MINAT menjadi mahasiswa sepertinya memang besar. Bisa dilihat
tiap menjelang tahun kuliah baru, lulusan selalu membanjiri
perguruan tinggi. Sukur kalau diterima di perguruan tinggi
negeri. Kalau tidak, swasta pun jadilah meski dengan biaya
jauh lebih besar dibanding dengan yang di negerl. Di Universitas
Trisakti, Jakarta misalnya, seorang calon mahasiswa fakultas
eksakta paling tidak harus menyediakan 500 ribu. Di
Universitas Indonesia untuk fakultas yang sama hanya dipungut
SPP Rp 60 ribu plus Rp 30 ribu uang praktikum.
Tak mengherankan kalau kemudian muncul dugaan-dugaan -- entah
dari mana munculnya -- bahwa PTS tiap tahun mengumpulkan
keuntungan besar. Komersialisasi perguruan tinggi, begitu suara
yang terdengar.
"Mendirikan lembaga pendidikan tidak mungkin mengharap
keuntungan seperti mendirikan perusahaan pemborong: bagi-bagi
uang," bantah Woesono, SH, Direktur Akademi Keuangan dan Bank
(AKUB) Yogyakarta. "Saya belum pernah dengar di Yogya ini ada
PTS yang bagi-bagi keuntungan," lanjutnya tegas.
Lalu ke manakah uang pungutan mahasiswa setiap tahunnya itu?
"Keuntungan dalam lembaga pendidikan berarti bisa menambah
gedung, ruang kuliah dan perlengkapan lainnya," jawab Woesono,
yang AKUB-nya menarik uang kuliah Rp 70 ribu per tahun. Dan
akademi yang berdiri sejak 1965 ini, tahun lalu mulai membangun
gedung dengan rencana biaya Rp 300 juta.
Mr Soedarisman, Rektor Universitas Janabadra, Yogyakarta,
mengakui bahwa universitasnya ditunjang, oleh uang kuliah.
Janabadra yang mempunyai tiga fakultas itu (hukum, ekonomi dan
tehnik menarik uang kuliah antara Rp 90 sampai Rp 100 ribu. PTS
yang dipimuin oleh bekas Wali Kota Yogyakarta ini memiliki 400
mahasiswa lama dan 250 mahasiswa baru, telah memiliki kampus
mungil di Timoho. Dan kabarnya akan segera membangun kampus satu
lagi di Pingit. "Tapi semua itu bantuan Pemda DIY," kata
Soedarisman.
Jadi besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh si mahasiswa,
bukanlah ukuran bahwa perguruan tingginya bisa untung beratus
ribu rupiah. Malahan kalau hanya menggantungkan uang kuliah,
uang pendaftaran mahasiswa baru, uang ujian, uang ijazah dan
sumbangan khusus, ASMI (Akademi Sekretaris dan Managemen
Indonesia), Jakarta, bisa bangkrut. Hal itu diceritakan oleh
Sekretaris Bidang Akademi ASMI, Goeritno Soegengrahardjo kepada
TEMPO. "Kami perkirakan tahun 1979 ini, kalau hanya
menggantungkan pembiayaan dari mahasiswa ASMI akan defisit Rp 70
juta lebih," katanya. "Karena itu kami selalu mencari dana dari
sumber lain pula," lanjut Goeritno. Dana di luar akademi
tersebut, menurut Goeritno, antara lain diperoleh dari
kursus-kursus kesekretariatan yang diminta oleh lembaga-lembaga
negara, misalnya Deplu, Bappenas, Hankam dan lain-lain. Juga
ASMI mengadakan kursus 6 bulan dengan menarik biaya Rp 150 ribu
per orang dan setiap angkatan ada 3-4 kelas a 40 orang.
Sukarela
Sumber dana yang terpaksa dicari di luar sumber dana akademi,
dialami juga oleh Universitas Trisakti, Jakarta. Universitas ini
mempunyai angka-angka besar. Uang kuliah berkisar antara Rp 150
sampai Rp 3 50 ribu. Uang sumbangan berkisar antara Rp 75 sampai
Rp 700 ribu. Tapi ada yang mengatakan sumbangan "sukarela" ini
bisa mencapai Rp 2 juta. Sedang calon mahasiswa tahun ini yang
mendaftar dengan biaya Rp 8.500 ada 6 ribu orang (diterima hanya
1700 lebih). Dengan jumIah rupiah yang besar itu, menurut ir
Kartomo Brotoatmodjo, Pembantu Rektor Bidang Akademis Trisakti,
"hanya bisa menutup anggaran rutin, itu pun seringkali tidak
mencukupi." Seperti yang dikatakan oleh Direktur AKUB
Yogyakarta, dia pun mengatakan, kalau ada kelebihan anggaran
selalu digunakan untuk memajukan atau melengkapi keperluan
akademi membangun ruang kuliah atau membeli peralatan pendidikan
lainnya. Tapi selama ini pembangunan gedung Trisakti sebagian
besar biaya diperoleh dri bantuan luar negeri, usaha
pengumpulan dana lainnya dan sedikit bantuan pemerintah.
Meskipun demikian seorang Winarno, 23 tahun, tingkat III Akademi
Angkutan Udara Trisakti, mengakui kalau biaya pendidikannya
mahal. "Tapi lulusan dari sini lazimnya langsung bisa mendapat
pekerjaan di perusahaan penerbangan atau travel bureau," katanya
kepada TEMPO.
Entah belajar untuk apa, untuk menjadi orang berpengetahuan atau
mendapat pekerjaan entah perguruan tinggi swasta selalu defisit
atau dikomersialkan tetapi menjadi mahasiswa di sebuah PTS yang
cukup bernama di Indonesia tampaknya memang membutuhkan biaya
mahal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini