- bahwa PTS tiap tahun mengumpulkan keuntungan besar. Komersialisasi perguruan tinggi, begitu suara yang terdengar. "Mendirikan lembaga pendidikan tidak mungkin mengharap keuntungan seperti mendirikan perusahaan pemborong: bagi-bagi uang," bantah Woesono, SH, Direktur Akademi Keuangan dan Bank (AKUB) Yogyakarta. "Saya belum pernah dengar di Yogya ini ada PTS yang bagi-bagi keuntungan," lanjutnya tegas. Lalu ke manakah uang pungutan mahasiswa setiap tahunnya itu? "Keuntungan dalam lembaga pendidikan berarti bisa menambah gedung, ruang kuliah dan perlengkapan lainnya," jawab Woesono, yang AKUB-nya menarik uang kuliah Rp 70 ribu per tahun. Dan akademi yang berdiri sejak 1965 ini, tahun lalu mulai membangun gedung dengan rencana biaya Rp 300 juta. Mr Soedarisman, Rektor Universitas Janabadra, Yogyakarta, mengakui bahwa universitasnya ditunjang, oleh uang kuliah. Janabadra yang mempunyai tiga fakultas itu (hukum, ekonomi dan tehnik menarik uang kuliah antara Rp 90 sampai Rp 100 ribu. PTS yang dipimuin oleh bekas Wali Kota Yogyakarta ini memiliki 400 mahasiswa lama dan 250 mahasiswa baru, telah memiliki kampus mungil di Timoho. Dan kabarnya akan segera membangun kampus satu lagi di Pingit. "Tapi semua itu bantuan Pemda DIY," kata Soedarisman. Jadi besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh si mahasiswa, bukanlah ukuran bahwa perguruan tingginya bisa untung beratus ribu rupiah. Malahan kalau hanya menggantungkan uang kuliah, uang pendaftaran mahasiswa baru, uang ujian, uang ijazah dan sumbangan khusus, ASMI (Akademi Sekretaris dan Managemen Indonesia), Jakarta, bisa bangkrut. Hal itu diceritakan oleh Sekretaris Bidang Akademi ASMI, Goeritno Soegengrahardjo kepada TEMPO. "Kami perkirakan tahun 1979 ini, kalau hanya menggantungkan pembiayaan dari mahasiswa ASMI akan defisit Rp 70 juta lebih," katanya. "Karena itu kami selalu mencari dana dari sumber lain pula," lanjut Goeritno. Dana di luar akademi tersebut, menurut Goeritno, antara lain diperoleh dari kursus-kursus kesekretariatan yang diminta oleh lembaga-lembaga negara, misalnya Deplu, Bappenas, Hankam dan lain-lain. Juga ASMI mengadakan kursus 6 bulan dengan menarik biaya Rp 150 ribu per orang dan setiap angkatan ada 3-4 kelas a 40 orang. Sukarela Sumber dana yang terpaksa dicari di luar sumber dana akademi, dialami juga oleh Universitas Trisakti, Jakarta. Universitas ini mempunyai angka-angka besar. Uang kuliah berkisar antara Rp 150 sampai Rp 3 50 ribu. Uang sumbangan berkisar antara Rp 75 sampai Rp 700 ribu. Tapi ada yang mengatakan sumbangan "sukarela" ini bisa mencapai Rp 2 juta. Sedang calon mahasiswa tahun ini yang mendaftar dengan biaya Rp 8.500 ada 6 ribu orang (diterima hanya 1700 lebih). Dengan jumIah rupiah yang besar itu, menurut ir Kartomo Brotoatmodjo, Pembantu Rektor Bidang Akademis Trisakti, "hanya bisa menutup anggaran rutin, itu pun seringkali tidak mencukupi." Seperti yang dikatakan oleh Direktur AKUB Yogyakarta, dia pun mengatakan, kalau ada kelebihan anggaran selalu digunakan untuk memajukan atau melengkapi keperluan akademi membangun ruang kuliah atau membeli peralatan pendidikan lainnya. Tapi selama ini pembangunan gedung Trisakti sebagian besar biaya diperoleh dri bantuan luar negeri, usaha pengumpulan dana lainnya dan sedikit bantuan pemerintah. Meskipun demikian seorang Winarno, 23 tahun, tingkat III Akademi Angkutan Udara Trisakti, mengakui kalau biaya pendidikannya mahal. "Tapi lulusan dari sini lazimnya langsung bisa mendapat pekerjaan di perusahaan penerbangan atau travel bureau," katanya kepada TEMPO. Entah belajar untuk apa, untuk menjadi orang berpengetahuan atau mendapat pekerjaan entah perguruan tinggi swasta selalu defisit atau dikomersialkan tetapi menjadi mahasiswa di sebuah PTS yang cukup bernama di Indonesia tampaknya memang membutuhkan biaya mahal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus